Surau.co. Manusia sejak lahir telah dianugerahi perangkat untuk mengenali dunia: mata yang melihat, telinga yang mendengar, hidung yang mencium, lidah yang merasakan, dan kulit yang menyentuh. Namun, perjalanan pengetahuan tidak berhenti di situ. Ibn Sīnā, seorang filsuf besar dalam tradisi Islam, menuliskan dalam Kitāb al-Nafs bagaimana indra hanyalah pintu masuk awal, sementara akal menjadi tujuan akhir dari proses pengetahuan. Melalui karya ini, kita diajak merenungi bagaimana jiwa manusia bergerak dari sekadar persepsi menuju pemahaman yang lebih tinggi.
Indra sebagai Gerbang Pertama Pengetahuan
Kita bisa melihat bagaimana seorang anak kecil pertama kali mengenali dunia. Ia menyentuh api, merasa panas, lalu belajar untuk menjauhinya. Pengalaman sederhana ini adalah bukti bahwa indra menjadi gerbang utama pengetahuan. Ibn Sīnā menegaskan:
“الحواس أبواب المعارف، وبها تستقبل النفس الصور المحسوسة.”
“Indra adalah pintu bagi pengetahuan, melalui indra jiwa menerima bentuk-bentuk yang dapat dirasakan.”
Tanpa indra, manusia tidak akan memiliki titik awal untuk berpikir. Maka, indra bagaikan cat yang memberi warna pada kanvas kosong jiwa manusia. Namun, sebagaimana warna bisa luntur, begitu pula persepsi indra bisa keliru jika tidak disertai pemikiran lebih lanjut.
Imajinasi: Jembatan Antara Indra dan Akal
Setelah menerima data dari indra, jiwa tidak langsung berhenti. Ia menyimpan, mengolah, dan membandingkan informasi melalui imajinasi. Ketika kita mendengar suara kicau burung di pagi hari, memori itu tersimpan, lalu suatu saat bisa dihidupkan kembali meski burung itu sudah tidak ada di depan mata. Ibn Sīnā menulis:
“القوة المتخيلة تحفظ الصور بعد غيابها وتؤلف بينها وتفصل.”
“Daya imajinasi menjaga bentuk-bentuk setelah kepergiannya, menyusunnya, dan memisahkannya.”
Inilah mengapa manusia mampu menciptakan karya seni, membangun peradaban, dan menuliskan sejarah. Imajinasi menjadi wadah yang menghubungkan pengalaman indrawi dengan refleksi akal.
Akal: Puncak Perjalanan Jiwa dalam Mengetahui
Akal adalah mahkota dari jiwa manusia. Ia tidak hanya menerima bentuk-bentuk indrawi, tetapi juga menyingkap makna universal. Dari sekadar melihat pohon, akal mampu memahami konsep “kehidupan”, “pertumbuhan”, bahkan “ketergantungan pada air dan cahaya.” Ibn Sīnā berkata:
“العقل يدرك الكليات، وبه تنتقل النفس من الجزئي إلى الكلي.”
“Akal menangkap hal-hal universal, dengannya jiwa berpindah dari yang parsial menuju yang menyeluruh.”
Inilah alasan mengapa manusia dapat merumuskan ilmu pengetahuan. Akal mengangkat pengalaman sehari-hari ke dalam kerangka yang lebih luas dan bermakna.
Pengetahuan dan Tanggung Jawab Spiritual
Dalam Islam, pengetahuan bukan sekadar hasil kerja akal, melainkan juga amanah. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
﴿وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾ (QS. Ṭāhā [20]: 114)
“Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.”
Ayat ini memberi pesan bahwa ilmu tidak pernah selesai dicapai. Perjalanan dari indra ke akal adalah perjalanan yang terus berlangsung sepanjang hidup manusia. Ibn Sīnā sendiri melihat ilmu sebagai cara jiwa mendekat kepada kesempurnaan, bahkan menuju kebahagiaan abadi.
Mengaitkan dengan Kehidupan Sehari-hari
Coba bayangkan seorang petani. Ia merasakan tekstur tanah dengan tangannya (indra peraba), mengingat kapan musim hujan terakhir datang (imajinasi), lalu mengambil keputusan tentang kapan menanam (akal). Atau seorang anak sekolah yang belajar huruf hijaiyah: ia melihat bentuk huruf dengan mata, menyimpannya dalam ingatan, lalu memahami aturan tajwid dengan akalnya. Semua ini adalah contoh nyata bagaimana tahapan pengetahuan Ibn Sīnā bekerja dalam kehidupan.
Dimensi Etis dari Pengetahuan
Pengetahuan tanpa etika bisa menjerumuskan. Ibn Sīnā mengingatkan bahwa akal bukan hanya alat berpikir, tetapi juga jalan menuju kesempurnaan moral. Beliau menulis dalam Kitāb al-Nafs:
“غاية النفس العاقلة أن تتشبه بالعقل الفعال، فتبلغ كمالها.”
“Tujuan jiwa berakal adalah menyerupai akal aktif, sehingga ia mencapai kesempurnaannya.”
Maksudnya, akal harus diarahkan pada kebaikan, bukan sekadar menguasai pengetahuan duniawi.
Refleksi: Dari Diri Kita Menuju Kesempurnaan
Jika direnungkan, ajaran Ibn Sīnā tentang perjalanan pengetahuan ini sejalan dengan perjalanan spiritual. Indra memberi kita pengalaman dunia, imajinasi mengikatnya dalam memori, dan akal membawa kita menuju pemahaman universal. Namun, semua itu harus bermuara pada pengenalan diri dan pengenalan Tuhan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ”
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Dengan memahami tahapan pengetahuan dari indra hingga akal, kita tidak hanya belajar tentang dunia luar, tetapi juga membuka pintu menuju pengenalan diri yang lebih dalam.
Penutup: Warisan Abadi Ibn Sīnā
Kitāb al-Nafs bukan sekadar karya filsafat, melainkan cermin perjalanan jiwa manusia. Dari indra yang sederhana, ke imajinasi yang kreatif, hingga akal yang universal, Ibn Sīnā menunjukkan bahwa pengetahuan adalah tangga menuju kesempurnaan. Di era modern, pemikirannya tetap relevan: kita diajak untuk tidak berhenti di informasi semata, melainkan menapaki jalan refleksi dan kebijaksanaan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
