Khazanah
Beranda » Berita » Ibn Sīnā dan Psikologi Kognitif: Warisan dari Kitāb al-Nafs

Ibn Sīnā dan Psikologi Kognitif: Warisan dari Kitāb al-Nafs

Ilustrasi Ibn Sīnā dan psikologi kognitif dari Kitāb al-Nafs
Seorang filsuf dalam suasana kontemplatif dengan simbol-simbol pikiran yang melambangkan memori, imajinasi, dan akal.

Surau.co. Ketika kita duduk sendirian, pikiran sering kali tidak pernah benar-benar berhenti. Ada ingatan masa kecil yang muncul tiba-tiba, ada perasaan cemas terhadap masa depan, atau bahkan bayangan kreatif tentang sesuatu yang belum pernah terjadi. Fenomena sehari-hari ini sesungguhnya berkaitan erat dengan bagaimana jiwa manusia berpikir, mengingat, dan membayangkan. Menariknya, jauh sebelum psikologi kognitif modern dikenal, Ibn Sīnā (Avicenna) telah membahas secara mendalam proses mental manusia dalam Kitāb al-Nafs.

Peta Jiwa Menurut Ibn Sīnā

Ibn Sīnā (980–1037 M) adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter dari Persia yang karyanya memberi pengaruh besar bagi dunia Islam dan Barat. Dalam Kitāb al-Nafs, bagian dari ensiklopedia filsafat al-Shifā’, ia membagi daya jiwa ke dalam beberapa lapisan: pancaindra, khayal, imajinasi, memori, hingga akal. Pandangan ini sangat mirip dengan konsep yang kini dikenal sebagai psikologi kognitif, yaitu studi tentang cara manusia memperoleh, menyimpan, dan menggunakan pengetahuan.

Ibn Sīnā menulis:

«النَّفْسُ الإِنْسَانِيَّةُ لَهَا قُوًى مُتَعَدِّدَةٌ تَتَعَاوَنُ فِي إِدْرَاكِ الْمَعْرِفَةِ»
“Jiwa manusia memiliki berbagai daya yang saling bekerja sama dalam memahami pengetahuan.”

Kutipan ini menunjukkan bahwa proses mental tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan membentuk satu kesatuan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ingatan Sebagai Gudang Jiwa

Dalam keseharian, kita sering mengingat wajah seorang teman meski bertahun-tahun tak bertemu. Ibn Sīnā menyebut kemampuan ini sebagai daya hāfiẓah atau memori. Baginya, memori bukan hanya tempat menyimpan, melainkan juga ruang yang memberi manusia identitas dan kesinambungan pengalaman.

Ia menulis:

«الذَّاكِرَةُ خَزَائِنُ مَا يُدْرَكُ مِنَ الْمَعَانِي»
“Memori adalah gudang tempat tersimpannya makna-makna yang telah dipahami.”

Inilah sebabnya pengalaman hidup membentuk siapa kita hari ini. Tanpa memori, manusia kehilangan arah dan jati diri.

Imajinasi dan Daya Kreatif

Selain ingatan, manusia dianugerahi imajinasi yang memungkinkan lahirnya ide-ide baru. Anak yang bermain dengan kardus dan membayangkannya sebagai kapal luar angkasa, misalnya, sebenarnya sedang menggunakan daya imajinasi sebagaimana dijelaskan Ibn Sīnā.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam Kitāb al-Nafs tertulis:

«التَّخَيُّلُ يُرَكِّبُ وَيُفَرِّقُ بَيْنَ الصُّوَرِ فِي الذِّهْنِ»
“Imajinasi menyusun dan memisahkan gambaran-gambaran di dalam pikiran.”

Kemampuan ini membuat manusia berbeda dari hewan, karena manusia bisa menggabungkan pengalaman lalu menciptakan sesuatu yang sama sekali baru.

Akal sebagai Pemandu Pengetahuan

Bila memori menyimpan dan imajinasi mengolah, maka akal berfungsi memberi arah. Akal memungkinkan manusia membedakan yang benar dari yang keliru, serta menemukan makna di balik realitas. Avicenna menekankan bahwa akal merupakan anugerah tertinggi yang menghubungkan manusia dengan kebenaran.

Ia menuliskan:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

«الْعَقْلُ نُورٌ يُفَسِّرُ مَا يَرِدُ عَلَى النَّفْسِ مِنَ الْمَعَانِي»
“Akal adalah cahaya yang menafsirkan makna-makna yang datang kepada jiwa.”

Dengan akal, manusia tidak hanya mengulang apa yang pernah dialami, tetapi juga mampu merumuskan ilmu dan nilai-nilai moral.

Dimensi Spiritual dari Kognisi

Menariknya, pembahasan Ibn Sīnā tidak berhenti pada aspek kognitif murni. Ia melihat keterkaitan erat antara daya berpikir dengan dimensi spiritual manusia. Al-Qur’an pun menegaskan pentingnya menggunakan akal dan ingatan untuk merenungi ciptaan Allah:

﴿إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ﴾
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati, atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qāf: 37)

Ayat ini menunjukkan bahwa berpikir, mengingat, dan mendengar dengan penuh kesadaran adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia.

Relevansi bagi Kehidupan Modern

Konsep Ibn Sīnā tentang jiwa relevan hingga kini. Di tengah banjir informasi digital, kemampuan mengingat, memilah, dan mengolah informasi sangat menentukan kualitas hidup. Tanpa daya imajinasi, inovasi akan mandek. Tanpa akal yang sehat, informasi mudah disalahgunakan.

Fenomena sehari-hari menguatkan hal ini. Seorang siswa yang mampu menghubungkan pelajaran lama dengan pengetahuan baru sedang mengaktifkan memori dan akalnya. Seorang penulis yang menggabungkan pengalaman pribadi dengan imajinasi kreatif sedang menjalankan proses kognitif sebagaimana digambarkan Ibn Sīnā.

Refleksi: Belajar dari Warisan Filsafat Jiwa

Dari Kitāb al-Nafs, kita belajar bahwa jiwa manusia adalah harmoni antara daya mengingat, membayangkan, dan berpikir. Bagi Ibn Sīnā, kesempurnaan manusia terletak pada kemampuan mengintegrasikan semua daya tersebut dalam cahaya akal dan bimbingan spiritual.

Di era modern, warisan ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam penggunaan daya kognitif yang sempit. Imajinasi, kreativitas, dan nalar harus diarahkan untuk menghasilkan kebaikan, bukan sekadar kepentingan sesaat. Sebab pada akhirnya, ilmu yang bermanfaat dan kreativitas yang bermakna adalah bagian dari ibadah intelektual.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement