Khazanah
Beranda » Berita » Apakah Jiwa Itu Abadi? Pandangan Avicenna tentang Keabadian Jiwa

Apakah Jiwa Itu Abadi? Pandangan Avicenna tentang Keabadian Jiwa

Ilustrasi Ibn Sīnā tentang jiwa abadi dalam Kitāb al-Nafs
Gambaran seorang filsuf dalam kontemplasi, cahaya keluar dari tubuhnya sebagai simbol keabadian jiwa.

Surau.co. Pertanyaan tentang keabadian jiwa sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Saat menghadiri pemakaman, mendengar berita kematian, atau sekadar merenung di tengah malam yang sunyi, kita kerap bertanya: apakah jiwa manusia benar-benar berakhir bersama jasad? Pertanyaan eksistensial ini telah lama dibicarakan oleh para filsuf, termasuk Ibn Sīnā (Avicenna) dalam karyanya yang monumental, Kitāb al-Nafs.

Jiwa sebagai Hakikat yang Berbeda dari Jasad

Ibn Sīnā menjelaskan bahwa jiwa tidak sama dengan tubuh. Tubuh bisa rusak, berubah, bahkan hancur, tetapi jiwa memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Ia menggambarkan jiwa sebagai substansi rohaniah yang tidak bergantung penuh pada materi.

Dalam Kitāb al-Nafs, ia menulis:

«النَّفْسُ جَوْهَرٌ لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلَا قُوَّةٍ فِي جِسْمٍ»
“Jiwa adalah substansi yang bukan tubuh dan bukan pula sekadar kekuatan dalam tubuh.”

Kutipan ini menegaskan perbedaan ontologis antara jasad dan jiwa. Pandangan ini selaras dengan banyak refleksi manusia ketika menyadari bahwa kesadaran, cinta, dan pikiran sulit dijelaskan hanya dengan materi.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kesadaran Diri sebagai Bukti Keabadian

Pernahkah Anda terbangun di malam hari dan tiba-tiba merasa sadar akan keberadaan diri? Ibn Sīnā menggunakan pengalaman sederhana ini sebagai bukti bahwa jiwa berdiri sendiri. Ia mengajukan eksperimen imajiner yang dikenal sebagai “al-insān al-mu‘allaq” atau manusia yang melayang.

Dalam eksperimen itu, seseorang dibayangkan melayang di udara tanpa menyentuh apa pun. Meski tidak merasakan tubuh, ia tetap sadar akan eksistensinya. Dari sini Ibn Sīnā menyimpulkan bahwa kesadaran diri berasal dari jiwa, bukan tubuh.

«إِذَا فَرَضْنَا الإِنْسَانَ مُعَلَّقًا فِي الْهَوَاءِ، فَإِنَّهُ يُدْرِكُ نَفْسَهُ بِغَيْرِ حَاسَّةٍ»
“Jika kita membayangkan manusia melayang di udara, ia akan tetap menyadari dirinya tanpa perantara indera.”

Pengalaman kesadaran ini menjadi pintu menuju pemahaman bahwa jiwa memiliki eksistensi yang lebih dalam daripada sekadar tubuh.

Jiwa dan Perjalanan Setelah Kematian

Al-Qur’an sendiri banyak berbicara tentang jiwa dan kehidupan setelah mati. Salah satunya dalam firman Allah:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

﴿اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا﴾
“Allah mewafatkan jiwa ketika matinya dan (melepaskan) jiwa yang belum mati dalam tidurnya.” (QS. az-Zumar: 42)

Ayat ini memberi gambaran bahwa jiwa memiliki dinamika sendiri, tidak selalu identik dengan keberlangsungan tubuh. Ibn Sīnā mengaitkan pemahaman ini dengan argumentasinya bahwa jiwa tetap ada meski tubuh hancur.

Ia menulis:

«بَقَاءُ النَّفْسِ بَعْدَ فَسَادِ الْبَدَنِ أَمْرٌ ضَرُورِيّ»
“Keberlangsungan jiwa setelah rusaknya tubuh adalah sesuatu yang niscaya.”

Pernyataan ini memperkuat gagasan bahwa keabadian jiwa bukan sekadar keyakinan agama, melainkan juga kesimpulan filosofis.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dimensi Akal yang Menghubungkan Jiwa dengan Keabadian

Selain kesadaran diri, Ibn Sīnā menekankan fungsi akal sebagai jembatan menuju keabadian. Menurutnya, akal yang murni mampu menangkap kebenaran universal yang tidak berubah oleh waktu.

Ia menuliskan:

«النَّفْسُ الْعَاقِلَةُ تَبْقَى لِأَنَّهَا مُتَّصِلَةٌ بِالْمَعْقُولَاتِ الْأَبَدِيَّةِ»
“Jiwa yang berakal akan tetap ada karena ia terhubung dengan makna-makna yang abadi.”

Hal ini mengisyaratkan bahwa ketika manusia menggunakan akal untuk mencapai pengetahuan sejati, ia sesungguhnya sedang menyentuh keabadian.

Relevansi Pandangan Ibn Sīnā dengan Kehidupan Kita

Dalam kehidupan modern, pandangan Ibn Sīnā masih terasa relevan. Ketika seseorang berbuat baik, mencipta karya, atau menanam ilmu, ia sedang mewariskan sesuatu yang melampaui tubuhnya. Keabadian jiwa bukan hanya soal kelanjutan setelah mati, tetapi juga tentang bagaimana manusia meninggalkan jejak kebaikan yang terus hidup.

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan hal ini:

«إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ»
“Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa meski tubuh lenyap, jiwa tetap terhubung dengan dunia melalui amal dan doa.

Refleksi: Menyadari Keabadian Jiwa

Pemikiran Ibn Sīnā mengajarkan kita untuk memandang jiwa bukan sekadar bayangan samar, tetapi substansi yang memiliki arah dan tujuan. Dengan menyadari bahwa jiwa bersifat abadi, manusia didorong untuk hidup lebih bermakna. Bukan hanya mengejar kenikmatan jasmani, melainkan juga membangun kedekatan spiritual dan memperkaya akal dengan pengetahuan.

Kesadaran akan keabadian jiwa bisa mengubah cara kita menjalani hari. Pertengkaran kecil, keserakahan, atau kesibukan yang melalaikan, semua terasa sementara bila dibandingkan dengan perjalanan panjang jiwa. Dalam konteks ini, filsafat jiwa Ibn Sīnā tidak hanya wacana intelektual, tetapi juga ajakan untuk hidup dengan visi yang lebih luas.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement