Surau.co. Filsafat sering dianggap sebagai sesuatu yang berat, penuh dengan istilah asing, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, Ibn Ṭufayl, seorang filsuf Muslim abad ke-12 dari Andalusia, justru memilih cara yang berbeda dalam menjelaskan gagasan besarnya. Ia menulis kisah Ḥayy ibn Yaqẓān, sebuah cerita tentang seorang anak yang hidup sendirian di pulau terpencil, yang kemudian berkembang menjadi simbol perjalanan intelektual manusia menuju kebenaran dan Tuhan. Pilihan bentuk cerita ini bukan sekadar gaya, melainkan strategi filosofis agar ide-ide mendalam dapat dipahami dengan lebih manusiawi dan dekat dengan pengalaman hidup kita.
Filsafat yang Hadir dalam Kisah Kehidupan
Dalam kisah Ḥayy ibn Yaqẓān, Ibn Ṭufayl menyuguhkan petualangan seorang manusia yang belajar langsung dari alam. Hayy kecil tumbuh tanpa guru, tanpa kitab, bahkan tanpa masyarakat. Ia hanya ditemani lingkungan sekitar: binatang, pohon, dan langit luas. Dari sanalah ia mulai bertanya, merenung, dan akhirnya menemukan pengetahuan.
Ibn Ṭufayl menulis:
“فَكَانَ لَا يَزَالُ يَتَأَمَّلُ فِي الْأَشْيَاءِ حَتَّى يَعْرِفَ سَبَبَهَا وَيَكْتَشِفَ عِلَّتَهَا”
“Ia senantiasa merenungkan segala sesuatu hingga menemukan sebabnya dan menyingkap hakikatnya.”
Kutipan ini menggambarkan bagaimana rasa ingin tahu manusia bisa menjadi jalan menuju ilmu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering menemukan hal serupa: seorang anak kecil yang terus bertanya, “Mengapa langit biru? Mengapa hujan turun?” Pertanyaan sederhana ini adalah pintu awal menuju pengetahuan.
Menghubungkan Filsafat dengan Fenomena Sehari-hari
Jika kita pikirkan, Ibn Ṭufayl seperti sedang menulis untuk kita semua. Ia mengingatkan bahwa pengetahuan tidak selalu datang dari ruang kelas. Kadang, saat melihat bintang di malam hari, suara hujan di atap rumah, atau bahkan kesendirian di kamar, kita menemukan pertanyaan besar tentang hidup.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ”
(QS. Ali ‘Imran: 190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Ayat ini seakan menjadi jantung kisah Ibn Ṭufayl. Hayy ibn Yaqẓān tidak punya guru manusia, tetapi ia punya “kitab besar” bernama alam semesta.
Cerita sebagai Jalan untuk Menyampaikan Filsafat
Mengapa Ibn Ṭufayl memilih cerita, bukan risalah filsafat yang kaku? Jawabannya terletak pada daya imajinasi manusia. Cerita lebih mudah diingat, menyentuh perasaan, dan membuat gagasan abstrak terasa hidup. Dengan kisah Hayy, pembaca tidak hanya memahami konsep rasional, tetapi juga ikut mengalami kesendirian, pencarian, dan kebingungan tokoh utama.
Dalam kitabnya, Ibn Ṭufayl menulis:
“وَكَانَ يُشَاهِدُ الْحَيَوَانَاتِ وَيَتَفَكَّرُ فِي أَحْوَالِهَا حَتَّى اسْتَفَادَ عِلْمًا كَثِيرًا”
“Ia memperhatikan hewan-hewan dan merenungi keadaannya hingga memperoleh banyak ilmu.”
Ini menunjukkan bahwa filsafat tidak harus dihafalkan, melainkan bisa dialami. Sama seperti ketika kita menonton film atau membaca novel, pesan moral yang kuat sering kali lebih membekas daripada nasihat yang panjang.
Dari Ilmu Alam Menuju Tuhan
Salah satu inti filsafat dalam kisah ini adalah perjalanan dari ilmu alam menuju pengetahuan tentang Tuhan. Hayy mula-mula belajar tentang api, air, udara, hingga anatomi tubuh hewan. Namun, semua itu akhirnya membawanya pada kesadaran akan adanya sumber tunggal dari segala sesuatu.
Ibn Ṭufayl menuliskan:
“فَعَلِمَ أَنَّ هَذِهِ الْأَجْسَامَ لَهَا صَانِعٌ حَكِيمٌ لَا يَشْبَهُ شَيْئًا مِمَّا يَرَاهُ”
“Ia mengetahui bahwa jasad-jasad ini memiliki Pencipta Yang Maha Bijaksana, yang tidak serupa dengan apa pun yang ia lihat.”
Kutipan ini relevan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” (HR. al-Bayhaqi)
Kisah Hayy mengajarkan bahwa pencarian Tuhan dapat dimulai dari pengenalan terhadap diri sendiri dan dunia sekitar.
Relevansi untuk Zaman Modern
Meskipun ditulis hampir 900 tahun lalu, gagasan Ibn Ṭufayl masih terasa segar. Di era modern, banyak orang yang merasa terasing meski hidup di tengah keramaian. Kisah Hayy ibn Yaqẓān memberi pesan bahwa kesendirian tidak selalu buruk. Kadang, itu justru membuka ruang bagi refleksi diri dan pemahaman mendalam.
Ibn Ṭufayl menulis:
“وَكَانَ إِذَا خَلَا بِنَفْسِهِ وَتَفَكَّرَ ازْدَادَ نُورُ قَلْبِهِ وَاتَّسَعَ فَهْمُهُ”
“Setiap kali ia menyendiri dan merenung, cahaya hatinya bertambah dan pemahamannya meluas.”
Di sini, kita bisa belajar bahwa merenung sejenak di tengah kesibukan bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan.
Penutup: Hikmah di Balik Cerita
Ibn Ṭufayl menulis filsafat dalam bentuk cerita karena ia tahu manusia tidak hanya berpikir dengan akal, tetapi juga dengan hati dan imajinasi. Kisah Ḥayy ibn Yaqẓān membuktikan bahwa filsafat bisa hadir dalam bentuk yang indah, menyentuh, dan relevan sepanjang zaman.
Bagi kita hari ini, pesan itu jelas: jangan takut bertanya, jangan berhenti merenung, dan jangan abaikan tanda-tanda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Karena, seperti Hayy, setiap manusia sedang menjalani perjalanan intelektualnya masing-masing.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
