Khazanah
Beranda » Berita » Umrah Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’: Rukun, Hukum, dan Hikmahnya

Umrah Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’: Rukun, Hukum, dan Hikmahnya

Jamaah umrah thawaf mengelilingi Ka’bah dalam suasana khusyuk
Ilustrasi realistik—jamaah umrah thawaf di Ka’bah dengan cahaya lembut, menekankan dimensi spiritual dan filosofis.

Umrah menjadi salah satu ibadah agung yang sangat dekat dengan hati umat Islam. Meskipun hukumnya berbeda dengan haji, umrah tetap hadir sebagai kesempatan istimewa untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengurai secara detail tentang rukun, hukum, dan hikmah umrah, sehingga kita dapat memahami kedudukannya dalam syariat.

Tulisan ini mengajak kita menyelami pandangan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’, sekaligus membandingkannya dengan Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari, agar pembahasan menjadi lebih komprehensif dan relevan bagi pembaca masa kini.

Definisi Umrah dalam Perspektif Fikih

Secara bahasa, umrah berasal dari kata ‘amara (عَمَرَ) yang berarti berkunjung. Dalam istilah syariat, umrah adalah ibadah yang dilakukan dengan thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, disertai tahallul.

Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan:

“الْعُمْرَةُ عِبَادَةٌ مَخْصُوصَةٌ مُتَضَمِّنَةٌ لِلطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَالْحَلْقِ أَوِ التَّقْصِيرِ.”
“Umrah adalah ibadah khusus yang mencakup thawaf, sa’i, dan mencukur atau memendekkan rambut.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Definisi ini memperlihatkan bahwa umrah adalah ibadah dengan rangkaian tertentu yang tidak bisa dipisahkan.

Hukum Umrah Menurut Imam an-Nawawi

Dalam hal hukum, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib sekali seumur hidup, sebagian lain mengatakan sunnah muakkadah.

Imam an-Nawawi, merujuk pada madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi orang yang mampu, sebagaimana haji. Beliau berdalil dengan firman Allah:

“وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ”
“Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Ayat ini menegaskan keseriusan umrah sebagai ibadah. Imam an-Nawawi menambahkan, siapa yang telah melaksanakannya sekali, maka gugurlah kewajiban, dan selebihnya bernilai sunnah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Rukun Umrah Menurut Al-Majmu’

Rukun adalah pilar utama yang bila ditinggalkan, ibadah menjadi batal. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyebutkan empat rukun umrah:

  • Ihram
    Niat untuk memulai umrah dari miqat.
  • Thawaf
    Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran dengan penuh kekhusyukan.
  • Sa’i
    Berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Allah berfirman:

“إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ”
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.” (QS. Al-Baqarah: 158)

  • Tahallul
    Mencukur atau memendekkan rambut sebagai tanda keluar dari ihram.

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa tanpa keempat rukun ini, umrah tidak sah.

Hikmah Umrah Menurut Imam an-Nawawi

Umrah bukan sekadar ritual, melainkan ibadah penuh hikmah. Imam an-Nawawi menekankan bahwa thawaf mengingatkan kita pada ketundukan kepada pusat ibadah, yaitu Allah. Sa’i melambangkan kesungguhan usaha, meneladani perjuangan Hajar mencari air bagi Ismail. Sedangkan tahallul menjadi simbol penyucian diri dari dosa dan kesalahan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا”
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa umrah tidak hanya bernilai ritual, tetapi juga menjadi sarana penyucian jiwa.

Perbandingan Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in

Jika kita membandingkan Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi dengan Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari, keduanya sama-sama membahas rukun dan hukum umrah. Namun, pendekatannya berbeda.

Dalam Al-Majmu’, pembahasan umrah sangat detail, penuh analisis dalil, serta perbandingan mazhab. Imam an-Nawawi menampilkan pandangan para ulama besar, lalu menguatkannya dengan argumentasi matang. Sementara itu, Fathul Mu’in menekankan aspek praktis. Ia ditulis ringkas, padat, dan langsung mengarah pada kebutuhan masyarakat dalam menjalankan ibadah.

Bila Al-Majmu’ bagaikan ensiklopedia yang luas dan penuh penjelasan, maka Fathul Mu’in ibarat peta saku yang ringkas namun efektif. Dalam rukun umrah, Fathul Mu’in menegaskan kewajiban ihram, thawaf, sa’i, dan tahallul tanpa banyak perdebatan. Kedua kitab ini akhirnya saling melengkapi: yang satu membimbing teori, yang lain memudahkan praktik.

Penutup

Di era sekarang, perjalanan umrah semakin mudah dengan adanya transportasi udara dan fasilitas modern. Namun, kemudahan ini justru menuntut kita untuk tidak melupakan makna terdalamnya. Imam an-Nawawi menegaskan pentingnya menghadirkan niat yang lurus dan hati yang khusyuk.

Umrah adalah perjalanan suci yang menyatukan fisik, hati, dan jiwa. Bagi seorang muslim, umrah bisa menjadi momentum untuk menyegarkan kembali semangat ibadah. Ia menjadi titik balik spiritual, seakan kita mendapat kesempatan baru untuk memulai hidup yang lebih baik.

Dari Al-Majmu’, kita belajar bahwa rukun, hukum, dan hikmah umrah adalah pondasi ibadah yang tidak boleh diremehkan. Dari Fathul Mu’in, kita mendapat kemudahan memahami dan mengamalkan secara praktis.

Ketika kita melaksanakan umrah, sesungguhnya kita sedang menempuh jalan pulang menuju Allah. Miqat menjadi awal langkah, thawaf menjadi pusat pengabdian, sa’i menjadi simbol usaha, dan tahallul menjadi tanda lahirnya kehidupan baru.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement