Surau.co. Pengaruh Kitāb al-Nafs terhadap pemikiran psikologi Barat – Psikologi modern sering dikaitkan dengan pemikiran Barat abad ke-19. Namun, jejak awalnya justru sudah ditorehkan para filsuf Muslim abad pertengahan. Salah satu tokoh penting ialah Ibn Sīnā (Avicenna), yang menulis karya monumental Kitāb al-Nafs. Karya ini merupakan bagian dari ensiklopedia filsafatnya, Kitāb al-Shifā’, dan membahas jiwa manusia secara mendalam.
Frasa kunci “Pengaruh Kitāb al-Nafs terhadap pemikiran psikologi Barat” menjadi sangat relevan. Sebab, karya Ibn Sīnā bukan hanya berpengaruh di dunia Islam, tetapi juga membentuk fondasi bagi psikologi rasional di Eropa.
Jiwa sebagai Fenomena Kehidupan Sehari-hari
Banyak dari kita mungkin pernah bertanya: mengapa kita bisa merasakan cinta, takut, atau cemas meskipun tubuh tetap sehat? Ibn Sīnā melihat gejala ini sebagai bukti bahwa jiwa memiliki dimensi tersendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengalami konflik antara keinginan hati dan pertimbangan akal. Fenomena sederhana ini menjadi pintu masuk bagi Ibn Sīnā untuk membahas hakikat jiwa.
Dalam Kitāb al-Nafs, ia menegaskan:
«النفس جوهر روحاني مستقل عن البدن»
“Jiwa adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri terlepas dari tubuh.”
Pandangan tersebut menjadi salah satu dasar untuk memahami manusia bukan hanya sebagai makhluk biologis, melainkan juga spiritual.
Pengaruh terhadap Tradisi Filsafat Barat
Terjemahan karya Ibn Sīnā ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 membuka jalan bagi pemikiran Eropa. Kitāb al-Nafsdikenal dengan judul Liber de Anima dan dibaca luas oleh tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas serta Albertus Magnus. Mereka menemukan dalam karya itu kerangka logis yang menjelaskan fungsi akal, imajinasi, dan persepsi.
Ibn Sīnā menulis:
«العقل قوة تقبل المعقولات وتفعلها في النفس»
“Akal adalah daya yang menerima makna-makna universal dan mengaktualkannya dalam jiwa.”
Konsep ini kemudian memengaruhi teori kognisi dalam filsafat Barat. Bahkan, gagasan tentang intellectus agens (akal aktif) dan intellectus possibilis (akal potensial) diadopsi serta dikembangkan lebih lanjut dalam tradisi skolastik.
Jiwa, Akal, dan Wahyu
Yang menarik, Ibn Sīnā tidak hanya meninjau jiwa secara rasional, melainkan juga memberi ruang bagi aspek spiritual. Ia membedakan antara jiwa manusia dan wahyu Ilahi, sejalan dengan ajaran Al-Qur’an.
Allah berfirman dalam QS. Al-Isrā’ [17]:85:
﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Ayat ini menegaskan bahwa meskipun akal dapat mengkaji jiwa, hakikat terdalamnya tetap berada dalam wilayah misteri Ilahi. Dengan demikian, Ibn Sīnā berusaha menjembatani keduanya: akal menelaah gejala jiwa, sementara wahyu mengingatkan keterbatasan manusia.
Konsep Imajinasi dan Kesadaran
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering mengandalkan imajinasi. Misalnya, ketika kita mengingat masa lalu atau membayangkan masa depan. Ibn Sīnā menjelaskan hal ini secara filosofis:
«القوة المتخيلة تحفظ صور المحسوسات بعد غيابها»
“Daya imajinasi menjaga bentuk-bentuk yang ditangkap indera meskipun objeknya sudah tiada.”
Konsep tersebut menjadi dasar teori memori dalam psikologi. Di Barat, gagasan ini berkembang menjadi diskusi tentang kesadaran, persepsi, hingga teori representasi mental.
Pengaruh pada Psikologi Modern
Jika ditarik garis panjang, pemikiran Ibn Sīnā melalui Kitāb al-Nafs ikut mewarnai perkembangan psikologi modern. Beberapa pengaruh nyatanya antara lain:
-
Konsep jiwa rasional: menjadi dasar bagi kajian kognisi.
-
Teori akal aktif dan pasif: menjadi cikal bakal pembahasan tentang fungsi otak dalam memproses informasi.
-
Imajinasi dan memori: terkait dengan teori psikologi kognitif tentang memori jangka pendek dan panjang.
-
Hubungan jiwa-tubuh: memberi fondasi awal bagi psikologi medis yang kini dikaji dalam psikosomatik.
Ibn Sīnā menegaskan:
«النفس تستخدم البدن آلة لأفعالها»
“Jiwa menggunakan tubuh sebagai alat untuk melaksanakan tindakannya.”
Pernyataan ini terasa modern, mirip dengan gagasan bahwa otak hanyalah instrumen, sedangkan kesadaran menempati kedudukan lebih tinggi.
Refleksi: Belajar dari Kitāb al-Nafs Hari Ini
Di tengah perkembangan psikologi yang semakin ilmiah, kita tetap bisa belajar dari Ibn Sīnā bahwa jiwa manusia tidak mungkin dipahami hanya dari aspek material. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan spiritualitas.
Fenomena sehari-hari—seperti kecemasan yang tidak selalu dijelaskan kondisi tubuh, atau kebahagiaan yang hadir tanpa sebab jelas—menjadi bukti bahwa jiwa memiliki kedalaman. Karena itu, Ibn Sīnā menuntun kita untuk mengakui kompleksitas jiwa.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
«إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ» (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.”
Hadis ini menegaskan bahwa keseimbangan jiwa merupakan kunci kebahagiaan manusia.
Penutup
Pengaruh Kitāb al-Nafs terhadap psikologi Barat tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari teori akal hingga konsep imajinasi, Ibn Sīnā menanamkan fondasi yang berkembang dalam tradisi filsafat Eropa. Lebih dari itu, ia mengingatkan kita bahwa memahami jiwa berarti memahami kemanusiaan kita sendiri.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
