Khazanah
Beranda » Berita » Tayamum Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’: Fiqih Kesucian dalam Keadaan Darurat

Tayamum Menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’: Fiqih Kesucian dalam Keadaan Darurat

Ilustrasi tayamum menurut Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’
Lukisan digital semi-realistis bergaya filosofis, menampilkan seorang Muslim mengusap wajah dengan debu suci di padang pasir dengan cahaya lembut dari langit.

Tayamum merupakan salah satu bentuk keringanan (rukhsah) yang Allah berikan kepada hamba-Nya ketika tidak mampu menggunakan air untuk bersuci. Dalam kondisi sakit, ketiadaan air, atau adanya bahaya bila menggunakan air, tayamum menjadi pengganti wudhu dan mandi wajib. Imam an-Nawawi dalam kitab monumental Al-Majmu’ menaruh perhatian besar terhadap bab tayamum ini, dengan menjelaskan syarat, rukun, dan hikmahnya secara detail.

Di sisi lain, Al-Qur’an menegaskan kemudahan ini sebagai bentuk kasih sayang Allah:

وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءًۭ فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًۭا طَيِّبًۭا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
(QS. An-Nisa: 43)

Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan, atau datang dari tempat buang air, atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik; sapulah wajah dan tanganmu dengan tanah itu.”

Ayat ini menjadi dasar hukum utama tayamum, yang kemudian diperinci dalam kitab-kitab fiqih, termasuk Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Landasan Hukum Tayamum dalam Al-Majmu’

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa tayamum adalah ibadah pengganti (badal) dari wudhu dan mandi wajib. Beliau menjelaskan bahwa tayamum memiliki dalil yang kuat dari Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan ijma’ ulama.

Dalam Al-Majmu’, beliau menuliskan:

“والتيمم مشروع بالكتاب والسنة والإجماع”
“Dan tayamum disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.”

Penjelasan ini menunjukkan bahwa tayamum bukan sekadar keringanan, melainkan bagian dari kesempurnaan syariat Islam yang selalu memudahkan hamba-Nya.

Syarat-Syarat Tayamum Menurut Imam an-Nawawi

Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa syarat utama yang harus dipenuhi sebelum seseorang melakukan tayamum:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

  1. Tidak adanya air atau adanya bahaya bila menggunakan air.
    Jika air tidak tersedia setelah mencari dengan sungguh-sungguh, maka tayamum diperbolehkan.
  2. Menggunakan tanah yang suci.
    Tanah atau debu yang dipakai harus suci dan tidak tercampur najis.
  3. Masuk waktu shalat.
    Imam an-Nawawi menegaskan bahwa tayamum tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat, karena ia menjadi pengganti wudhu atau mandi untuk ibadah tertentu.
  4. Adanya udzur syar’i.
    Seperti sakit yang dapat bertambah parah bila terkena air.

Rukun Tayamum dalam Al-Majmu’

Imam an-Nawawi menjelaskan ada empat rukun tayamum:

  1. Niat – diniatkan untuk menghalalkan shalat atau ibadah yang membutuhkan wudhu.
  2. Mengusap wajah dengan tanah.
  3. Mengusap kedua tangan hingga siku.
  4. Tertib, yaitu mendahulukan wajah lalu tangan.

Beliau menekankan pentingnya niat, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”

Sunnah-Sunnah Tayamum

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Selain rukun, Imam an-Nawawi juga menyebutkan beberapa sunnah tayamum dalam Al-Majmu’, antara lain:

  • Membaca basmalah sebelum tayamum.
  • Mendahulukan tangan kanan daripada tangan kiri.
  • Menipiskan debu pada wajah agar tidak berlebihan.
  • Menghadap kiblat saat bertayamum.

Sunnah-sunnah ini menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam yang memperhatikan adab dalam setiap ibadah.

Hikmah Tayamum Menurut Imam an-Nawawi

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa tayamum adalah bentuk rahmat Allah agar manusia tetap bisa menjaga hubungan dengan-Nya dalam kondisi sulit. Dengan tayamum, seseorang tidak kehilangan kesempatan untuk shalat dan beribadah.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ:

جُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya: “Dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan alat bersuci.”

Perbedaan Tayamum dengan Wudhu dan Mandi

Meskipun tayamum menjadi pengganti wudhu dan mandi, Imam an-Nawawi menegaskan bahwa tayamum hanya berlaku sementara. Jika seseorang sudah bisa menemukan air, maka tayamumnya batal dan ia wajib bersuci dengan air.

Dengan demikian, tayamum bukan pengganti permanen, tetapi jalan sementara agar ibadah tetap bisa dilakukan.

Tayamum dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks kehidupan modern, tayamum masih relevan. Misalnya, seorang pasien di rumah sakit yang tidak bisa terkena air karena luka operasi. Atau seorang musafir yang bepergian ke daerah kering tanpa air.

Imam an-Nawawi melalui Al-Majmu’ memberi pedoman jelas: selama ada uzur syar’i, tayamum tetap sah dan menggugurkan kewajiban bersuci dengan air.

Perbandingan dengan Kitab Fathul Wahhab

Menariknya, ketika kita membandingkan pembahasan tayamum dalam Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi dengan Fathul Wahhab karya Zakariya al-Anshari, terlihat nuansa perbedaan dalam penekanan. Fathul Wahhab lebih ringkas dengan menyoroti syarat dan rukunnya, sementara Al-Majmu’ lebih luas dengan penjelasan argumentasi dari dalil Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.

Selain itu, Al-Majmu’ memberikan contoh praktis penggunaan tayamum dalam berbagai kondisi, sedangkan Fathul Wahhab lebih fokus pada hukum formal dan batasan fiqihnya. Perbedaan gaya ini justru saling melengkapi dalam memberikan pemahaman yang utuh kepada umat.

Perbandingan dengan Kitab Fathul Mu’in

Jika kita bandingkan lagi dengan Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibari, terlihat bahwa penjelasannya lebih sederhana dan praktis. Fathul Mu’in menekankan pada aspek amaliyah tayamum sehari-hari, seperti tata cara mencari tanah suci, batas wajah yang diusap, dan kapan tayamum batal.

Sementara Al-Majmu’ mengurai lebih mendalam dengan landasan dalil yang kuat. Hal ini mencerminkan metode Imam an-Nawawi yang sangat sistematis dan menyeluruh dalam fiqih. Dengan demikian, bagi penuntut ilmu, Al-Majmu’ adalah referensi komprehensif, sedangkan Fathul Mu’in lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam.

Penutup

Tayamum bukan sekadar pengganti wudhu, melainkan simbol kelembutan Allah yang tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menghadirkan panduan yang jelas, agar setiap Muslim bisa tetap suci meski dalam keterbatasan.

Ketika tangan kita menyentuh debu suci, hati pun teringat pada asal penciptaan: tanah. Kesucian itu bukan hanya membersihkan jasad, tetapi juga menundukkan jiwa agar lebih dekat kepada Sang Pencipta.

Seperti debu yang menempel di wajah, tayamum mengingatkan kita akan kefanaan, sekaligus mengajarkan bahwa ibadah selalu memiliki jalan, bahkan dalam keterbatasan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqra’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement