Surau.co. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu bergulat dengan pertanyaan tentang siapa dirinya. Saat tubuh terasa lelah, jiwa pun ikut murung. Begitu pula ketika hati tenang, tubuh seakan lebih ringan melangkah. Fenomena ini mengingatkan kita pada pandangan Ibn Sīnā dalam Kitāb al-Nafs, di mana ia menjelaskan hubungan erat antara jiwa (al-nafs) dan raga (al-badan). Pandangan klasik ini tetap relevan untuk memahami psikologi modern, kesehatan mental, hingga keseimbangan hidup.
Frasa kunci hubungan jiwa dan raga penting diulas sejak awal karena persoalan ini bukan sekadar wacana filsafat, melainkan bagian nyata dari pengalaman manusia. Ibn Sīnā, yang dikenal di Barat dengan nama Avicenna, menempatkan jiwa sebagai pusat kesadaran dan penggerak tubuh. Ia tidak hanya bicara soal teori, melainkan membuka jendela refleksi tentang siapa kita sebenarnya.
Fenomena Sehari-hari: Saat Jiwa Menyentuh Tubuh
Pernahkah kita merasakan tubuh sehat tetapi hati kosong? Atau sebaliknya, pikiran penuh semangat sehingga tubuh terasa lebih kuat meski sebenarnya lelah? Contoh sederhana ini mencerminkan gagasan Ibn Sīnā bahwa tubuh dan jiwa tidak dapat dipisahkan.
Dalam Kitāb al-Nafs, ia menulis:
النفس جوهر قائم بذاته، غير جسماني، ولكنه متعلق بالجسم تعلق التدبير والتصرف
“Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan jasmani, tetapi ia terkait dengan tubuh dalam urusan pengaturan dan pengendalian.”
Maknanya, jiwa bukanlah bagian dari tubuh, namun keberadaannya memberi arah dan arti bagi tubuh. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah materi. Tanpa tubuh, jiwa tidak bisa menampakkan pengaruhnya di dunia.
Jiwa sebagai Sumber Pengetahuan
Bagi Ibn Sīnā, jiwa tidak hanya penggerak tubuh, tetapi juga wadah pengetahuan. Ketika manusia belajar, jiwa merekam pengalaman dan mengolahnya menjadi makna. Ia membedakan antara jiwa vegetatif, jiwa hewani, dan jiwa rasional. Jiwa rasional inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Ia menulis dalam Kitāb al-Nafs:
النفس الإنسانية قوة عاقلة، تدرك الكليات والجزئيات، وهي التي تجعل الإنسان متميزًا عن سائر الحيوان
“Jiwa manusia adalah daya berpikir yang memahami hal-hal universal maupun partikular, dan inilah yang menjadikan manusia berbeda dari hewan lainnya.”
Dari sini, kita bisa melihat relevansinya dengan dunia modern. Di tengah derasnya arus informasi digital, jiwa rasional perlu digunakan agar tidak sekadar menerima, melainkan mampu menimbang, merenung, dan memilih.
Al-Qur’an dan Hadis tentang Jiwa
Konsep Ibn Sīnā beririsan dengan pandangan Islam. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan manusia bukan hanya soal tubuh, melainkan ada ruh yang menjadi inti keberadaan. Allah berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (QS. Al-Isrā’: 85)
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Ayat ini menegaskan bahwa meski filsafat mencoba mendekati hakikat jiwa, pada akhirnya ada keterbatasan akal manusia. Jiwa tetap menjadi misteri yang hanya sebagian rahasianya bisa kita pahami.
Keseimbangan Jiwa dan Raga dalam Kehidupan
Ibn Sīnā menekankan bahwa kesehatan jiwa dan tubuh saling memengaruhi. Ia menulis:
صلاح النفس يؤثر في صلاح البدن، كما أن فساد البدن قد يورث فساد النفس
“Kebaikan jiwa memengaruhi kebaikan tubuh, sebagaimana kerusakan tubuh dapat menimbulkan kerusakan jiwa.”
Tidak mengherankan jika dalam dunia kedokteran modern, kesehatan mental mendapat perhatian serius. Orang dengan stres berlebihan bisa mengalami gangguan fisik. Sebaliknya, olahraga, makan sehat, dan tidur cukup dapat menenangkan pikiran.
Hadis Nabi Muhammad SAW juga memberi isyarat serupa:
ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب (HR. Bukhari-Muslim)
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati.”
Hati atau jiwa batiniah berperan sentral, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Sīnā.
Jiwa sebagai Penghubung dengan Ilahi
Selain menggerakkan tubuh dan berpikir, jiwa manusia bagi Ibn Sīnā juga memiliki dimensi spiritual. Ia menulis:
النفس البشرية إذا تزكت وتهذبت، صارت قادرة على الاتصال بالعقل الفعّال
“Jiwa manusia, jika disucikan dan dididik, mampu berhubungan dengan akal aktif (sumber ilham Ilahi).”
Pandangan ini menunjukkan bahwa jiwa bisa naik menuju kesempurnaan. Bukan hanya sebagai pengendali tubuh, tetapi juga jembatan menuju cahaya kebenaran. Di sinilah Ibn Sīnā tidak sekadar menjadi filosof rasional, tetapi juga seorang pencari spiritual.
Relevansi di Era Modern
Apa makna pandangan Ibn Sīnā tentang hubungan jiwa dan raga bagi kita hari ini?
Pertama, kita diingatkan bahwa manusia bukan mesin. Teknologi dan materi tidak cukup menjawab kebutuhan terdalam manusia. Jiwa perlu diberi ruang melalui doa, refleksi, dan nilai-nilai spiritual.
Kedua, dalam dunia pendidikan dan pekerjaan, pengembangan akal rasional harus seimbang dengan pengendalian emosi dan kesehatan fisik.
Ketiga, manusia modern sering menghadapi stres, alienasi, dan kehilangan makna. Pandangan Ibn Sīnā memberi solusi: kembalikan keseimbangan antara jiwa dan raga, serta arahkan jiwa menuju yang Ilahi.
Penutup: Jalan Tengah Ibn Sīnā
Hubungan jiwa dan raga menurut Ibn Sīnā bukanlah hubungan dua hal yang terpisah, melainkan keterkaitan yang saling memberi makna. Jiwa memberi arah, tubuh menjadi wadah. Keduanya ibarat pena dan tinta: tanpa pena tinta tidak terbentuk tulisan, tanpa tinta pena hanya kayu hampa.
Pandangan ini tetap relevan, bahkan lebih dari seribu tahun setelah Ibn Sīnā menuliskannya. Di tengah hiruk pikuk dunia modern, gagasan sederhana namun mendalam ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan jati diri: manusia adalah harmoni antara jiwa, raga, dan Tuhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
