Haid, nifas, dan istihadhah adalah bagian dari realitas biologis perempuan yang mendapat perhatian khusus dalam Islam. Fiqih membahas ketiganya bukan hanya dari sisi hukum ibadah, tetapi juga dalam konteks spiritualitas dan kesucian. Imam an-Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi’i, dalam karya monumentalnya Al-Majmu’, membahas hukum-hukum haid, nifas, dan istihadhah secara detail, menyeluruh, dan penuh kedalaman.
Di awal pembahasan, penting untuk memahami bahwa syariat tidak bermaksud membebani perempuan, melainkan memberikan panduan agar ibadah tetap selaras dengan kondisi alami tubuh. Al-Qur’an menyebutkan tentang haid:
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًۭى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
(QS. Al-Baqarah: 222)Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu jauhilah wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.”
Ayat ini menjadi landasan dasar fiqih haid, yang kemudian diperinci oleh para ulama, termasuk Imam an-Nawawi.
Haid dalam Perspektif Al-Majmu’
Definisi dan Batasan Waktu Haid
Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa haid adalah darah yang keluar secara alami dari rahim perempuan yang sehat, bukan karena melahirkan atau sakit.
Menurut beliau, batasan minimal haid adalah sehari semalam, sedangkan maksimalnya adalah 15 hari. Adapun kebiasaan umumnya adalah 6 atau 7 hari, sebagaimana tercatat dalam riwayat hadis.
Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Haid
Imam an-Nawawi menegaskan bahwa perempuan yang sedang haid dilarang melakukan beberapa hal, antara lain:
- Shalat dan puasa.
- Thawaf di Ka’bah.
- Menyentuh mushaf Al-Qur’an.
- Berhubungan suami-istri.
Namun, larangan ini bukan berarti mengurangi pahala mereka. Justru dalam sabda Rasulullah ﷺ kepada Aisyah r.a.:
إِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
(HR. Bukhari dan Muslim)Artinya: “Sesungguhnya itu (haid) adalah sesuatu yang Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam.”
Nifas Menurut Imam an-Nawawi
Definisi dan Durasi Nifas
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyebutkan bahwa batas maksimal nifas adalah 60 hari, sedangkan biasanya berlangsung selama 40 hari.
Hukum-Hukum Terkait Nifas
Sama seperti haid, perempuan yang sedang nifas tidak diwajibkan shalat dan puasa. Namun setelah masa nifas berakhir, mereka wajib mengganti puasa Ramadan yang ditinggalkan, sementara shalat tidak perlu diganti.
Istihadhah dalam Al-Majmu’
Istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari rahim di luar masa haid dan nifas. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa darah istihadhah berbeda karena tidak menghalangi kewajiban ibadah.
Perempuan yang mengalami istihadhah tetap diwajibkan melaksanakan shalat, puasa, dan boleh berhubungan dengan suami. Namun mereka harus berwudhu setiap masuk waktu shalat sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian).
Imam an-Nawawi menulis dalam Al-Majmu’:
“المستحاضة يغسل الدم عنها وتتوضأ لكل صلاة وتصلي”
“Perempuan istihadhah wajib membasuh darah darinya, berwudhu setiap kali hendak shalat, lalu melaksanakan shalat.”
Hikmah Disyariatkannya Aturan Haid, Nifas, dan Istihadhah
Fiqih yang mengatur haid, nifas, dan istihadhah bukanlah sekadar batasan hukum, tetapi juga sarana menjaga kesehatan, kebersihan, dan kehormatan perempuan. Dengan adanya aturan ini, ibadah menjadi lebih tertib dan perempuan tidak terbebani di luar batas kemampuan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ
(QS. Al-Baqarah: 185)Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”
Perbedaan Haid, Nifas, dan Istihadhah dalam Kehidupan Sehari-hari
Imam an-Nawawi membedakan secara tegas antara haid, nifas, dan istihadhah. Ketiganya memiliki implikasi hukum yang berbeda, baik dalam shalat, puasa, maupun hubungan suami-istri.
- Haid dan nifas: menghentikan kewajiban ibadah tertentu.
- Istihadhah: tidak menghalangi ibadah, hanya membutuhkan pengelolaan kebersihan.
Dengan penjelasan ini, perempuan Muslim memiliki panduan yang jelas untuk tetap beribadah sesuai kondisi biologisnya.
Relevansi Pembahasan Imam an-Nawawi dalam Konteks Modern
Di zaman sekarang, banyak perempuan yang menghadapi kebingungan membedakan antara haid, nifas, dan istihadhah, terutama dengan pola menstruasi yang tidak teratur. Penjelasan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ sangat relevan karena memberikan standar batas waktu, tanda-tanda, dan hukum yang bisa menjadi pegangan.
Perbandingan dengan Kitab Fathul Wahhab
Ketika membandingkan Al-Majmu’ dengan Fathul Wahhab karya Zakariya al-Anshari, terlihat bahwa Fathul Wahhab menyajikan pembahasan lebih ringkas. Ia menyoroti durasi haid dan nifas serta kewajiban ibadah setelah masa itu selesai, tanpa uraian panjang lebar.
Sementara Al-Majmu’ memberikan penjelasan komprehensif, lengkap dengan dalil dan pendapat para ulama. Hal ini menunjukkan corak Imam an-Nawawi yang detail, mendalam, dan sistematis.
Perbandingan dengan Kitab Fathul Mu’in
Jika dibandingkan dengan Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibari, maka terlihat gaya yang lebih praktis dan mudah dipahami masyarakat awam. Fathul Mu’in lebih menekankan aspek amaliyah, misalnya cara menghitung masa haid atau nifas, dan bagaimana hukum ibadah setelahnya.
Sedangkan Al-Majmu’ memuat kajian lebih akademik, menjelaskan argumentasi hukum dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Dengan demikian, keduanya saling melengkapi: Al-Majmu’ menjadi rujukan mendalam, sedangkan Fathul Mu’in menjadi panduan praktis.
Penutup
Fiqih haid, nifas, dan istihadhah bukan sekadar hukum kering, melainkan cermin kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Imam an-Nawawi melalui Al-Majmu’ telah mewariskan panduan yang sangat jelas, agar perempuan bisa tetap menjaga kesucian, kesehatan, dan kehormatan dalam setiap kondisi.
Ketika darah menjadi ujian, ibadah tetap menemukan jalannya. Dan ketika syariat mengatur dengan detail, sesungguhnya ia hadir bukan untuk membebani, melainkan untuk meringankan.
Di balik setiap tetes darah yang keluar, ada pengingat bahwa kesucian sejati tidak hanya diukur dari jasad, melainkan juga dari hati yang selalu rindu kepada Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
