Khazanah
Beranda » Berita » Dari Aristoteles ke Ibn Sīnā: Evolusi Teori Jiwa dalam Filsafat Islam

Dari Aristoteles ke Ibn Sīnā: Evolusi Teori Jiwa dalam Filsafat Islam

Ilustrasi filsuf merenung sebagai simbol evolusi teori jiwa dari Aristoteles ke Ibn Sīnā
Sosok manusia sedang merenung di tengah cahaya yang membelah kegelapan, melambangkan perjalanan jiwa dari fisik menuju spiritual.

Surau.co. Pembahasan tentang jiwa tidak pernah lekang oleh zaman. Sejak era Yunani Kuno hingga dunia Islam klasik, jiwa selalu menjadi pusat perdebatan filosofis. Aristoteles pernah mendefinisikan jiwa sebagai bentuk dari tubuh yang memiliki kehidupan. Namun, Ibn Sīnā dalam Kitāb al-Nafs membawa teori itu lebih jauh dengan menyebut jiwa sebagai substansi yang mandiri, tidak bergantung sepenuhnya pada tubuh. Pemikiran ini tidak hanya filosofis, tetapi juga menyentuh pengalaman keseharian manusia: kita sering merasa ada sisi batiniah yang lebih dalam daripada sekadar tubuh yang bergerak.

Jejak Aristoteles dan Warisan yang Diteruskan

Aristoteles dalam karyanya De Anima melihat jiwa sebagai “entelecheia”, yaitu prinsip yang menggerakkan tubuh. Pandangan ini mempengaruhi para filsuf Muslim awal, termasuk al-Kindī dan al-Fārābī. Namun, bagi Ibn Sīnā, teori itu belum cukup menjawab pertanyaan besar tentang kesadaran diri. Ia merasa ada aspek yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan konsep “jiwa sebagai bentuk tubuh.”

Kehidupan sehari-hari menjadi saksi akan hal ini. Ada orang yang tubuhnya sehat, tetapi jiwanya hampa. Sebaliknya, ada pula yang tubuhnya renta, namun jiwanya penuh semangat. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa jiwa memiliki dimensi yang tidak bisa direduksi menjadi fungsi fisik semata.

Jiwa sebagai Substansi yang Mandiri

Dalam Kitāb al-Nafs, Ibn Sīnā menolak pandangan yang mereduksi jiwa hanya sebagai bentuk dari tubuh. Ia menulis:

«النَّفْسُ جَوْهَرٌ غَيْرُ جِسْمَانِيٍّ، وَلَا فِي الْجِسْمِ، بَلْ هِيَ مُسْتَعْمِلَةٌ لِلْجِسْمِ»
“Jiwa adalah substansi non-material, bukan bagian dari tubuh, melainkan ia menggunakan tubuh.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dengan penjelasan itu, ia menegaskan bahwa jiwa memiliki eksistensi yang berdiri sendiri. Tubuh hanyalah sarana, sedangkan jiwa adalah penggerak sejati. Pemahaman ini memperluas teori Aristoteles sekaligus menekankan keunikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran lebih dari sekadar materi.

Eksperimen Manusia Mengambang

Salah satu argumen paling terkenal Ibn Sīnā adalah eksperimen imajiner tentang manusia yang mengambang di udara. Ia menulis:

«إِنَّ الْإِنسَانَ لَوْ خُلِقَ دَفْعَةً فِي الْهَوَاءِ، وَقُطِعَ عَنْ كُلِّ مَحْسُوسٍ، لَمَا غَابَ عَنْهُ مَعْرِفَتُهُ بِنَفْسِهِ»
“Seandainya manusia diciptakan sekaligus di udara, terputus dari semua pancaindra, ia tetap tidak kehilangan pengetahuan tentang dirinya.”

Eksperimen ini membuktikan bahwa kesadaran diri tidak bergantung pada tubuh maupun pancaindra. Bahkan tanpa indera, manusia masih memiliki kesadaran akan keberadaannya. Pandangan ini merupakan loncatan besar dari Aristoteles menuju pemahaman jiwa yang lebih mendalam.

Jiwa Rasional sebagai Puncak Kemanusiaan

Ibn Sīnā juga membagi jiwa ke dalam tiga tingkatan: jiwa nabati (pertumbuhan), jiwa hewani (gerak dan indra), dan jiwa rasional (akal). Baginya, jiwa rasional adalah inti kemanusiaan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ia menulis:

«النَّفْسُ الْإِنسَانِيَّةُ هِيَ الَّتِي تَقْبَلُ الْمَعْقُولَاتِ، وَبِهَا يَصِيرُ الْإِنسَانُ إِنسَانًا»
“Jiwa manusia adalah yang menerima konsep-konsep rasional, dan dengannya manusia menjadi manusia sejati.”

Kemampuan bernalar inilah yang membuat manusia mampu menciptakan ilmu, seni, dan peradaban. Tanpa akal, manusia hanya hidup menurut naluri, tidak berbeda jauh dengan hewan.

Jiwa dan Kebahagiaan Sejati

Selain rasionalitas, Ibn Sīnā juga menekankan peran jiwa dalam kebahagiaan. Ia mengkritik pandangan yang mengaitkan kebahagiaan hanya dengan tubuh. Menurutnya, kebahagiaan sejati hadir saat jiwa mencapai kesempurnaan.

Dalam Kitāb al-Nafs, ia berkata:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

«لَا سَعَادَةَ فِي مَلَاذِّ الْجِسْمِ، بَلِ السَّعَادَةُ فِي كَمَالِ النَّفْسِ»
“Tidak ada kebahagiaan dalam kenikmatan tubuh, melainkan kebahagiaan ada pada kesempurnaan jiwa.”

Pernyataan ini selaras dengan Al-Qur’an yang menegaskan:

﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾ (الرعد: 28)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

Kebahagiaan batin inilah yang menjadi tujuan akhir manusia, bukan sekadar kesenangan fisik yang sementara.

Relevansi bagi Kehidupan Modern

Konsep Ibn Sīnā tetap relevan di era modern. Banyak orang mengejar kesuksesan materi, tetapi lupa memelihara jiwa. Akibatnya, muncul fenomena stres, kecemasan, dan kekosongan makna hidup. Pandangan Ibn Sīnā memberi jalan: jiwa harus diarahkan pada kebaikan, dituntun oleh akal, dan didekatkan pada Allah.

Aktivitas sederhana seperti membaca, merenung, berdoa, atau berbagi dengan sesama bisa menjadi cara untuk menyuburkan jiwa. Dengan begitu, kehidupan tidak hanya diukur dari capaian fisik, tetapi juga dari ketenangan batin yang mendalam.

Refleksi Akhir

Perjalanan teori jiwa dari Aristoteles ke Ibn Sīnā menunjukkan evolusi besar dalam filsafat. Aristoteles membuka pintu dengan pandangan jiwa sebagai bentuk tubuh, lalu Ibn Sīnā memperluasnya menjadi substansi mandiri dengan dimensi kesadaran dan akal. Perbedaan itu bukan hanya wacana akademis, melainkan bekal praktis bagi manusia untuk memahami siapa dirinya.

Jika tubuh adalah rumah, maka jiwa adalah penghuni sejati. Menjaga jiwa berarti menjaga identitas terdalam kita. Ibn Sīnā memberi pesan abadi: kebahagiaan tertinggi bukanlah milik tubuh, melainkan milik jiwa yang sadar, rasional, dan dekat dengan Tuhan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement