Ekonomi Islam berdiri di atas prinsip keadilan, kebersamaan, dan keberkahan. Salah satu cara yang diajarkan syariat untuk mencapai tujuan itu adalah melalui akad kerja sama yang sah dan berlandaskan kejujuran. Dua akad penting yang sering muncul dalam diskusi fikih adalah syirkah dan mudharabah.
Kedua istilah ini tidak hanya sekadar teori hukum. Ia merupakan praktik nyata yang pernah dijalankan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Ulama kemudian menguraikannya lebih dalam dalam kitab-kitab fikih klasik, salah satunya Fathul Wahhab karya Imam Zakariya al-Anshari. Kitab ini menjadi rujukan penting bagi pesantren dan lembaga pendidikan Islam, terutama dalam bab muamalah.
Firman Allah dalam Al-Qur’an menegaskan legitimasi kerja sama bisnis yang halal:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Ayat tersebut meneguhkan bahwa aktivitas ekonomi bukan hanya boleh, tetapi juga bisa menjadi ibadah bila dilakukan dengan akad yang sah, termasuk syirkah dan mudharabah.
Mengenal Konsep Syirkah
Definisi Syirkah Menurut Fathul Wahhab
Secara sederhana, syirkah berarti kerja sama dalam kepemilikan atau usaha untuk mencari keuntungan bersama. Imam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhab menulis:
وَهِيَ اِجْتِمَاعٌ فِي الِاسْتِحْقَاقِ أَوْ التَّصَرُّفِ
“Syirkah adalah berkumpulnya dua pihak atau lebih dalam hak kepemilikan atau pengelolaan.”
Definisi ini menekankan dua aspek: adanya kesepakatan bersama dan adanya keterlibatan aktif dalam kepemilikan maupun pengelolaan usaha.
Rukun dan Syarat Syirkah
Agar syirkah sah menurut syariat, ia harus memenuhi rukun:
- Para pihak yang berakad (syarik).
- Modal atau objek usaha.
- Akad berupa ijab dan qabul.
- Keuntungan yang dibagi secara adil.
Selain itu, syirkah menuntut kejelasan modal, keterbukaan perhitungan, serta kerelaan dari semua pihak. Tanpa itu, syirkah bisa batal karena dianggap mengandung gharar (ketidakjelasan).
Macam-macam Syirkah
Dalam tradisi fikih Syafi’iyyah, syirkah terbagi dalam beberapa bentuk:
- Syirkah Inan: kerja sama dengan modal yang tidak harus sama besar.
- Syirkah Abdan: kerja sama berbasis tenaga dan keahlian.
- Syirkah Mufawadhah: kerja sama dengan modal dan tanggung jawab sama rata.
Ketiga bentuk ini memberikan fleksibilitas. Dengan syirkah, seseorang yang memiliki modal dapat bekerja sama dengan yang memiliki keterampilan, atau sebaliknya.
Memahami Konsep Mudharabah
Definisi Mudharabah Menurut Fathul Wahhab
Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola usaha (mudharib). Pemilik menyediakan modal, pengelola menjalankan usaha, dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan. Bila terjadi kerugian, pemilik modal menanggungnya, selama pengelola tidak lalai.
Dalam Fathul Wahhab disebutkan:
إِذَا دَفَعَ إِلَيْهِ مَالًا لِيَعْمَلَ فِيهِ وَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا فَهُوَ قِرَاضٌ
“Apabila seseorang menyerahkan harta kepada orang lain untuk dikelola, lalu keuntungan dibagi, maka itu adalah qiradh (mudharabah).”
Rukun dan Syarat Mudharabah
Rukun mudharabah mencakup:
- Pemilik modal.
- Pengelola usaha.
- Modal yang jelas, halal, dan berbentuk uang.
- Akad dengan kesepakatan persentase keuntungan.
Syaratnya adalah adanya kejelasan modal, larangan keuntungan berupa nominal tetap, serta kejujuran dari kedua belah pihak.
Kelebihan Mudharabah
- Memberi peluang bagi pemilik modal dan orang yang hanya punya keahlian.
- Menghidupkan semangat tolong-menolong.
- Menjadi alternatif halal bagi umat Islam dibanding pinjaman berbunga.
Hadits Nabi ﷺ menegaskan pentingnya kesepakatan dalam akad:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka sepakati.” (HR. Abu Dawud)
Syirkah dalam Perspektif Fathul Wahhab
Kitab Fathul Wahhab menjelaskan syirkah dengan detail, menekankan keharusan transparansi dan pembagian keuntungan yang adil. Imam Zakariya menolak segala bentuk ketidakjelasan dalam modal maupun akad karena dapat merugikan salah satu pihak.
Syirkah juga dipandang sebagai instrumen sosial yang mempererat ukhuwah. Dalam konteks modern, syirkah bisa ditemukan dalam bentuk koperasi syariah atau usaha patungan.
Mudharabah dalam Perspektif Fathul Wahhab
Imam Zakariya memandang mudharabah sebagai bentuk kerja sama yang sangat bermanfaat. Ia memberi peluang bagi orang yang memiliki keterampilan tetapi tidak memiliki modal. Sementara itu, pemilik modal bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus turun langsung mengelola.
Namun, beliau menekankan etika utama dalam mudharabah: kejujuran, kejelasan kesepakatan, dan tanggung jawab. Tanpa itu, akad mudharabah bisa berujung pada sengketa.
Perbedaan Fathul Wahhab dan Fathul Mu’in
Ciri Fathul Wahhab
- Menyusun penjelasan dengan sistematis dan detail.
- Lebih analitis dalam memaparkan syarat sah akad.
- Cocok untuk kajian mendalam di tingkat lanjut.
Ciri Fathul Mu’in
- Gaya bahasanya lebih sederhana.
- Banyak memberi contoh praktis untuk memudahkan pemahaman.
- Umumnya dipakai sebagai kitab pengantar bagi santri pemula.
Perbedaan ini membuat kedua kitab saling melengkapi. Fathul Wahhab menawarkan kedalaman hukum, sementara Fathul Mu’in menghadirkan kemudahan dalam memahami penerapan sehari-hari.
Relevansi di Era Kontemporer
Syirkah dan mudharabah tidak berhenti sebagai konsep klasik. Keduanya relevan hingga kini, terutama dalam praktik keuangan syariah. Misalnya:
- Bank syariah memanfaatkan akad mudharabah dalam produk tabungan dan pembiayaan.
- Koperasi syariah menerapkan prinsip syirkah untuk menghimpun modal dan berbagi keuntungan.
- Startup Islami menjalankan kerja sama berbasis keahlian dan modal dengan semangat mudharabah.
Dengan demikian, umat Islam bisa membangun ekonomi modern yang tetap berakar pada nilai-nilai spiritual.
Penutup
Syirkah dan mudharabah dalam Fathul Wahhab menunjukkan betapa Islam menempatkan keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sebagai pilar utama dalam berbisnis. Keduanya bukan sekadar aturan, melainkan jalan menuju harmoni sosial dan keberkahan ekonomi.
Seperti halnya sinar matahari yang membagi terang tanpa pilih kasih, demikian pula akad syirkah dan mudharabah mengajarkan bahwa keuntungan yang baik akan hadir bila dibagi dengan adil.
Dengan semangat itu, mari kita menata usaha dan ekonomi kita bukan hanya untuk keuntungan dunia, tetapi juga demi keberkahan akhirat.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
