SURAU.CO – Abu Darda, yang bernama asli Uwaimir bin Malik al-Khazrajy, adalah salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki perjalanan iman unik. Ia berasal dari kabilah Khazraj, salah satu suku besar kaum Anshar di Madinah. Awalnya, ia hidup dalam kepercayaan jahiliah dan sangat setia pada berhalanya. Namun, hidayah Allah akhirnya menghampirinya melalui perantaraan sahabat sekaligus saudaranya, Abdullah bin Rawahah.
Kehidupan Abu Darda Sebelum Islam
Seperti kebanyakan orang Arab pra-Islam, Abu Darda menjadikan berhala sebagai pusat pengabdian. Setiap pagi ia bangun lebih awal hanya untuk memberi penghormatan kepada berhala yang ia letakkan di tempat paling nyaman di rumahnya. Ia memandikannya dengan parfum terbaik dari tokonya, bahkan memakaikannya pakaian sutra yang dihadiahkan seorang saudagar Yaman.
Abu Darda menjalani rutinitasnya sebagai pedagang sukses. Ia duduk di kursi tinggi di tokonya, memimpin budak-budaknya, dan sibuk dengan transaksi. Hidupnya tampak tenang, tetapi sesungguhnya ia belum menemukan cahaya kebenaran. Sementara itu, sahabatnya, Abdullah bin Rawahah, sudah lebih dulu memeluk Islam dan menjadi salah seorang penyair sekaligus pejuang yang setia mendampingi Rasulullah ﷺ.
Meski berbeda keyakinan, hubungan keduanya tidak pernah putus. Abdullah sering mendatangi Abu Darda, mengajaknya masuk Islam, dan merasa prihatin melihat sahabatnya itu masih tenggelam dalam kemusyrikan. Bagi Abdullah, setiap hari yang dilewati Abu Darda tanpa Islam adalah kerugian besar.
Peristiwa yang Mengubah Segalanya
Suatu hari, saat Abu Darda sibuk di tokonya, Abdullah bin Rawahah datang ke rumahnya. Istri Abu Darda, Ummu Darda, menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan masuk. Abdullah pun melangkah ke ruangan khusus tempat berhala berada. Dengan keyakinan penuh, ia mengambil berhala itu, lalu menghancurkannya sambil berkata:
“Bukankah setiap yang disembah selain Allah adalah batil?”
Setelah itu, ia meninggalkan rumah. Ketika Ummu Darda melihat berhala suaminya hancur, ia panik dan menangis. Saat Abu Darda pulang, ia mendapati istrinya dalam keadaan gelisah dan rumah penuh tangisan.
Awalnya, Abu Darda marah. Ia berniat menantang Abdullah. Namun, amarahnya cepat mereda ketika ia menatap berhala yang sudah tidak berdaya. Ia merenung, “Kalau ada kebaikan dalam benda ini, tentu ia bisa melindungi dirinya sendiri.” Renungan sederhana itu menjadi titik balik bagi kehidupannya.
Ia segera menemui Abdullah bin Rawahah, lalu bersama-sama keduanya menghadap Rasulullah ﷺ. Saat itulah Abu Darda menyatakan keislamannya. Ia adalah orang terakhir dari kampungnya yang masuk Islam.
Semangat Mengejar Ketertinggalan
Setelah beriman, Abu Darda menyesali keterlambatannya menerima Islam. Ia merasa telah kehilangan banyak kebaikan yang lebih dulu diraih para sahabat lain. Namun, penyesalan itu tidak membuatnya putus asa. Justru ia bertekad kuat mengejar ketertinggalannya.
Ia mulai mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh, menghapalkannya, dan mendalami maknanya. Ia menghabiskan waktu siang dan malam untuk beribadah, seolah tidak ada lagi yang lebih penting daripada mendekatkan diri kepada Allah. Semangatnya menyerupai orang yang haus lalu menemukan air jernih.
Abu Darda bahkan mengambil keputusan besar: ia meninggalkan perdagangannya. Ia menyadari bahwa urusan dagang sering membuatnya lalai dari majelis ilmu dan shalat berjamaah. Baginya, keuntungan duniawi tidak sebanding dengan kenikmatan iman.
Ketika seseorang bertanya mengapa ia meninggalkan bisnis padahal berpotensi menghasilkan keuntungan besar, Abu Darda menjawab dengan tegas:
“Aku seorang pedagang sebelum Islam. Setelah masuk Islam, aku ingin menggabungkan perdagangan dengan ibadah, tetapi aku tidak mampu. Maka aku memilih ibadah. Demi Allah, aku tidak menyukai jika memiliki sebuah kedai di dekat masjid yang setiap hari memberi keuntungan 300 dinar, tetapi aku harus kehilangan shalat berjamaah.”
Ia menambahkan, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah mengharamkan perdagangan. Tetapi saya lebih senang bila manusia termasuk golongan yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dari mengingat Allah.”
Kesederhanaan dan Zuhud
Sejak saat itu, Abu Darda menjalani hidup penuh kesederhanaan. Ia tidak mengejar dunia, bahkan menolak glamor dan harta berlebih. Ia merasa cukup dengan sepotong roti gandum kasar dan pakaian sederhana untuk menutup auratnya.
Sikap zuhud ini bukan berarti ia meninggalkan tanggung jawab sosial, melainkan menegaskan pilihannya untuk hidup fokus pada ibadah dan ilmu. Ia benar-benar menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan.
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah. Selama hati masih terbuka, pintu hidayah selalu menanti.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
