Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Dinasti Bangkit dan Runtuh? Analisis Ibn Khaldūn

Mengapa Dinasti Bangkit dan Runtuh? Analisis Ibn Khaldūn

Siklus kekuasaan dinasti menurut Ibn Khaldūn
Ilustrasi dinasti yang pernah jaya kini retak, melambangkan siklus kekuasaan menurut Ibn Khaldūn.

Ketika Kekuasaan Tidak Lagi Bertahan Selamanya

Setiap masa punya kejayaannya sendiri. Kita melihat kerajaan besar seperti Romawi, Abbasiyah, Ottoman, hingga kekuatan ekonomi modern, semuanya pernah berada di puncak, lalu perlahan merosot. Fenomena ini tidak pernah lepas dari perhatian Ibn Khaldūn. Dalam karya monumentalnya Al-Muqaddimah, ia bertanya dengan tajam: mengapa dinasti bangkit dan runtuh?

Pertanyaan ini bukan sekadar sejarah masa lalu. Kita bisa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah perusahaan yang dulu jaya bisa bangkrut, partai politik yang menang besar bisa kehilangan pengaruh, bahkan keluarga besar yang solid bisa tercerai-berai. Semua ini, kata Ibn Khaldūn, mengikuti hukum sosial yang hampir pasti terjadi.

Sejak awal kitabnya, ia menyatakan:

“إن أحوال العالم و الأمم و الدول لا تدوم على وتيرة واحدة، وإنما هو انتقال من حال إلى حال”
Keadaan dunia, bangsa, dan negara tidak pernah tetap dalam satu pola; ia selalu berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain.

Dari Solidaritas ke Kekuasaan

Bagi Ibn Khaldūn, jawaban pertama tentang mengapa dinasti bangkit terletak pada kekuatan ‘asabiyyah — solidaritas kelompok. Setiap kekuasaan besar selalu lahir dari kelompok yang punya ikatan kuat, rasa percaya, dan tujuan bersama. Mereka biasanya datang dari kondisi sulit: hidup di gurun, mengalami penindasan, atau dipaksa berjuang bersama.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam kondisi seperti itu, kesatuan menjadi kekuatan. Ia menulis:

“العصبية أساس الملك، و بها يكون التغلب و الاستيلاء”
“‘Asabiyyah adalah fondasi kekuasaan; dengannya penaklukan dan penguasaan menjadi mungkin.

Kita dapat melihat prinsip ini di berbagai zaman. Dinasti Abbasiyah lahir dari solidaritas kaum yang tertindas di bawah Umayyah. Revolusi Prancis muncul dari kesatuan rakyat menghadapi tirani. Bahkan perusahaan rintisan seringkali sukses karena pendirinya bekerja dengan solidaritas penuh.

Tiga Generasi: Pola Umur Sebuah Dinasti

Salah satu gagasan Ibn Khaldūn yang paling terkenal adalah teorinya tentang tiga generasi kekuasaan. Dalam pengamatannya, setiap dinasti melewati tiga fase besar:

Fase pendirian: Generasi pertama membangun kekuasaan dengan semangat, kesatuan, dan pengorbanan.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Fase kemakmuran: Generasi kedua menikmati hasil perjuangan, mulai hidup nyaman, tetapi masih menjaga nilai-nilai dasar.

Fase kemerosotan: Generasi ketiga tumbuh dalam kemewahan, kehilangan semangat juang, dan lebih sibuk mempertahankan kenikmatan.

Tentang ini ia menulis:

“إذا بلغت الدولة غاية القوة و الاستبداد أخذ الهرم في أعضائها و دخلها الضعف”
Ketika sebuah dinasti mencapai puncak kekuasaan dan kemapanan, kelemahan mulai menyusup ke dalam tubuhnya.

Inilah siklus klasik yang selalu berulang. Dari perjuangan lahir kejayaan, dari kemewahan lahir kemunduran.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Bahaya Kemewahan dan Hilangnya Moral

Bagi Ibn Khaldūn, kemewahan bukan sekadar kenikmatan hidup; sebaliknya, ia merupakan racun sosial yang perlahan namun pasti dapat meruntuhkan pondasi kekuasaan. Ketika generasi penerus tumbuh dalam suasana yang penuh kenyamanan, maka semangat perjuangan yang menjadi ciri khas pendahulunya pun mulai luntur. Akibatnya, alih-alih memperkuat negara dan menjaga kejayaannya, mereka justru lebih sibuk bersaing dalam hal-hal yang bersifat materiil dan mewah. Dengan demikian, kemewahan tidak hanya melemahkan tekad, tetapi juga mengalihkan fokus dari pembangunan negara menuju pemuasan hasrat pribadi.

Ia memperingatkan:

“الترف مؤذن بفساد العمران و ذهاب الدولة”
Kemewahan adalah pertanda rusaknya peradaban dan lenyapnya kekuasaan.

Peringatan ini terasa relevan hari ini. Banyak organisasi gagal bertahan bukan karena lawan yang kuat, tetapi karena kehilangan integritas dari dalam.

Pelajaran dari Al-Qur’an tentang Perubahan Kekuasaan

Al-Qur’an pun mengingatkan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang dinamis. Tidak ada yang kekal, dan pergantian kekuasaan adalah bagian dari sunnatullah:

وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ
Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia. (QS. Āli ‘Imrān [3]: 140)

Ayat ini sejalan dengan teori Ibn Khaldūn. Naik-turunnya kekuasaan bukanlah kebetulan, tetapi proses sosial yang tunduk pada hukum yang bisa dianalisis.

Refleksi: Belajar dari Sejarah untuk Masa Depan

Analisis Ibn Khaldūn tidak hanya menjelaskan masa lalu, tetapi juga memberi peringatan untuk masa kini. Jika ingin mempertahankan kekuasaan — entah dalam skala negara, organisasi, atau keluarga — maka solidaritas harus dijaga, nilai moral diperkuat, dan kemewahan tidak boleh melumpuhkan semangat.

Fenomena ini juga berlaku bagi kita secara pribadi. Saat awal membangun usaha, kita penuh semangat dan rela bekerja keras. Namun setelah sukses, kita sering kehilangan motivasi. Hukum sosial Ibn Khaldūn bekerja di level mana pun: ketika semangat kolektif memudar, kehancuran tinggal menunggu waktu.

Kesimpulan: Dinasti yang Tangguh Adalah Dinasti yang Berbenah

Al-Muqaddimah mengajarkan bahwa kebangkitan dan kejatuhan dinasti bukanlah takdir buta. Ia lahir dari sebab-sebab sosial yang jelas: solidaritas, perjuangan, kemewahan, dan moralitas. Dinasti yang sadar akan siklus ini punya peluang untuk memperpanjang usianya. Mereka yang lalai akan tergilas sejarah.

Pelajaran ini tetap relevan berabad-abad setelah Ibn Khaldūn menulisnya. Sejarah bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi cermin masa depan. Dan selama manusia hidup berkelompok, hukum sosial tentang kekuasaan akan terus berlaku.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement