Khazanah
Beranda » Berita » Hudud dalam Fathul Wahhab: Memahami Batas Syariat dan Keadilan Ilahi

Hudud dalam Fathul Wahhab: Memahami Batas Syariat dan Keadilan Ilahi

Ilustrasi realistik hudud dalam Fathul Wahhab, hakim Islam dengan mushaf Al-Qur’an terbuka dan cahaya keadilan yang menyinari.
Lukisan semi-realistis menampilkan suasana ruang pengadilan tradisional Islam. Seorang qadhi (hakim) duduk dengan tenang, di depannya ada mushaf Al-Qur’an terbuka. Cahaya lembut turun dari atas, menerangi ruang sidang, simbol keadilan ilahi. Di sisi lain, masyarakat duduk menyimak dengan penuh hormat.

Pembahasan tentang hudud dalam Fathul Wahhab selalu memantik perhatian. Hudud, yang berarti batas-batas hukum Allah, menjadi salah satu tema penting dalam fikih Islam. Kitab Fathul Wahhab, karya Syaikh Zakariya al-Anshari, berfungsi sebagai rujukan utama dalam mazhab Syafi’i. Di dalamnya, beliau tidak hanya menjelaskan hudud secara hukum, tetapi juga menyusunnya dengan penekanan pada hikmah, keadilan, dan keteraturan sosial.

Al-Qur’an sendiri menegaskan urgensi hudud sebagai ketentuan Allah yang wajib dijaga. Allah berfirman:

﴿ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ﴾
“Itulah batas-batas (hukum) Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar batas-batas Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Ayat ini menegaskan bahwa hudud bukan sekadar hukum pidana, tetapi juga pagar moral yang melindungi masyarakat dari kerusakan.

Apa Itu Hudud Menurut Fathul Wahhab?

Dalam Fathul Wahhab, Syaikh Zakariya al-Anshari menjelaskan hudud sebagai hukuman yang syariat sudah menentukan bentuk dan ukurannya tanpa memberi ruang bagi hakim untuk menambah atau mengurangi. Tujuan hukuman ini bukan hanya memberi efek jera, tetapi juga menjaga lima maqashid syariah: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hudud menjadi fondasi sosial yang menegakkan keadilan. Dengan menegakkan hudud, umat terhindar dari tindakan anarkis, balas dendam pribadi, serta kerusakan moral. Syekh Zakariya al-Anshari menyusun penjelasan hudud secara sistematis, mulai dari zina, qadzf (tuduhan zina), pencurian, perampokan, minum khamar, hingga murtad.

Hudud Zina

Hudud zina menjadi salah satu tema yang paling sering dibicarakan. Dalam Fathul Wahhab, zina terbagi menjadi dua: zina muhsan (pelaku yang sudah menikah) dan zina ghairu muhsan (belum menikah).

Rasulullah ﷺ bersabda:

« خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً: البِكْرُ بِالبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ »
“Ambillah hukum dariku. Sesungguhnya Allah telah menentukan jalan bagi mereka: perawan dengan perawan (berzina) dihukum seratus cambukan dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan janda dengan duda (berzina) dihukum seratus cambukan dan dirajam.” (HR. Muslim)

Fathul Wahhab menekankan bahwa hakim hanya boleh menegakkan hudud zina dengan syarat ketat: adanya empat orang saksi yang adil atau pengakuan sukarela dari pelaku. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam menjaga kehormatan seseorang dari tuduhan sembarangan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Hudud Qadzf (Tuduhan Zina)

Qadzf berarti menuduh orang lain berzina tanpa bukti yang sah. Dalam Fathul Wahhab, hakim menjatuhkan hukuman 80 cambukan bagi pelakunya, sesuai firman Allah:

﴿ وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَـٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَـٰنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَـٰدَةً أَبَدًۭا ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ ﴾
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berzina) kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. An-Nur: 4)

Dengan demikian, hudud qadzf menjaga kehormatan dan martabat manusia dari fitnah.

Hudud Pencurian

Fathul Wahhab juga membahas hukuman potong tangan bagi pencuri. Namun, hakim hanya menjatuhkan hukuman ini jika barang curian mencapai nisab, diambil dari tempat penyimpanan yang layak, dan bukan milik kerabat dekat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

« إِنَّمَا أَهْلَكَ ٱلَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا۟ إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ ٱلشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ ٱلضَّعِيفُ أَقَامُوا۟ عَلَيْهِ ٱلْحَدَّ »
“Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah, jika orang terpandang mencuri mereka membiarkannya, namun jika orang lemah mencuri mereka menegakkan hudud atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan pentingnya keadilan tanpa pandang bulu.

Hudud Hirabah (Perampokan)

Fathul Wahhab menjelaskan bahwa pelaku hirabah atau perampokan jalanan mendapat hukuman berat sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Maidah: 33: dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang, atau diasingkan.

Hukuman ini Allah tetapkan bukan untuk menebar kekerasan, melainkan untuk melindungi keamanan umum dan menciptakan rasa aman dalam masyarakat.

Hudud Minum Khamar

Dalam Fathul Wahhab, hakim menjatuhkan hukuman 40 kali dera bagi peminum khamar, dan bisa menjadi 80 kali sesuai keputusan penguasa. Hadis Nabi ﷺ menjadi landasannya:

« مَنْ شَرِبَ ٱلْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ »
“Siapa yang minum khamar, maka deralah ia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukuman ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mendidik agar manusia menjauhi sesuatu yang merusak akal dan kesadaran.

Hudud Murtad

Fathul Wahhab menegaskan hukuman mati bagi orang yang murtad dan menolak bertaubat setelah diberi kesempatan. Dalilnya sabda Nabi ﷺ:

« مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ »
“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari)

Namun, para ulama selalu mengutamakan proses taubat, dan hakim hanya menegakkan hukuman bila pelaku menolak kembali kepada Islam.

Membandingkan Hudud dalam Fathul Wahhab dengan Kitab Lain

Jika kita membandingkan pembahasan hudud dalam Fathul Wahhab dengan Fathul Mu’in, keduanya sama-sama menekankan keadilan dan syarat ketat dalam penegakan hukum. Akan tetapi, Fathul Wahhab menyusun kategori hudud secara lebih sistematis, dengan penekanan detail pada definisi, syarat, dan hikmahnya. Sementara itu, Fathul Mu’in lebih ringkas dan cenderung memberikan gambaran praktis untuk para santri pemula.

Berbeda pula dengan Al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi. Dalam kitab itu, Imam an-Nawawi membahas hudud dengan gaya ensiklopedis, sangat luas, dan memuat perbedaan pendapat lintas mazhab. Sedangkan Fathul Wahhab menekankan penerapan dalam mazhab Syafi’i secara konsisten. Karena lugas dan terarah, banyak pesantren menjadikan Fathul Wahhab sebagai rujukan utama dalam studi fikih.

Penutup

Hudud dalam Fathul Wahhab bukan sekadar hukum pidana Islam yang keras, melainkan sistem ilahi yang berorientasi pada keadilan, keamanan, dan pemeliharaan martabat manusia. Allah menghadirkan ketentuan hudud sebagai pagar agar manusia tidak terjerumus pada kerusakan sosial.

Jika kita memahami hudud secara utuh, kita akan melihatnya sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Hudud menjaga masyarakat dari kezaliman, mengokohkan sendi keadilan, dan menuntun umat agar hidup dalam harmoni.

Seperti cahaya yang memancar dari langit, hudud menjadi tanda cinta Allah yang tak pernah padam. Tugas kita bukan hanya memahami hukum-hukum itu, tetapi juga meresapi hikmahnya agar hidup ini berjalan dalam ridha-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqra’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement