Khazanah
Beranda » Berita » Menggali Filsafat Jiwa Ibn Sīnā: Relevansi Kitāb al-Nafs di Era Digital

Menggali Filsafat Jiwa Ibn Sīnā: Relevansi Kitāb al-Nafs di Era Digital

Ilustrasi Ibn Sīnā dan Kitāb al-Nafs dalam konteks era digital
Ilustrasi Ibn Sīnā duduk menulis dengan cahaya keluar dari dadanya, sementara layar digital berkilau di latar belakang, menggambarkan pertemuan filsafat klasik dan dunia modern.

Surau.co. Frasa kunci “Menggali filsafat jiwa Ibn Sīnā: Relevansi Kitāb al-Nafs di era digital” menjadi pintu masuk menarik untuk menelusuri bagaimana warisan intelektual Islam masih terasa hidup hingga hari ini. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang penuh dengan gawai, notifikasi tanpa henti, dan tekanan sosial, kita sering lupa bahwa pertanyaan mendasar “siapa aku?” sudah dijawab lebih dari seribu tahun lalu oleh seorang filsuf besar bernama Ibn Sīnā.

Karya monumentalnya, Kitāb al-Nafs, bukan hanya kitab filsafat klasik. Lebih dari itu, kitab ini menjadi fondasi bagi banyak diskusi tentang psikologi dan kesadaran. Oleh karena itu, artikel ini akan menelusuri isi dan makna kitab tersebut, lalu mengaitkannya dengan tantangan kehidupan modern.

Jiwa dalam Fenomena Kehidupan Sehari-Hari

Setiap hari kita bergulat dengan perasaan yang tidak selalu bisa dijelaskan logika. Ada kalanya tubuh sehat, tetapi hati tetap terasa kosong. Di saat lain, kecemasan datang meski tidak ada ancaman nyata. Ibn Sīnā memahami gejala itu sebagai bukti adanya substansi immaterial dalam diri manusia.

Dalam Kitāb al-Nafs, beliau menulis:

«النفس جوهر روحاني غير مادي قائم بذاته»
“Jiwa adalah substansi ruhani, non-material, yang berdiri dengan dirinya sendiri.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pernyataan ini menegaskan bahwa jiwa tidak bisa direduksi menjadi sekadar fungsi tubuh. Dengan kata lain, tubuh hanyalah wadah, sedangkan jiwa merupakan inti kehidupan.

Menjembatani Akal dan Spiritualitas

Di era digital, banyak orang mencari keseimbangan antara logika dan perasaan. Tidak jarang kita terjebak dalam algoritma media sosial yang memengaruhi suasana hati. Sejak lama, Ibn Sīnā menekankan pentingnya keterhubungan antara akal, imajinasi, dan wahyu.

Ia menulis:

«العقل قوة تدرك الكليات وتوجه النفس نحو الحقائق»
“Akal adalah daya yang menangkap hal-hal universal dan mengarahkan jiwa menuju kebenaran.”

Konsep ini terasa relevan ketika kita menghadapi banjir informasi. Akal bukan sekadar mesin pengolah data, melainkan penuntun yang membedakan mana kebenaran dan mana kebingungan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Al-Qur’an pun mengingatkan dalam QS. Al-‘Alaq [96]:1–2:

﴿اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ۝ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ﴾
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.”

Dengan demikian, pencarian ilmu dan kebenaran harus berangkat dari kesadaran spiritual, bukan hanya logika semata.

Imajinasi dan Memori sebagai Jejak Jiwa

Selain akal, Ibn Sīnā juga menaruh perhatian besar pada imajinasi. Dalam kehidupan, kita sering mengingat masa lalu, membayangkan masa depan, atau sekadar berkhayal.

Beliau menulis:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

«القوة المتخيلة تحفظ الصور بعد غياب المحسوسات»
“Daya imajinasi menyimpan bentuk-bentuk meskipun objek yang ditangkap indera sudah tiada.”

Pemikiran ini sejalan dengan teori psikologi modern tentang memori jangka panjang. Bahkan, di era digital, imajinasi membentuk cara kita berinteraksi dengan dunia maya. Foto, video, dan teks digital hanyalah representasi; daya imajinasi kitalah yang memberi makna pada semua itu.

Hubungan Jiwa dan Tubuh

Salah satu gagasan besar Ibn Sīnā ialah relasi antara jiwa dan tubuh. Menurutnya, jiwa bukan hasil tubuh, melainkan pengguna tubuh.

Dalam Kitāb al-Nafs, beliau menegaskan:

«النفس تستعمل البدن آلة لأفعالها»
“Jiwa menggunakan tubuh sebagai alat untuk melaksanakan tindakannya.”

Pandangan ini terasa sangat modern. Psikologi medis kini membahas hal serupa dalam psikosomatik, yaitu kondisi mental yang memengaruhi kesehatan fisik. Misalnya, stres kronis mampu menurunkan sistem imun. Ibn Sīnā sudah mengisyaratkan hubungan dua arah ini sejak abad ke-11.

Hadis Nabi ﷺ juga menguatkan:

«إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ» (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.”

Hadis ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan batin, sebab tubuh hanyalah perpanjangan dari kondisi jiwa.

Relevansi di Era Digital

Lalu, bagaimana ajaran Ibn Sīnā bisa diterapkan di tengah derasnya arus digital? Setidaknya ada beberapa refleksi penting:

  1. Mengatur konsumsi informasi: Jiwa butuh nutrisi, bukan hanya tubuh. Oleh karena itu, pilihlah bacaan dan tontonan yang sehat.

  2. Menyadari batas akal: Data besar tidak selalu sejalan dengan kebenaran. Jiwa perlu dihubungkan dengan nilai spiritual.

  3. Mengelola stres digital: Istirahat dari layar penting agar tubuh tidak mendominasi jiwa. Sebaliknya, jiwa harus tetap memimpin tubuh.

  4. Memupuk kesadaran: Dengan memahami diri, kita tidak mudah hanyut dalam tren sesaat.

Penutup

Akhirnya, menggali filsafat jiwa Ibn Sīnā melalui Kitāb al-Nafs memberi kesempatan untuk memahami bahwa manusia lebih dari sekadar algoritma biologis. Jiwa adalah inti, sedangkan tubuh hanyalah instrumen. Oleh karena itu, di era digital, pesan ini semakin relevan. Kita tidak boleh kehilangan arah karena gawai; sebaliknya, jiwa harus tetap memimpin akal dan tubuh agar hidup memiliki makna.

Warisan Ibn Sīnā menunjukkan bahwa filsafat Islam mampu memberi pencerahan lintas zaman. Dari abad pertengahan hingga era digital, Kitāb al-Nafs tetap menjadi lentera bagi siapa pun yang ingin memahami hakikat manusia.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement