Utang piutang dan sewa menyentuh kehidupan hampir semua orang. Dalam rumah tangga, bisnis, hingga relasi sosial, keduanya menjadi instrumen penting yang mengatur peredaran harta. Islam tidak memandang enteng masalah ini. Justru, syariat memberi aturan jelas agar transaksi berjalan adil, transparan, dan jauh dari perselisihan.
Imam an-Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi’i, membahas persoalan ini dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beliau menekankan prinsip keadilan, akad yang jelas, serta tanggung jawab moral dalam setiap transaksi. Artikel ini membahas pandangan Imam an-Nawawi mengenai utang piutang (qardh) dan sewa (ijarah), lalu membandingkannya dengan Fathul Mu’in untuk melihat perspektif fiqih yang lebih praktis.
Landasan Al-Qur’an dan Hadits tentang Transaksi
Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menuliskan transaksi utang piutang dengan rinci agar tidak menimbulkan sengketa:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa mengambil harta orang lain dengan niat mengembalikannya, Allah akan membantunya melunasinya. Barang siapa mengambil dengan niat merusaknya, Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)
Kedua dalil ini menjadi pijakan utama Imam an-Nawawi dalam mengatur akad utang piutang dan sewa.
Definisi Utang Piutang Menurut Imam an-Nawawi
Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa utang piutang (qardh) adalah penyerahan harta oleh pemberi pinjaman kepada peminjam untuk dimanfaatkan, dengan kewajiban mengembalikan ganti yang serupa. Inti dari utang adalah tabarru’ (kebaikan), bukan komersial. Oleh karena itu, tidak boleh ada tambahan yang disyaratkan, sebab hal itu termasuk riba.
Beliau menulis:
والقرض مندوب إليه لما فيه من الإحسان إلى المحتاج
“Utang piutang dianjurkan karena di dalamnya terdapat bentuk kebaikan kepada orang yang membutuhkan.”
Syarat Sah Utang Piutang
Imam an-Nawawi menetapkan beberapa syarat sahnya akad utang piutang:
- Ijab qabul yang jelas, meski dengan ucapan sederhana.
- Barang yang diutangkan harus jelas jenis, kadar, dan sifatnya.
- Pihak yang berakad harus berakal dan baligh.
- Tidak boleh ada syarat keuntungan, karena itu menjurus pada riba.
Beliau menegaskan, utang piutang semestinya menjadi sarana solidaritas sosial, bukan instrumen mencari keuntungan pribadi.
Definisi Sewa Menurut Imam an-Nawawi
Sewa (ijarah) menurut Imam an-Nawawi adalah akad pemindahan manfaat dari suatu barang atau jasa dengan imbalan tertentu. Dalam Al-Majmu’, beliau menekankan dua hal penting:
- Barang atau jasa yang disewa harus jelas, dapat dimanfaatkan, dan bukan sesuatu yang haram.
- Imbalan sewa (ujrah) harus jelas nominalnya, tidak boleh samar.
Dengan begitu, akad sewa melindungi hak pemilik barang maupun penyewa agar tidak saling menzalimi.
Syarat Sah Sewa
Imam an-Nawawi menjelaskan syarat sah sewa sebagai berikut:
- Kejelasan objek sewa. Misalnya rumah dengan batas waktu tertentu atau jasa dengan lingkup kerja yang jelas.
- Penentuan imbalan. Tidak boleh ada kesamaran dalam jumlah atau bentuk bayaran.
- Kerelaan kedua pihak. Tanpa paksaan.
- Manfaat sewa halal. Tidak boleh menyewa untuk hal yang bertentangan dengan syariat.
Beliau bahkan mengingatkan bahwa akad sewa yang tidak memenuhi syarat ini termasuk batil dan tidak sah.
Hikmah Utang Piutang dan Sewa
Imam an-Nawawi menekankan bahwa kedua akad ini membawa hikmah besar bagi masyarakat:
- Utang piutang menjadi sarana tolong-menolong, mengurangi kesenjangan, dan memperkuat solidaritas sosial.
- Sewa memberi peluang orang yang tidak memiliki barang untuk tetap mendapatkan manfaat darinya secara sah.
Islam memandang keduanya sebagai instrumen keadilan dan kebersamaan, bukan sarana eksploitasi.
Larangan Riba dalam Utang Piutang
Imam an-Nawawi menegaskan bahwa tambahan yang disyaratkan dalam akad utang piutang, sekecil apa pun, termasuk riba. Misalnya, meminjamkan uang dengan syarat pengembalian lebih besar. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebaikan dalam utang piutang.
Dalilnya adalah firman Allah:
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Etika dalam Transaksi
Selain syarat sah, Imam an-Nawawi menekankan etika:
- Peminjam harus berusaha mengembalikan tepat waktu.
- Pemberi pinjaman dianjurkan memberi kelonggaran bila peminjam kesulitan.
- Penyewa wajib menjaga barang sewaan, sedangkan pemilik harus menyerahkan barang dalam kondisi layak pakai.
Perbandingan Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in
Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi membahas utang piutang dan sewa secara detail, disertai analisis mendalam, perbedaan pendapat ulama, dan dalil dari Al-Qur’an serta hadits. Kitab ini sangat cocok untuk kajian akademik dan para peneliti fiqih.
Sebaliknya, Fathul Mu’in menyajikan materi lebih ringkas. Kitab ini menekankan aspek praktis, seperti bagaimana syarat sah sewa rumah, apa yang membatalkan akad, atau bagaimana aturan utang sederhana antarindividu. Dengan bahasa yang padat, Fathul Mu’in lebih mudah dipahami masyarakat awam.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa Al-Majmu’ lebih sistematis dan komprehensif, sedangkan Fathul Mu’in lebih aplikatif. Keduanya saling melengkapi: satu memperdalam teori, satu memudahkan praktik.
Penutup
Walaupun lahir di abad ke-7 Hijriyah, pandangan Imam an-Nawawi tetap relevan. Dalam dunia perbankan, akad pinjaman berbunga dikategorikan riba, sesuai larangan beliau. Sedangkan akad sewa-menyewa yang jelas objek dan imbalannya tetap sah, bahkan menjadi dasar banyak produk syariah seperti leasing atau ijarah muntahiyah bittamlik.
Utang piutang dan sewa menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ bukan hanya masalah teknis muamalah, tetapi juga jalan menuju keadilan dan solidaritas. Beliau menekankan akad yang jelas, larangan riba, serta etika yang menjaga kehormatan kedua belah pihak.
Kini, di tengah dunia modern dengan kompleksitas transaksi, ajaran beliau tetap relevan: jadikan akad sebagai amanah, bukan jebakan. Utang piutang harus menguatkan, bukan menjerat. Sewa harus memberi manfaat, bukan merugikan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
