Pembahasan mengenai jihad dan amar ma’ruf nahi munkar selalu menarik dan relevan sepanjang zaman. Dua konsep besar ini tidak hanya menyentuh ranah ibadah individu, melainkan juga mengatur tata kehidupan sosial umat Islam. Kitab Fathul Wahhab karya Imam Zakariyya al-Anshari menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami hukum-hukum tersebut. Dengan gaya penyampaian yang padat namun sistematis, kitab ini menghadirkan panduan yang memadukan aspek syar’i dengan praktik nyata di masyarakat.
Pada era modern, pemahaman jihad dan amar ma’ruf nahi munkar seringkali ditarik ke dalam berbagai konteks, mulai dari isu spiritual, sosial, hingga politik. Karena itu, mempelajari penjelasan dalam Fathul Wahhab dapat membantu kita melihat bagaimana ulama klasik menempatkan kedua konsep ini secara proporsional, seimbang, dan tetap mengakar pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Jihad dalam Perspektif Fathul Wahhab
Definisi dan Ruang Lingkup
Dalam Fathul Wahhab, jihad dijelaskan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam meninggikan kalimat Allah. Imam Zakariyya al-Anshari menekankan bahwa jihad bukan hanya pertempuran fisik, melainkan juga mencakup upaya menjaga agama, menolak kebatilan, dan membela umat Islam dari ancaman.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ
(“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu…” – QS. Al-Hajj: 78)
Ayat ini menunjukkan bahwa jihad adalah kewajiban yang bersifat menyeluruh, mencakup dimensi fisik, spiritual, dan intelektual.
Syarat dan Ketentuan Jihad
Kitab Fathul Wahhab membahas bahwa jihad memiliki syarat-syarat tertentu. Antara lain: adanya izin dari pemimpin (imam/khalifah), kesiapan fisik dan mental, serta tujuan yang jelas, yakni meninggikan kalimat Allah, bukan untuk kepentingan duniawi.
Imam Zakariyya al-Anshari menegaskan:
“وَيَجِبُ الْجِهَادُ بِشَرْطِ الْإِمَامِ وَقُدْرَةٍ وَإِخْلَاصٍ”
(“Jihad menjadi wajib dengan syarat adanya izin imam, kemampuan, dan niat yang ikhlas.”)
Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Fathul Wahhab
Definisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf berarti mengajak kepada kebaikan, sementara nahi munkar bermakna mencegah kemungkaran. Fathul Wahhab menekankan bahwa perintah ini bersifat wajib sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
(“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” – HR. Muslim)
Tata Cara Melaksanakan
Dalam Fathul Wahhab, amar ma’ruf nahi munkar diatur dengan hierarki yang memperhatikan maslahat dan mudarat. Imam Zakariyya al-Anshari menjelaskan bahwa seseorang harus mengukur kemampuannya. Jika dengan tangan akan menimbulkan fitnah lebih besar, maka cukup dengan lisan atau doa dalam hati. Prinsip kehati-hatian ini menjadikan amar ma’ruf nahi munkar tetap berada dalam kerangka maslahat, bukan menimbulkan kerusakan baru.
Jihad dan Amar Ma’ruf sebagai Dua Pilar Kehidupan Sosial
Kedua konsep ini memiliki hubungan yang erat. Jihad tanpa amar ma’ruf bisa melahirkan kekerasan tanpa arah, sementara amar ma’ruf tanpa jihad bisa kehilangan daya tekan dan wibawa. Oleh karena itu, Fathul Wahhab memadukan keduanya secara seimbang.
Dengan jihad, umat Islam menjaga keberlangsungan agama dan kehormatan. Dengan amar ma’ruf nahi munkar, umat memastikan nilai-nilai Islam tetap hidup dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Relevansi Jihad dan Amar Ma’ruf di Era Modern
Hari ini, jihad bisa dimaknai sebagai perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial. Sedangkan amar ma’ruf nahi munkar bisa diaplikasikan dengan aktif menyuarakan kebenaran di ruang publik, baik melalui media, pendidikan, maupun aktivitas sosial.
Keduanya tetap relevan karena berfungsi sebagai kontrol moral dan spiritual di tengah derasnya arus globalisasi. Umat Islam bisa mengambil inspirasi dari Fathul Wahhab untuk menjadikan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar sebagai panduan hidup yang membumi sekaligus transenden.
Perbandingan dengan Kitab Fathul Mu’in
Jika dibandingkan dengan Fathul Mu’in, keduanya memang memiliki pembahasan yang sama mengenai jihad dan amar ma’ruf nahi munkar, namun gaya penyajian berbeda. Fathul Wahhab lebih sistematis dan ringkas, menekankan syarat dan tata cara pelaksanaan secara praktis. Sedangkan Fathul Mu’in menambahkan dimensi fikih aplikatif, terutama dalam konteks sosial masyarakat pesantren di Nusantara.
Dalam Fathul Mu’in, jihad tidak hanya dikaitkan dengan peperangan, tetapi juga diperluas maknanya sebagai perjuangan menegakkan keilmuan dan menjaga tradisi Islam. Sementara pada amar ma’ruf nahi munkar, Fathul Mu’in lebih menekankan peran ulama dan tokoh masyarakat sebagai penggerak utama.
Dengan demikian, Fathul Wahhab memberi kerangka hukum yang jelas, sementara Fathul Mu’in meneguhkan praksis sosial yang lebih dekat dengan realitas umat di lapangan. Keduanya saling melengkapi, sehingga pembaca dapat memahami jihad dan amar ma’ruf nahi munkar dari dua perspektif: normatif-hukum dan praktis-sosial.
Penutup
Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar dalam Fathul Wahhab adalah dua konsep besar yang saling menguatkan. Keduanya tidak boleh dipisahkan karena merupakan pilar tegaknya agama dan kehidupan bermasyarakat.
Di satu sisi, jihad menuntut umat Islam untuk siap berkorban demi agama dan kemanusiaan. Di sisi lain, amar ma’ruf nahi munkar meneguhkan peran umat sebagai penjaga moral dan spiritual bangsa. Ketika keduanya dijalankan dengan ikhlas, penuh hikmah, dan berlandaskan syariat, maka Islam akan selalu hadir sebagai rahmat bagi semesta.
Sebagaimana cahaya yang tidak pernah padam, jihad dan amar ma’ruf nahi munkar akan terus menjadi obor penerang jalan umat Islam di tengah kegelapan zaman.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
