Khazanah
Beranda » Berita » Asabiyyah: Rahasia Kekuatan yang Membentuk Peradaban

Asabiyyah: Rahasia Kekuatan yang Membentuk Peradaban

Asabiyyah solidaritas manusia membangun peradaban
Ilustrasi kelompok manusia yang bersatu menghadapi perjalanan panjang, menggambarkan solidaritas sebagai pondasi peradaban.

Solidaritas dalam Kehidupan Sehari-Hari

Pernahkah kita merasa lebih berani saat berada dalam kelompok yang solid? Misalnya, ketika tim kerja saling mendukung menghadapi proyek besar, atau keluarga berkumpul menghadapi masalah bersama. Fenomena ini adalah wujud nyata dari kekuatan solidaritas. Ibn Khaldūn, dalam Al-Muqaddimah, menyebutnya dengan istilah ‘asabiyyah—ikatan kebersamaan yang mampu mengangkat, menopang, bahkan menjatuhkan peradaban.

Sejak paragraf awal Al-Muqaddimah, Ibn Khaldūn menegaskan bahwa sejarah tidak cukup dipahami sebagai kumpulan kisah masa lalu. Ia menulis:

“التاريخ خبر عن الاجتماع الإنساني الذي هو عمران العالم”
Sejarah adalah kabar tentang kehidupan sosial manusia, yaitu peradaban dunia.

Di sini terlihat bahwa sejarah baginya bukan sekadar catatan, melainkan analisis tentang bagaimana manusia membangun masyarakat melalui solidaritas.

Asabiyyah sebagai Fondasi Kekuasaan

Ibn Khaldūn menekankan bahwa ‘asabiyyah adalah fondasi setiap kekuasaan. Tanpa solidaritas, suatu kelompok akan rapuh. Ia menjelaskan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“العصبية بها تكون الحماية و المدافعة و بها يكون الملك و السلطان”
Dengan asabiyyah tercipta perlindungan dan pertahanan, dengannya pula lahir kerajaan dan kekuasaan.

Kutipan ini menunjukkan betapa pentingnya rasa kebersamaan. Dalam kehidupan modern, kita bisa melihatnya pada perusahaan yang sukses karena timnya kompak, atau komunitas kecil yang berkembang karena anggotanya saling mendukung. Tanpa ikatan semacam itu, organisasi apa pun mudah terpecah.

Dinasti dan Siklus Kehidupan Peradaban

Ibn Khaldūn mengamati bahwa sebuah dinasti biasanya hanya mampu bertahan tiga atau empat generasi. Pada awalnya, para pendiri dinasti hidup keras, disiplin, dan memiliki solidaritas tinggi. Namun ketika kemewahan datang, solidaritas melemah, lalu kekuasaan merosot.

Ia menulis dengan lugas:

“إذا ترفهت الدولة و تنعمت فقدت عصبيتها و قارب أجلها”
Ketika sebuah dinasti hidup mewah dan tenggelam dalam kenikmatan, ia kehilangan asabiyyah-nya dan mendekati ajalnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Analisis ini terasa relevan hari ini. Kita bisa melihat banyak organisasi, bahkan negara, yang mengalami penurunan ketika generasi berikutnya lupa akan perjuangan pendirinya. Solidaritas melemah, dan akhirnya muncul krisis.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Di era digital, kita sering mendengar tentang “team building” atau “community engagement.” Sebenarnya, konsep itu adalah bentuk modern dari asabiyyah. Komunitas startup yang mampu bertahan biasanya punya ikatan yang kuat antar-anggota. Begitu pula gerakan sosial yang konsisten sering lahir dari solidaritas masyarakat kecil yang saling percaya.

Namun, Ibn Khaldūn juga mengingatkan bahwa solidaritas bukan hanya untuk bertahan, tetapi juga bisa menjadi alat dominasi. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya keseimbangan antara solidaritas dan nilai moral.

Pandangan Al-Qur’an tentang Kebersamaan

Konsep asabiyyah menemukan resonansi dalam ajaran Islam. Al-Qur’an menegaskan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا وَلَا تَفَرَّقُوا
Berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (QS. Āli ʿImrān [3]: 103)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ayat ini mengajarkan bahwa kebersamaan bukan sekadar soal solidaritas duniawi, tetapi juga harus diarahkan pada nilai ilahiah. Dengan demikian, asabiyyah akan menjadi kekuatan positif, bukan sekadar alat perebutan kekuasaan.

Pendidikan Solidaritas sejak Dini

Ibn Khaldūn juga menyinggung peran pendidikan dalam membentuk solidaritas. Ia mengatakan:

“التعليم في الصغر كالنقش في الحجر”
Mengajar di masa kecil bagaikan mengukir di atas batu.

Kalimat ini sederhana namun penuh makna. Solidaritas, rasa kebersamaan, dan nilai moral harus ditanamkan sejak dini. Dalam keluarga, sekolah, atau lingkungan masyarakat, nilai gotong royong yang kuat akan menjadi modal sosial yang tidak ternilai.

Refleksi untuk Kita Hari Ini

Ketika kita melihat masyarakat modern yang serba individualis, ajaran Ibn Khaldūn seakan menjadi alarm. Ia mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukan hanya pada teknologi atau harta, melainkan pada ikatan sosial yang kokoh. Tanpa itu, bangsa sebesar apa pun bisa runtuh.

Asabiyyah bukan sekadar teori klasik, melainkan kunci memahami dinamika sosial hari ini. Saat keluarga saling mendukung, komunitas saling percaya, atau bangsa menjaga persatuan, itulah asabiyyah yang nyata.

Kesimpulan

Al-Muqaddimah memberi kita pelajaran bahwa peradaban dibangun di atas solidaritas. Asabiyyah adalah rahasia yang membuat kelompok bertahan, negara maju, dan masyarakat sejahtera. Namun jika solidaritas hilang, kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.

Pelajaran ini bukan hanya untuk sejarawan, tapi juga untuk kita semua: dari keluarga kecil hingga bangsa besar.

 

*Sugianto Al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement