Di balik setiap tokoh besar, seringkali terdapat sosok pendamping yang tak kalah tangguh, yang perannya mungkin jarang terungkap di permukaan sejarah. Nyai Solichah A. Wahid Hasyim adalah salah satu figur inspiratif tersebut. Sebagai istri dari K.H. A. Wahid Hasyim, seorang Pahlawan Nasional dan Menteri Agama pertama Indonesia, serta menantu dari Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Nyai Solichah memegang peran krusial dalam mendukung perjuangan suaminya dan mendidik generasi penerus bangsa. Keteladanannya mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, keikhlasan, kemandirian, dan dedikasi terhadap keluarga serta agama.
Latar Belakang dan Keluarga Mulia
Nyai Solichah lahir di Jombang pada 11 Agustus 1922. Ia adalah putri dari K.H. Bisri Syansuri, seorang ulama besar dan pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, serta Nyai Hj. Nur Khodijah. Dari garis ibunya, Nyai Solichah juga merupakan cucu dari K.H. Hasyim Asy’ari. Lingkungan keluarga yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan intelektual membentuk karakternya sejak dini. Ia menikah dengan K.H. A. Wahid Hasyim pada tahun 1938. Pernikahan ini bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan juga menyatukan dua garis keturunan ulama besar yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa dan agama. Dari pernikahan ini, lahir tujuh orang anak, termasuk Abdurrahman Wahid, yang kemudian dikenal sebagai Gus Dur, Presiden keempat Republik Indonesia.
Peran Sebagai Istri dan Ibu Pejuang
Menjadi istri seorang tokoh pergerakan nasional bukanlah tugas yang mudah. K.H. A. Wahid Hasyim memiliki jadwal yang padat dengan berbagai kegiatan perjuangan dan keagamaan. Nyai Solichah dengan setia mendampingi dan memberikan dukungan penuh. Ia tidak hanya mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anaknya, tetapi juga menjadi tempat curhat dan penasihat bagi suaminya. Ketekunan dan kesabarannya sangat terlihat ketika K.H. A. Wahid Hasyim harus sering meninggalkan keluarga demi urusan bangsa.
Lebih dari itu, Nyai Solichah adalah seorang ibu yang luar biasa. Ia mendidik anak-anaknya dengan disiplin ilmu agama dan pengetahuan umum. Gus Dur seringkali bercerita tentang bagaimana ibunya menanamkan nilai-nilai kemandirian dan kecerdasan. Pendidikan yang ia berikan menjadi fondasi penting bagi anak-anaknya untuk menjadi individu yang berkualitas dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Kemandirian dan Kiprah di Muslimat NU
Nyai Solichah bukanlah sekadar “istri di balik layar.” Ia memiliki pemikiran dan kegiatan mandiri. Setelah wafatnya K.H. A. Wahid Hasyim pada tahun 1953, ia tidak tenggelam dalam kesedihan. Sebaliknya, ia bangkit dan melanjutkan perjuangan suaminya dengan caranya sendiri. Ia aktif dalam organisasi Muslimat NU, sebuah badan otonom NU yang beranggotakan perempuan.
Dalam Muslimat NU, Nyai Solichah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU dari tahun 1953 hingga 1979. Selama masa kepemimpinannya, ia mengembangkan organisasi ini menjadi kekuatan besar yang berfokus pada pendidikan, sosial, dan dakwah perempuan. Muslimat NU di bawah kepemimpinannya berhasil mendirikan berbagai lembaga pendidikan, panti asuhan, dan program pemberdayaan perempuan di seluruh Indonesia. Ia percaya bahwa perempuan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
“Dia Itu Tokoh Wanita yang Hebat, Mandiri”
Prof. Dr. Hj. Khoiriyah, Rektor Universitas KH A Wahab Hasbullah (Unwaha) Jombang, memberikan kesaksian tentang kehebatan Nyai Solichah.
“Sosok Nyai Sholichah itu adalah perempuan yang mandiri, yang punya pemikiran dan juga gagasan yang luar biasa. Perempuan yang punya kemandirian, dan ini perlu dicontoh oleh perempuan-perempuan milenial di zaman sekarang,” ujar Prof. Dr. Hj. Khoiriyah.
Kesaksian ini menegaskan bahwa Nyai Solichah adalah figur yang relevan hingga saat ini. Kemandiriannya, keberaniannya dalam berorganisasi, dan kontribusinya dalam memajukan perempuan patut dijadikan teladan. Ia menunjukkan bahwa perempuan mampu berdaya dan berkontribusi signifikan di berbagai bidang, tidak hanya dalam lingkup domestik.
Warisan dan Pengaruhnya
Nyai Solichah A. Wahid Hasyim wafat pada tanggal 29 Juli 1994. Namun, warisan keteladanannya tetap hidup dan menginspirasi banyak orang. Ia adalah simbol kekuatan perempuan dalam konteks keislaman dan keindonesiaan. Perjuangan dan dedikasinya telah melahirkan generasi penerus yang membawa nama baik bangsa dan agama.
Keteladanan Nyai Solichah A. Wahid Hasyim mengajarkan kita tentang pentingnya peran pendamping, kekuatan seorang ibu, dan kemandirian seorang perempuan. Ia adalah pilar kekuatan di balik keluarga ulama besar dan perjuangan nasional, yang dengan keikhlasan dan dedikasinya mampu mengukir sejarah. Kisah hidupnya memberikan inspirasi berharga bagi kita semua, khususnya para perempuan, untuk terus berkarya, berdaya, dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
