Khazanah
Beranda » Berita » Shalat Jum’at dalam Al-Majmu’: Pandangan Imam an-Nawawi tentang Syiar, Hukum, dan Keutamaan

Shalat Jum’at dalam Al-Majmu’: Pandangan Imam an-Nawawi tentang Syiar, Hukum, dan Keutamaan

Ilustrasi shalat Jum’at dalam Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi
Lukisan digital semi-realistis bernuansa filosofis, menampilkan suasana shalat Jum’at di masjid klasik dengan jamaah memenuhi saf, cahaya lembut masuk dari jendela, dan khatib sedang berdiri di mimbar.

Setiap pekan, umat Islam berkumpul dalam satu majelis ibadah yang penuh keagungan: shalat Jum’at. Ia bukan sekadar pengganti shalat Zuhur, melainkan momentum syiar dan persatuan umat. Masjid menjadi pusat pertemuan, khutbah Jum’at menjadi mimbar nasihat, dan saf-saf jamaah menyimbolkan kesatuan hati kaum muslimin.

Dalam literatur fiqih, pembahasan shalat Jum’at mendapat perhatian besar, terutama dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam an-Nawawi. Kitab ensiklopedis fiqih Syafi’i ini menjelaskan secara mendalam hukum, syarat, rukun, dan hikmah shalat Jum’at. Tulisan ini akan mengulas bagaimana Imam an-Nawawi menyoroti shalat Jum’at dalam Al-Majmu’, sekaligus membandingkannya dengan kitab lain untuk memperkaya pemahaman.

Landasan Syariat Shalat Jum’at

Allah ﷻ memerintahkan shalat Jum’at dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
(QS. Al-Jumu’ah: 9)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hadis Rasulullah ﷺ juga menegaskan:

مَن تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
(HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i)

Artinya: “Barang siapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, Allah akan menutup hatinya.”

Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan oleh kaum muslimin.

Pandangan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’

Kedudukan Hukum

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim laki-laki, baligh, merdeka, sehat, dan bermukim. Wanita, anak kecil, musafir, dan orang sakit tidak diwajibkan, tetapi boleh menghadirinya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Beliau menegaskan, meninggalkan shalat Jum’at tanpa uzur termasuk dosa besar, sebagaimana hadis Nabi ﷺ tentang ancaman bagi yang meremehkan ibadah ini.

Syarat Wajib Shalat Jum’at

Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa syarat wajib shalat Jum’at:

  1. Islam – tidak diwajibkan bagi non-Muslim.
  2. Baligh – anak kecil tidak terkena kewajiban.
  3. Berakal – orang gila tidak dikenai taklif.
  4. Laki-laki – wanita tidak diwajibkan.
  5. Sehat – orang yang sakit mendapat keringanan.
  6. Bermukim – musafir tidak wajib melaksanakannya.

Syarat Sah Shalat Jum’at

Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi menekankan syarat sah pelaksanaan shalat Jum’at, antara lain:

  • Dilaksanakan dalam waktu Zuhur.
  • Jumlah jamaah minimal empat puluh orang laki-laki menurut mazhab Syafi’i.
  • Didahului dengan dua khutbah.
  • Berlangsung dalam wilayah permukiman.

Rukun dan Sunnah Shalat Jum’at

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa rukun shalat Jum’at sama dengan shalat fardhu lainnya, yaitu niat, takbiratul ihram, bacaan, rukuk, sujud, dan seterusnya. Namun, keistimewaan shalat Jum’at terletak pada khutbah yang menjadi syarat sah.

Khutbah Jum’at memiliki rukun, seperti:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

  • Memuji Allah.
  • Membaca shalawat untuk Nabi ﷺ.
  • Wasiat takwa.
  • Membaca ayat Al-Qur’an.
  • Mendoakan kaum muslimin.

Selain itu, terdapat sunnah-sunnah yang memperindah shalat Jum’at, seperti mandi Jum’at, memakai pakaian terbaik, menggunakan wangi-wangian, datang lebih awal, dan duduk dekat imam.

Hikmah Shalat Jum’at Menurut Imam an-Nawawi

Imam an-Nawawi menekankan bahwa shalat Jum’at bukan sekadar ibadah, melainkan syiar persatuan umat. Saf-saf jamaah yang penuh setiap pekan menunjukkan kekuatan Islam. Khutbah Jum’at menjadi media edukasi dan dakwah, sementara pertemuan jamaah memperkuat ukhuwah.

Dengan kata lain, shalat Jum’at mendidik umat untuk:

  • Mengutamakan kepentingan agama di atas urusan dunia.
  • Mendengarkan nasihat sebagai bekal hidup.
  • Menjalin silaturahmi antarjamaah.

Masalah-Masalah Fiqih Seputar Shalat Jum’at

Orang yang Datang Terlambat

Imam an-Nawawi menjelaskan, jika seseorang datang terlambat dan masih mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka ia dianggap mendapatkan shalat Jum’at. Jika kurang dari satu rakaat, maka ia wajib menyempurnakan Zuhur.

Shalat Jum’at dalam Perjalanan

Menurut mazhab Syafi’i yang dijelaskan Imam an-Nawawi, musafir tidak diwajibkan shalat Jum’at. Namun, jika mereka melaksanakannya dengan terpenuhi syarat sah, maka shalatnya tetap sah.

Jumlah Minimal Jamaah

Mazhab Syafi’i mensyaratkan minimal empat puluh orang laki-laki mukim untuk sahnya shalat Jum’at. Imam an-Nawawi menegaskan hal ini, meskipun ada perbedaan pendapat di mazhab lain yang menetapkan jumlah lebih sedikit.

Perbandingan dengan Kitab Fathul Wahhab

Jika dibandingkan dengan Fathul Wahhab karya Zakariya al-Anshari, pembahasan shalat Jum’at lebih ringkas dan praktis. Fathul Wahhab menyoroti syarat wajib, syarat sah, serta tata cara pelaksanaan dengan fokus pada aspek amaliyah.

Sebaliknya, Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi menyajikan pembahasan yang lebih luas. Beliau menguraikan dalil dari Al-Qur’an, hadis, ijma’, hingga perbedaan pendapat ulama. Dengan demikian, Al-Majmu’ lebih ensiklopedis, sedangkan Fathul Wahhab lebih aplikatif bagi masyarakat umum.

Perbandingan dengan Kitab Fathul Mu’in

Sementara itu, Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibari menyajikan pembahasan shalat Jum’at dengan gaya yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Kitab ini lebih menekankan pada praktik sehari-hari, misalnya tata cara khutbah, hukum terlambat, dan adab jamaah.

Jika Al-Majmu’ lebih akademis dan mendalam, Fathul Mu’in lebih praktis dan ringkas. Keduanya saling melengkapi: Al-Majmu’ menjadi referensi ulama, sementara Fathul Mu’in menjadi pedoman umat.

Penutup

Shalat Jum’at adalah ibadah yang memancarkan cahaya persatuan. Imam an-Nawawi melalui Al-Majmu’ mengajarkan bahwa Jum’at bukan sekadar kewajiban, melainkan momen yang menghidupkan ruh umat.

Ketika azan Jum’at berkumandang, umat Islam meninggalkan kesibukan dunia untuk bergegas menuju masjid. Mereka duduk dalam saf yang sama, mendengarkan khutbah, lalu menunaikan shalat bersama. Semua sejajar di hadapan Allah, Sang Maha Penguasa.

Shalat Jum’at adalah simbol cinta, kebersamaan, dan ketaatan. Ia adalah tali yang menyambungkan hati-hati manusia dengan Sang Pencipta. Menjaga shalat Jum’at berarti menjaga denyut nadi persatuan umat.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqra’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement