Haji adalah puncak ibadah dalam Islam. Ia bukan hanya perjalanan fisik menuju Makkah, tetapi juga perjalanan batin yang menguji ketundukan seorang hamba kepada Allah. Imam an-Nawawi, ulama besar dalam madzhab Syafi’i, melalui karyanya Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, memberikan penjelasan mendalam tentang rukun, wajib, dan sunnah haji.
Tulisan ini menghadirkan pandangan Imam an-Nawawi tentang haji dalam Al-Majmu’. Kita akan menelusuri dasar-dasar syariat, dalil-dalil utama, serta perbedaan penting antara rukun, wajib, dan sunnah haji. Di bagian akhir, kita akan membandingkannya dengan pembahasan dalam Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari agar gambaran menjadi lebih utuh.
Haji dalam Perspektif Syariat
Allah memerintahkan haji dalam Al-Qur’an:
“وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ”
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)
Ayat ini menegaskan kewajiban haji bagi yang mampu. Imam an-Nawawi menegaskan dalam Al-Majmu’ bahwa kemampuan (istitha’ah) mencakup kemampuan fisik, finansial, dan keamanan perjalanan.
Rukun Haji Menurut Imam an-Nawawi
Rukun adalah unsur pokok yang bila ditinggalkan, haji tidak sah. Imam an-Nawawi menyebut enam rukun haji:
- Ihram
Niat memasuki ibadah haji dari miqat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat.” (HR. Bukhari-Muslim)
- Wukuf di Arafah
Puncak haji, yang menjadi penentu sah atau tidaknya haji. Nabi ﷺ menegaskan:
“الحج عرفة”
“Haji itu (tergantung) wukuf di Arafah.” (HR. Tirmidzi)
- Thawaf Ifadhah
Mengelilingi Ka’bah tujuh kali setelah wukuf. - Sa’i antara Shafa dan Marwah
Melakukan perjalanan tujuh kali bolak-balik. - Tahallul
Mencukur atau memendekkan rambut sebagai tanda keluar dari ihram. - Tertib
Melakukan rukun sesuai urutan yang ditetapkan.
Imam an-Nawawi menekankan bahwa tanpa rukun-rukun ini, haji tidak sah meskipun seseorang menempuh perjalanan jauh.
Wajib Haji dalam Al-Majmu’
Berbeda dengan rukun, wajib haji jika ditinggalkan tidak membatalkan haji, tetapi mewajibkan dam (denda berupa sembelihan). Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyebut beberapa kewajiban haji, antara lain:
- Berihram dari miqat.
- Bermalam di Muzdalifah.
- Bermalam di Mina.
- Melempar jumrah.
- Menjauhi larangan ihram.
Beliau menegaskan, wajib haji adalah bentuk penyempurna ibadah. Ia tidak boleh diremehkan karena menunjukkan kesungguhan jamaah dalam menaati aturan Allah.
Sunnah Haji Menurut Imam an-Nawawi
Selain rukun dan wajib, Imam an-Nawawi juga membahas sunnah haji. Sunnah bukan berarti remeh, tetapi ia memperindah dan menyempurnakan ibadah. Beberapa sunnah haji menurut Al-Majmu’ adalah:
- Mandi sebelum ihram.
- Shalat sunnah ihram dua rakaat.
- Membaca talbiyah dengan suara lantang.
- Menyentuh Hajar Aswad ketika thawaf.
- Berdoa di Multazam.
Imam an-Nawawi menekankan bahwa sunnah menambah nilai spiritual haji, sehingga jamaah merasakan kedekatan lebih dengan Allah.
Hikmah di Balik Rukun, Wajib, dan Sunnah Haji
Haji tidak hanya ritual fisik, tetapi juga sarat makna. Wukuf di Arafah menanamkan kesadaran bahwa seluruh manusia setara di hadapan Allah. Thawaf mengajarkan kita menjadikan Allah pusat kehidupan. Sa’i mengingatkan pada perjuangan Hajar, simbol kesungguhan dalam mencari pertolongan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ”
“Barang siapa berhaji, lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali (suci) seperti pada hari ia dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini memperlihatkan bahwa haji adalah momentum penyucian diri.
Perbandingan Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in
Ketika membandingkan Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi dengan Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari, terlihat perbedaan pendekatan. Al-Majmu’ menghadirkan pembahasan detail, lengkap dengan analisis dalil, pendapat ulama lintas madzhab, serta argumentasi hukum. Misalnya, Imam an-Nawawi menguraikan panjang tentang perbedaan antara rukun dan wajib, serta konsekuensinya bila ditinggalkan.
Sementara itu, Fathul Mu’in menampilkan panduan ringkas dan praktis. Ia langsung menyebut rukun, wajib, dan sunnah haji dengan bahasa sederhana, tanpa uraian panjang. Karya ini lebih mudah dipahami oleh santri dan masyarakat awam.
Dengan demikian, Al-Majmu’ dapat dianggap sebagai ensiklopedia hukum haji, sedangkan Fathul Mu’in menjadi panduan lapangan. Keduanya saling melengkapi: yang satu menguatkan teori, yang lain memandu praktik.
Penutup
Haji adalah perjalanan agung yang menyatukan tubuh, jiwa, dan niat. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan pentingnya memahami perbedaan rukun, wajib, dan sunnah. Dari sinilah kita belajar bahwa ibadah tidak hanya tentang sah atau batal, tetapi juga tentang kesempurnaan dan keindahan.
Ketika seorang muslim menunaikan haji, ia sesungguhnya sedang mengulang jejak Nabi Ibrahim, Hajar, dan Nabi Muhammad ﷺ. Haji menjadi simbol kesetiaan, perjuangan, dan penyerahan total kepada Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
