Khazanah
Beranda » Berita » Shalat Musafir: Qashar dan Jama’ Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’

Shalat Musafir: Qashar dan Jama’ Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’

Ilustrasi shalat musafir qashar dan jama menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’.
Seorang musafir dengan pakaian sederhana, berdiri di padang pasir luas, shalat dengan latar senja, terlihat jalan panjang di kejauhan.

Shalat adalah tiang agama, kewajiban yang tidak pernah gugur dari seorang Muslim dalam keadaan apapun. Namun, syariat Islam memberikan keringanan (rukhsah) bagi kaum musafir yang melakukan perjalanan jauh. Dua keringanan paling terkenal adalah qashar (mempersingkat shalat empat rakaat menjadi dua rakaat) dan jama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu).

Pembahasan mengenai qashar dan jama’ tidak hanya hadir dalam kitab fiqih ringkas, melainkan juga dalam karya ensiklopedis besar. Salah satunya adalah Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’i. Kitab ini menjadi rujukan mendalam karena menggabungkan penjelasan hukum, dalil Al-Qur’an, hadis, dan pendapat ulama sebelumnya. Artikel ini akan membahas bagaimana Imam an-Nawawi memaparkan shalat musafir, sekaligus membandingkannya dengan penjelasan dalam kitab lain.

Dalil Qashar Shalat dalam Al-Qur’an

Allah ﷻ secara eksplisit menyebutkan keringanan qashar dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah berdosa bagimu mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa: 101)

Imam an-Nawawi menjelaskan, ayat ini menunjukkan rukhsah qashar sebagai bentuk kasih sayang Allah. Meskipun dalam teks ayat disebutkan “jika takut serangan”, namun praktik Nabi ﷺ dan ijma’ ulama menunjukkan bahwa qashar tetap berlaku meskipun dalam keadaan aman.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Hadis Nabi tentang Qashar

Rasulullah ﷺ sendiri memperlihatkan praktik qashar dalam safar:

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ
“Rasulullah ﷺ shalat di Mina dua rakaat (dengan qashar).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi menegaskan, hadis ini menjadi dasar utama bahwa qashar bukan sekadar rukhsah, melainkan sunnah muakkadah. Menurut beliau, seorang musafir yang meninggalkan qashar dan tetap menyempurnakan shalat empat rakaat telah meninggalkan sunnah Rasulullah ﷺ meskipun sah secara hukum.

Jama’ Shalat dalam Safar

Selain qashar, syariat memberi keringanan berupa jama’. Rasulullah ﷺ terkadang menjama’ shalat dalam perjalanan:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
“Apabila Nabi ﷺ berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan Zuhur sampai masuk waktu Ashar, lalu menjama’ keduanya.” (HR. Bukhari)

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menerangkan, jama’ dilakukan untuk meringankan kesulitan, terutama saat perjalanan panjang. Namun, beliau menekankan bahwa jama’ tidak wajib, melainkan pilihan.

Syarat Qashar Menurut Imam an-Nawawi

Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi menjelaskan syarat qashar dengan rinci:

  1. Jarak perjalanan minimal 2 marhalah (sekitar 81 km).
  2. Perjalanan mubah, bukan untuk maksiat.
  3. Niat qashar saat takbiratul ihram.
  4. Tidak bermakmum pada imam yang mukim.

Beliau menekankan pentingnya niat sejak awal shalat. Jika seseorang tidak meniatkan qashar sejak takbir pertama, maka shalatnya harus disempurnakan empat rakaat.

Syarat Jama’ Menurut Imam an-Nawawi

Sedangkan jama’, menurut Imam an-Nawawi, memiliki syarat tersendiri:

  • Jama’ taqdim harus dilakukan dengan urutan: Zuhur lalu Ashar, Maghrib lalu Isya.
  • Niat jama’ harus ada sejak shalat pertama.
  • Kedua shalat harus dilakukan dalam satu waktu tanpa jeda panjang.

Adapun jama’ ta’khir lebih longgar, cukup dengan niat menunda shalat pertama ke waktu kedua.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hikmah Keringanan dalam Shalat Musafir

Imam an-Nawawi menekankan bahwa rukhsah qashar dan jama’ menunjukkan keindahan syariat Islam. Allah ﷻ tidak membebani hamba di luar kemampuannya. Dengan keringanan ini, musafir tetap bisa menjaga hubungan spiritual dengan Allah, sekaligus mendapatkan kemudahan dalam perjalanan.

Hadis Nabi ﷺ menegaskan:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
“Sesungguhnya Allah menyukai jika keringanan-Nya diambil sebagaimana Dia membenci jika kemaksiatan dilakukan.” (HR. Ahmad)

Imam an-Nawawi mengutip hadis ini untuk menunjukkan bahwa menerima rukhsah adalah bentuk ketaatan, bukan kelemahan iman.

Dalam kitab Fathul Wahhab karya Zakariya al-Ansari yang juga bermazhab Syafi’i menyebutkan:

وَيُقْصَرُ الرُّبَاعِيَّةُ فِي السَّفَرِ إِذَا بَلَغَتِ الْمَسَافَةُ مَرْحَلَتَيْنِ
“Shalat empat rakaat diqashar dalam safar jika jarak perjalanan mencapai dua marhalah.”

Terjemahan ini sejalan dengan penjelasan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’. Keduanya menekankan jarak minimal perjalanan sebagai syarat pokok qashar.

Perbandingan dengan Kitab Lain

Menjelang penutup, menarik untuk membandingkan Al-Majmu’ dengan kitab lain dalam pembahasan shalat musafir. Dalam Al-Umm karya Imam Syafi’i, penjelasan tentang qashar dan jama’ lebih ringkas. Imam Syafi’i langsung menegaskan jarak minimal perjalanan dan dalil dari hadis tanpa banyak membahas khilaf ulama.

Sedangkan Al-Majmu’ lebih komprehensif. Imam an-Nawawi tidak hanya menyampaikan pendapat Imam Syafi’i, tetapi juga memaparkan argumentasi panjang, pendapat ulama mazhab lain, serta dalil dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Inilah yang membuat Al-Majmu’ dianggap ensiklopedia fiqih Syafi’i yang paling luas.

Jika dibandingkan dengan Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibari, Al-Majmu’ jauh lebih detail. Fathul Mu’in berfungsi sebagai kitab pengajaran dengan gaya singkat, sementara Al-Majmu’ menjadi rujukan akademik bagi para peneliti fiqih. Hal ini membuat pembaca bisa memilih: Fathul Mu’in untuk praktis, Al-Majmu’ untuk kajian mendalam.

Penutup

Keringanan shalat musafir berupa qashar dan jama’ adalah bukti kasih sayang Allah ﷻ kepada hamba-Nya. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menghadirkan penjelasan yang kaya, dengan dasar Al-Qur’an, hadis, serta penjelasan ulama terdahulu.

Musafir yang menempuh perjalanan jauh tetap bisa menjaga shalat dengan cara yang ringan dan sesuai sunnah. Di sinilah indahnya syariat: ibadah tidak berubah, namun cara pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi.

Maka, ketika kaki melangkah jauh di jalan safar, hati tetap dekat dengan Allah. Shalat menjadi pelita, meski di tengah debu perjalanan. Qashar dan jama’ bukan sekadar rukhsah, melainkan hadiah Ilahi agar hamba tetap merasakan nikmat sujud dalam setiap keadaan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement