Khazanah
Beranda » Berita » Dari Rasa Ingin Tahu hingga Menemukan Tuhan: Perjalanan Intelektual Hayy ibn Yaqẓān

Dari Rasa Ingin Tahu hingga Menemukan Tuhan: Perjalanan Intelektual Hayy ibn Yaqẓān

Ilustrasi Hayy ibn Yaqẓān merenung di bawah langit berbintang mencari Tuhan.
Ilustrasi tokoh Hayy yang merenung di pulau, mencari jawaban dari bintang-bintang.

Surau.co. Sejak kecil kita terbiasa bertanya, “Mengapa langit biru?” atau “Mengapa burung bisa terbang?”. Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu adalah tanda bahwa manusia memiliki fitrah rasa ingin tahu. Ibn Ṭufayl, filsuf Andalusia abad ke-12, mengabadikan keajaiban rasa ingin tahu itu dalam kisah Ḥayy ibn Yaqẓān. Dalam ceritanya, seorang anak yang hidup di pulau terpencil, tanpa guru dan tanpa kitab, menemukan kebenaran tertinggi hanya dengan mengamati alam dan mendengarkan suaranya sendiri.

Kisah ini seakan mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki potensi belajar langsung dari alam semesta, dan dengan ketekunan, akal bisa menuntun kepada Sang Pencipta. Dari rasa ingin tahu, lahirlah jalan menuju Tuhan.

Belajar dari alam yang sederhana

Hayy tumbuh di sebuah pulau sunyi. Tanpa sekolah, ia belajar dari binatang, pepohonan, laut, dan bintang. Alam menjadi madrasah pertamanya. Ibn Ṭufayl menggambarkan bagaimana Hayy menilai perbedaan antara benda mati, tumbuhan, dan hewan.

“كان ينظر في الجماد فلا يرى فيه حياة، وينظر في النبات فيجد فيه حياة نامية، ثم ينظر في الحيوان فيرى فيه إدراكًا وحركةً.”
“Ia memandang pada benda mati dan tidak menemukan kehidupan, lalu melihat tumbuhan yang tumbuh, kemudian memperhatikan hewan yang memiliki kesadaran dan gerakan.”

Dari pengamatan kecil itu, Hayy belajar mengklasifikasi. Ia tidak berhenti pada apa yang tampak, tetapi mencoba memahami apa yang tersembunyi. Seperti kita yang sering kagum pada bunga mekar, tapi Hayy melangkah lebih jauh: ia bertanya apa yang membuat bunga hidup.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Mencari rahasia di balik kehidupan

Suatu hari, Hayy menemukan hewan kesayangannya mati. Peristiwa itu membuatnya merenung dalam-dalam. Ia membuka tubuh hewan itu untuk mencari apa yang hilang sehingga hewan tidak lagi bergerak. Dari sini, ia menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang bukan bagian dari tubuh fisik, tetapi memberi kehidupan: ruh.

Ibn Ṭufayl menulis:

“فعلم أن الجسد ليس هو الذي به الحياة، ولكن فيه جوهر لطيف إذا فارقه بطلت الحياة.”
“Ia mengetahui bahwa tubuh bukanlah sumber kehidupan, melainkan ada substansi halus yang jika meninggalkannya, maka kehidupan berhenti.”

Refleksi Hayy terasa begitu universal. Kita pun ketika menghadapi kematian orang terkasih sering bertanya: ke mana perginya kehidupan? Pertanyaan itu tak hanya filosofis, tapi juga sangat manusiawi.

Menyelami langit untuk menemukan asal-usul

Rasa ingin tahu Hayy tidak berhenti pada jiwa. Ia menatap bintang-bintang, gerakan bulan, dan terbit matahari. Baginya, keteraturan langit bukanlah kebetulan. Ia yakin ada “Sebab Pertama” yang mengatur semuanya.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

“فأيقن أن لهذا العالم صانعًا حكيمًا، لا يشبه المخلوقات، وهو العلة الأولى لكل موجود.”
“Ia yakin bahwa alam ini memiliki Pencipta yang Mahabijaksana, yang tidak menyerupai makhluk, dan Dialah sebab pertama segala wujud.”

Al-Qur’an pun menegaskan:

﴿صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ﴾ (An-Naml: 88)
“Itulah ciptaan Allah yang membuat segala sesuatu dengan sempurna.”

Hayy sampai pada keyakinan ini bukan melalui wahyu, melainkan lewat pengamatan. Namun Ibn Ṭufayl menekankan bahwa wahyu tetap diperlukan bagi masyarakat luas, karena tidak semua orang bisa menempuh jalan filsafat.

Dari akal menuju hati

Setelah melewati fase logika dan eksperimen, Hayy beralih pada kontemplasi. Ia mengurangi makan, menjauhi kesibukan, lalu berdiam diri untuk merenungi hakikat. Dalam kesunyian, ia merasakan kehadiran Sang Pencipta dengan cara yang tak terjelaskan kata.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

“فلما خلص قلبه من علائق الدنيا، أشرق فيه نور الحق، ورأى نفسه متصلةً بالوجود الأعلى.”
“Ketika hatinya bebas dari ikatan dunia, terpancarlah cahaya kebenaran, dan ia melihat dirinya terhubung dengan wujud yang lebih tinggi.”

Di sinilah Ibn Ṭufayl memperlihatkan keseimbangan antara filsafat dan tasawuf. Akal bisa membawa pada pengetahuan, tapi hati yang bersih membuka jalan menuju pengalaman spiritual.

Pertemuan dengan manusia dan makna agama

Akhir perjalanan Hayy terjadi ketika ia bertemu Absāl, seorang manusia lain yang berlayar ke pulau. Dari dialog mereka, Hayy belajar bahwa agama dengan simbol dan syariat adalah cara Allah memudahkan manusia memahami kebenaran. Tidak semua orang mampu menempuh jalan filsafat, tapi semua bisa mendekat lewat agama.

Kisah ini relevan bagi kita yang hidup dalam keragaman. Ada yang mencari Tuhan lewat ilmu, ada yang lewat ibadah sehari-hari. Dua jalan itu tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Pelajaran untuk kehidupan modern

Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Pertama, jangan remehkan rasa ingin tahu. Pertanyaan kecil bisa menuntun pada jawaban besar. Kedua, belajar dari alam bisa membentuk kesadaran ekologis. Kita hidup di tengah krisis lingkungan, dan kembali mendengar bahasa alam adalah solusi. Ketiga, akal dan hati harus berjalan bersama. Sains memberi pemahaman, sedangkan spiritualitas memberi makna.

Kisah Ḥayy ibn Yaqẓān adalah cermin bagi manusia modern: teknologi boleh maju, tetapi kearifan sejati tetap lahir dari kesederhanaan mengamati semesta.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement