Pernikahan adalah fitrah manusia yang disyariatkan sebagai jalan menjaga kehormatan, keturunan, dan kebahagiaan. Dalam Islam, nikah tidak hanya bermakna penyatuan dua insan, melainkan juga ibadah yang meneguhkan ketundukan kepada Allah. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih sayang dan rahmat.” (QS. Ar-Rum: 21)
Kitab Fathul Wahhab, karya Imam Zakariya al-Anshari, menjadi salah satu rujukan penting dalam fiqih Syafi’i yang banyak dikaji di pesantren Nusantara. Dalam kitab ini, nikah dipaparkan secara sistematis, mulai dari definisi, rukun, syarat, hingga hikmah. Artikel ini mengajak kita menelusuri pandangan Fathul Wahhab tentang nikah, dengan bahasa ringan namun tetap menjaga kedalaman makna.
Definisi Nikah dalam Fathul Wahhab
Imam Zakariya al-Anshari mendefinisikan nikah sebagai akad yang menghalalkan hubungan suami istri, sekaligus sarana menjaga keturunan. Definisi ini menegaskan bahwa nikah bukan sekadar kontrak sosial, melainkan ibadah yang bernilai spiritual.
Rasulullah Saw. bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini sejalan dengan penjelasan dalam Fathul Wahhab bahwa nikah adalah benteng moral dan jalan keberkahan.
Rukun Nikah Menurut Fathul Wahhab
Imam Zakariya merinci bahwa pernikahan tidak sah kecuali memenuhi rukun nikah berikut:
- Calon Suami
Syarat utama calon suami adalah beragama Islam, jelas identitasnya, dan tidak dalam kondisi terhalang menikah (misalnya masih memiliki empat istri sah).
- Calon Istri
Calon istri harus seorang muslimah yang halal dinikahi, bukan mahram, dan tidak dalam ikatan pernikahan lain.
- Wali Nikah
Wali adalah rukun penting dalam mazhab Syafi’i. Fathul Wahhab menegaskan bahwa nikah tanpa wali adalah tidak sah. Wali harus laki-laki, muslim, baligh, dan berakal.
- Dua Saksi
Minimal dua saksi muslim, adil, dan laki-laki diperlukan untuk menguatkan akad nikah. Tanpa saksi, pernikahan dianggap batal.
- Shighat (Ijab dan Qabul)
Ijab dari wali dan qabul dari mempelai laki-laki harus jelas, tidak mengandung syarat yang merusak akad, serta diucapkan dalam satu majelis.
Syarat Nikah dalam Fathul Wahhab
Selain rukun, nikah juga memiliki syarat yang harus dipenuhi:
- Kerelaan kedua pihak: pernikahan dipandang sebagai ikatan ridha, bukan paksaan.
- Mahar: meskipun bukan rukun, mahar menjadi syarat penyempurna. Allah berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa: 4)
Hikmah dan Tujuan Nikah Menurut Fathul Wahhab
Nikah memiliki hikmah yang luas, antara lain:
- Menjaga Kehormatan Diri
Nikah menjaga seseorang dari zina dan perbuatan keji.
- Melanjutkan Keturunan
Melahirkan generasi saleh adalah salah satu tujuan nikah. Rasulullah Saw. bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
- Menumbuhkan Mawaddah dan Rahmah
Nikah bukan hanya hubungan jasmani, tetapi juga ikatan ruhani yang menghadirkan cinta dan kasih sayang.
- Menegakkan Sunnah Rasul
Dalam Fathul Wahhab, menikah dipandang sebagai sunnah muakkadah. Bahkan sebagian ulama memandangnya wajib bagi yang mampu dan khawatir terjerumus dalam zina.
Nikah dalam Perspektif Sosial
Nikah menurut Fathul Wahhab tidak hanya berdampak pada individu, melainkan juga masyarakat. Dengan nikah, lahir keluarga sakinah yang menjadi pilar peradaban.
Dalam konteks ini, Fathul Wahhab mengingatkan agar pernikahan tidak dipandang sebagai beban sosial atau ekonomi, melainkan ibadah yang membawa keberkahan.
Mahar dan Kedudukannya
Imam Zakariya menegaskan bahwa mahar adalah hak istri yang wajib diberikan oleh suami. Mahar bukanlah harga, melainkan simbol penghargaan. Dalam tradisi Islam, mahar bisa berupa harta, jasa, atau bahkan hafalan Al-Qur’an, sebagaimana hadits:
زَوَّجْتُكَ بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Aku nikahkan engkau dengan (mahar) hafalan Al-Qur’an yang engkau miliki.” (HR. Bukhari-Muslim)
Wali sebagai Penjaga Akad
Dalam mazhab Syafi’i, posisi wali begitu penting. Fathul Wahhab menyatakan nikah tanpa wali tidak sah. Hal ini bertujuan menjaga kehormatan perempuan serta memastikan pernikahan dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Saksi sebagai Bukti Kekuatan Akad
Kehadiran dua saksi berfungsi sebagai penguat hukum. Dalam fiqih, saksi adalah penegak kebenaran, sehingga pernikahan bukan hanya urusan privat, tetapi juga sosial.
Penutup
Nikah dalam Fathul Wahhab adalah jalan suci untuk menegakkan ibadah, menjaga kehormatan, dan menumbuhkan generasi. Ia bukan hanya pertemuan dua hati, melainkan perjanjian agung (mitsaqan ghalizha) yang menghadirkan keberkahan dunia dan akhirat.
“Pernikahan adalah doa yang hidup. Ia terucap dalam ijab qabul, namun gaungnya terus berdentang dalam langkah suami istri. Dalam rumah tangga, cinta menjadi ibadah, dan ibadah menjadi cinta. Inilah pesan abadi dari syariat yang mengajarkan kita bahwa jalan menuju Allah bisa ditempuh melalui jalan keluarga.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
