Khazanah
Beranda » Berita » Umair ibn Sa‘d : Gubernur Homs yang Tak Tergoda Dunia

Umair ibn Sa‘d : Gubernur Homs yang Tak Tergoda Dunia

Umair ibn Sa‘d : Gubernur Homs yang Tak Tergoda Dunia
Ilustrasi sahabat yang berjalan kaki memasuki Madinah.

SURAU.CO-Umair ibn Sa‘d seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar keturunan suku Aus. Ia memeluk Islam bersama ayahnya, Sa‘d ibn Ubaid ibn al-Nu‘man. Ketika bersyahadat, usia Umair belum lagi genap sepuluh tahun. Umair hidup tenang dan bahagia bersama ayah dan ibunya. Namun, sebuah kecelakaan merenggut nyawa ayahnya sehingga ia hidup bersama ibunya. Setelah kematian ayahnya, al-Jullas datang meminang ibunya. Ia berjanji akan memperlakukan Umair dengan baik dan bersedia menafkahinya. Mereka menikah dan al-Jullas menetapi janjinya. Ia memperlakukan Umair dengan baik dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Ia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya dengan sepenuh hati.

Umair sendiri mengakui kebaikan ayah tirinya. Tak jarang ia menceritakan kebaikan ayah tirinya itu kepada semua orang. Namun, keadaan itu berubah saat ia mendengar ayah tirinya mengucapkan kata-kata yang tidak layak terucap dari orang beriman. Menurutnya, kata-kata itu hanya pantas terucap dari mulut orang kafir.

Ayah tiri Umair tidak tergerak menyambut jihad

Ketika seruan jihad menuju Tabuk berkumandang, kaum muslim bergegas mempersiapkan segala kebutuhan. Mereka kerahkan segala kemampuan dan harta benda yang mereka miliki. Di antara mereka ada yang menyerahkan unta, kuda, dan harta benda lain untuk membeli peralatan perang. Kaum wanita tak mau ketinggalan. Tidak sedikit di antara mereka yang menyerahkan perhiasan untuk mendukung perang, kemudian mereka serahkan uangnya untuk membiayai perang.

Umair terkejut melihat ayah tirinya tidak tergerak sama sekali mendengar panggilan jihad itu. Tidak sepeser pun harta yang dia keluarkan untuk membiayai jihad ke Tabuk. Umair semakin kaget ketika mendengar kata-kata yang tidak layak diucapkan keluar dari mulut ayah tirinya, “Jika apa yang dikatakan Muhammad itu benar, berarti kita lebih buruk dari keledai.”

Seperti mendengar petir di siang bolong, Umair sangat terkejut dan seketika itu juga rasa sayang terhadap ayah tirinya menguap. Perkataannya itu benar-benar menyakitkan siapa pun yang mencintai Rasulullah saw.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Sangkalan ayah tiri Umair

Umair terus berpikir apakah perkataan ayah tirinya itu harus ia laporkan kepada Rasulullah atau tidak. Jika ia sampaikan kepada beliau, tentu ia tidak akan mendapat nafkah lagi dari ayahnya dan pasti ayahnya akan marah besar. Jika ia sembunyikan, ia takut beliau akan mendapat kabar dari langit tentang perkataan ayah tirinya dan ia dianggap menyetujui kelakuan ayahnya.

Namun, keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah saw. menyingkirkan semua keraguan. Hati kecilnya berkata, “Hai Umair, jika kau memang mencintai Rasulullah maka buktikanlah cinta itu sekarang dan ceritakanlah apa yang dikatakan ayahmu!” Maka, ia memberanikan diri menceritakan apa yang dikatakan ayah tirinya kepada beliau.

Setelah mendengar penuturan Umair, Rasulullah memerintahkan seorang sahabat untuk memanggil al-Jullas. Di hadapan beliau, al-Jullas menyangkal semua yang dituduhkan anak tirinya.

Turunnya ayat terkait kebohongan ayah tiri Umair

Tetapi Allah tidak dapat dibohongi. Melalui wahyu-Nya, Allah membuktikan kebenaran ucapan Umair ibn Sa‘d. Dia berfirman:

“Mereka (orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menghendaki apa yang tidak dapat mereka capai; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak punya pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Sesaat setelah Rasulullah saw. membacakan ayat tersebut, al-Jullas menjerit, “Aku bertobat kepada Allah! Sungguh apa yang  Umair katakan itu memang benar.”

Ibn Sirin berkata,

“Ketika turun ayat Al-Qur’an (wahyu) tersebut, Rasulullah saw. memegang telinga Umair dan bersabda, Hai anak muda, telingamu membenarkan dan Tuhanmu pun telah membenarkan.”

Umair ibn Sa’d : gubernur Homs yang berjalan kaki ke Madinah

Pada masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab, Umair pernah mendapat tugas memimpin Homs yang penduduknya terkenal sering mengeluhkan kelakuan pemimpin mereka. Setelah beberapa tahun bertugas, tak ada keluhan apa pun yang Khalifah Umar terima, tetapi tidak satu dirham pun yang masuk ke kas negara dari Homs. Khalifah merasa heran sehingga ia memanggil gubernur Umair ke Madinah. Tiba di hadapan Khalifah, wajah Umair menampakkan kelelahan luar biasa, karena perjalanan dari Homs ke Madinah ia tempuh dengan berjalan kaki.

Umair ibn Sa’d : menolak perpanjangan masa jabatan

Khalifah bertanya, “Apa yang kaubawa?” Umair menjawab, “Aku tak membawa apa pun, wahai Amirul Mukminin. Alhamdulillah aku sehat-sehat saja. Aku membawa serta dunia bersamaku.” “Barang dunia apa yang kaubawa?” “Aku membawa piring yang biasa kupergunakan untuk makan. Aku membawa wadah air untuk minum dan wudu. Aku juga membawa tongkat untuk bersandar dan sebagai alat pertahanan jika ada musuh yang menyerang. Demi Allah, seluruh penguasa dunia pasti membutuhkan semua benda milikku ini.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“Apakah kau membawa harta untuk Baitul Mal?” “Tidak.” “Kenapa?” “Semua orang Homs mengumpulkan harta rampasan perang. Setelah aku bermusyawarah dengan mereka, semua harta itu kusalurkan ke posnya masing-masing. Jika ada kelebihan, pasti aku membawanya ke sini.”

Mendengar laporan dari Umair, Khalifah berkata kepada sekretarisnya, “Perpanjang masa tugas Umair di Homs!” Mendengar ucapan Khalifah, Umair ibn Sa‘d langsung menolaknya, “Tidak, demi Allah, wahai Amirul Mukminin. Aku melakukan ini untukmu, tetapi aku tak mau melakukannya untuk orang sesudahmu!” Kemudian Umair pergi menemui keluarganya di pinggiran Madinah.

Perilaku Umair menjadi contoh keteladanan dari para sahabat Rasulullah saw. Bahkan Umar ibn al-Khaththab r.a. pernah berkata,

“Jika ada satu orang saja yang seperti Umair, aku pasti minta tolong kepadanya untuk mengurus kaum muslim.”

(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement