Surau.co. Mimpi sering kali hadir dalam hidup manusia sebagai jendela misterius yang menyimpan simbol-simbol tersembunyi. Dari bunga yang mekar di taman, hingga pertemuan dengan sosok yang tak dikenal, mimpi selalu menyisakan pertanyaan. Apakah itu sekadar permainan imajinasi, ataukah benar-benar pesan dari Yang Maha Tinggi? Dalam tradisi Islam, mimpi bahkan dipandang sebagai salah satu jalan untuk menerima ilham, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ:
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
“Mimpi yang baik adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ibn Sīnā, atau Avicenna, dalam Kitāb al-Nafs mencoba mengurai fenomena ini dengan pendekatan filosofis. Ia membedakan antara imajinasi manusia yang bekerja saat tidur, dengan wahyu ilahi yang bersumber langsung dari Akal Aktif. Dari sinilah muncul sebuah diskusi panjang tentang bagaimana jiwa berhubungan dengan dunia metafisik.
Imajinasi dalam Pandangan Ibn Sīnā
Setiap orang pernah mengalami mimpi yang terasa nyata, seakan menyentuh lapisan lain dari kenyataan. Ibn Sīnā menyebut bahwa mimpi adalah hasil kerja fakultas imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), yang mampu menyusun kembali citra-citra inderawi. Dalam Kitāb al-Nafs, ia menulis:
إِنَّ الْمُتَخَيِّلَةَ تَرْسُمُ فِي النَّوْمِ مَا أَدْرَكَتْهُ الْحَوَاسُ، فَتَتَصَرَّفُ فِيهِ بِالتَّفْصِيلِ وَالتَّرْكِيبِ
“Sesungguhnya fakultas imajinasi menggambar dalam tidur apa yang telah ditangkap oleh indera, lalu ia mengolahnya dengan memisahkan atau menyusunnya kembali.”
Artinya, ketika seseorang tidur, citra-citra pengalaman sehari-hari yang tersimpan dalam memori bangkit kembali. Misalnya, seorang pedagang bisa bermimpi tentang pasar, atau seorang petani bisa bermimpi tentang sawah. Namun, Ibn Sīnā juga menekankan bahwa tidak semua mimpi bersifat acak. Ada mimpi yang mengandung makna simbolis, yang bisa ditafsirkan lebih dalam.
Wahyu dan Koneksinya dengan Akal Aktif
Berbeda dengan mimpi biasa, wahyu menurut Ibn Sīnā adalah bentuk pengetahuan murni yang turun dari Akal Aktif tanpa perantara. Ia menulis:
إِنَّ الْوَحْيَ نُورٌ يُفِيضُ مِنَ الْعَقْلِ الْفَعَّالِ عَلَى النَّفْسِ الطَّاهِرَةِ، فَيَكُونُ الْعِلْمُ حَاضِرًا فِيهَا دُونَ كَسْبٍ أَوْ تَعَلُّمٍ
“Sesungguhnya wahyu adalah cahaya yang terpancar dari Akal Aktif kepada jiwa yang suci, sehingga ilmu hadir di dalamnya tanpa usaha atau proses belajar.”
Konsep ini menegaskan perbedaan mendasar antara mimpi dan wahyu. Mimpi lahir dari kerja imajinasi, sementara wahyu adalah pancaran langsung dari sumber intelektual ilahi. Seorang nabi, dalam hal ini, memiliki kesiapan jiwa yang sempurna untuk menerima limpahan wahyu tersebut.
Fenomena Mimpi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Pernahkah kita bermimpi tentang sesuatu yang kemudian benar-benar terjadi? Banyak orang menceritakan pengalaman ini, seolah mimpi mampu meramalkan masa depan. Ibn Sīnā menjelaskan bahwa hal itu mungkin terjadi karena jiwa, saat tidur, kadang berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi. Dalam Kitāb al-Nafs, ia menulis:
قَدْ يَكُونُ فِي النَّوْمِ انْفِتَاحٌ بَيْنَ النَّفْسِ وَمَا فِي عَالَمِ الْغَيْبِ، فَيَحْصُلُ لَهَا عِلْمٌ لَا يَتَأَتَّى فِي الْيَقَظَةِ
“Kadang dalam tidur terjadi keterhubungan antara jiwa dan apa yang ada di alam gaib, sehingga diperolehnya pengetahuan yang tidak bisa dicapai ketika terjaga.”
Inilah yang membuat sebagian mimpi terasa profetik. Namun Ibn Sīnā mengingatkan, tidak semua mimpi memiliki kualitas seperti itu. Kebanyakan hanyalah refleksi dari kondisi psikologis dan pengalaman inderawi.
Dimensi Spiritual dan Inspirasi Ilahi
Islam sendiri memandang mimpi sebagai salah satu bentuk komunikasi ruhani. Al-Qur’an menyinggung hal ini dalam kisah Nabi Yusuf عليه السلام:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ (QS. Yusuf [12]: 4)
“Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Ayat ini menegaskan bahwa mimpi bisa membawa pesan ilahi, namun tetap berbeda dengan wahyu yang diterima nabi secara langsung. Perbedaan ini sejalan dengan pandangan Ibn Sīnā yang menekankan kualitas wahyu sebagai pengetahuan sempurna, sedangkan mimpi masih membutuhkan penafsiran.
Relevansi untuk Kehidupan Modern
Di tengah kehidupan modern yang penuh tekanan, mimpi sering menjadi ruang pelarian batin. Banyak orang menjadikannya bahan renungan, inspirasi seni, bahkan motivasi untuk melangkah. Pandangan Ibn Sīnā membantu kita memahami bahwa mimpi adalah jendela psikologis, sementara wahyu adalah cahaya spiritual yang hanya dimiliki oleh para nabi.
Maka, bagi manusia biasa, penting untuk menempatkan mimpi dalam proporsinya. Ia bisa menjadi isyarat, bisa pula hanya pantulan pikiran sehari-hari. Yang terpenting, kita tetap menjaga kesadaran bahwa pengetahuan sejati dan hidayah datang dari Allah.
Refleksi: Menyikapi Mimpi dengan Bijak
Dari uraian Ibn Sīnā, kita belajar bahwa mimpi adalah bagian dari kerja jiwa, sementara wahyu adalah pancaran ilahi yang tak terjangkau semua orang. Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam pengalaman manusia. Kita boleh merenungi mimpi, namun tetap berpijak pada realitas dan bimbingan wahyu syariat.
Ibn Sīnā menutup pembahasan dengan ungkapan mendalam:
إِنَّ النَّفْسَ إِذَا تَطَهَّرَتْ وَانْقَطَعَتْ عَنِ الْمَادَّةِ، صَارَتْ مُسْتَعِدَّةً لِتَلَقِّي الْفُيُوضَاتِ الْعَقْلِيَّةِ
“Sesungguhnya jiwa, apabila telah bersih dan terlepas dari materi, maka ia siap menerima limpahan intelektual.”
Pernyataan ini memberi pesan bahwa semakin seseorang membersihkan jiwanya, semakin besar kemungkinan menerima inspirasi yang mendekati cahaya kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
