Surau.co. Tidur dan mimpi adalah fenomena yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hampir setiap orang pernah bangun pagi dengan sisa ingatan mimpi yang samar, ada yang membekas kuat, ada pula yang lenyap seketika. Ibn Sīnā (Avicenna), seorang filsuf dan dokter besar dari dunia Islam abad pertengahan, menaruh perhatian besar pada persoalan tidur dan mimpi dalam karyanya Kitāb al-Nafs, bagian dari ensiklopedia filosofisnya yang monumental, al-Shifā’. Di sana, ia menyingkap dimensi psikologis, fisiologis, dan spiritual yang terkandung dalam pengalaman manusia ketika tidur.
Fenomena mimpi, menurut Ibn Sīnā, tidak bisa dipandang hanya sebagai bunga tidur. Ia adalah jendela menuju gerak jiwa, bahkan terkadang menjadi saluran pesan Ilahi. Dalam pandangan ini, mimpi memiliki dua sisi: sebagai proses alami dari aktivitas imajinasi, dan sebagai kemungkinan wahyu atau tanda kebenaran.
Tidur sebagai Gerak Jiwa yang Alamiah
Dalam kehidupan modern, tidur sering dianggap sekadar kebutuhan biologis. Orang tidur agar tubuh kembali segar. Namun, Ibn Sīnā menjelaskan tidur tidak berhenti pada dimensi fisik. Ia menuliskan:
«النَّوْمُ هُوَ انْقِباضُ القُوَى الحَاسَّةِ الظَّاهِرَةِ عَنِ المَحَسُّوسِ، مَعَ بَقَاءِ القُوَى البَاطِنَةِ فِي عَمَلِهَا»
“Tidur adalah terhentinya kekuatan indera lahir dari objek-objeknya, sementara kekuatan batin tetap melanjutkan kerjanya.”
Penjelasan ini membuka pandangan baru: ketika tubuh dan indera istirahat, jiwa bagian dalam justru aktif. Jiwa terus beroperasi dalam ranah non-fisik, memproses kesan, imajinasi, bahkan melintasi batas waktu dan ruang. Hal ini sesuai dengan pengalaman manusia: meski mata tertutup, dunia mimpi tetap hidup.
Mimpi sebagai Pantulan Imajinasi
Dalam Kitāb al-Nafs, Ibn Sīnā memberi perhatian khusus pada proses terbentuknya mimpi. Menurutnya, mimpi adalah hasil kerja fakultas imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) yang tetap aktif meskipun indera lahir terhenti. Ia berkata:
«الأَحْلاَمُ صُوَرٌ تَنْطَبِعُ فِي القُوَّةِ المُتَخَيِّلَةِ مِمَّا تَسْتَقْبِلُهُ النَّفْسُ فِي حَالِ النَّوْمِ»
“Mimpi adalah gambaran yang terlukis dalam daya imajinasi dari apa yang diterima jiwa saat tidur.”
Dari sini jelas bahwa mimpi bukanlah halusinasi semata. Ia merupakan proyeksi dari memori, pengalaman, bahkan intuisi jiwa yang lebih dalam. Itulah sebabnya sebagian mimpi terasa acak, sementara sebagian lain tampak begitu nyata dan bermakna.
Antara Mimpi Biasa dan Mimpi yang Mengandung Petunjuk
Ibn Sīnā tidak menutup kemungkinan bahwa mimpi dapat membawa pengetahuan yang melampaui akal biasa. Ia menulis:
«رُبَّمَا تَكُونُ الأَحْلاَمُ مُتَعَلِّقَةً بِأُمُورٍ غَيْبِيَّةٍ، فَتَكُونُ إِمَّا صَادِقَةً أَوْ كَذِبَةً بِحَسَبِ تَأْثِيرِ القُوَى»
“Kadang mimpi berhubungan dengan perkara gaib; ia bisa benar atau bisa pula keliru, bergantung pada pengaruh kekuatan (jiwa).”
Di sini Ibn Sīnā menjelaskan adanya gradasi mimpi: sebagian hanyalah pantulan aktivitas batin, tetapi sebagian lain mungkin datang dari sumber transenden. Mimpi Nabi, misalnya, diyakini sebagai wahyu yang benar, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
﴿إِذْ يُرِيكَهُمُ اللَّهُ فِي مَنَامِكَ قَلِيلًا﴾ (الأنفال: 43)
“(Ingatlah) ketika Allah memperlihatkan mereka kepadamu dalam mimpimu (jumlahnya) sedikit.” (QS. Al-Anfāl: 43)
Ayat ini menunjukkan bahwa mimpi bisa menjadi media penyampaian kebenaran. Namun bagi manusia biasa, mimpi lebih sering bersifat campuran antara pesan dan imajinasi.
Mimpi, Kehidupan, dan Kesadaran Sehari-Hari
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan orang terbangun dengan rasa bahagia karena mimpi indah, atau gelisah karena mimpi buruk. Ibn Sīnā mengaitkan hal ini dengan kondisi psikis dan fisik sebelum tidur. Ia menulis:
«تَتَشَكَّلُ الأَحْلاَمُ بِحَسَبِ حَالِ البَدَنِ وَالنَّفْسِ قَبْلَ النَّوْمِ»
“Mimpi terbentuk sesuai keadaan tubuh dan jiwa sebelum tidur.”
Fenomena ini terasa nyata dalam pengalaman kita. Saat lelah, mimpi sering kacau. Saat hati tenang, mimpi bisa menjadi terang dan indah. Dengan begitu, Ibn Sīnā mengajarkan bahwa menjaga kesucian batin sebelum tidur, misalnya dengan berwudu atau berdoa, akan memengaruhi kualitas mimpi.
Hadis Nabi ﷺ pun menegaskan pentingnya doa menjelang tidur:
«بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ»
“Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Kebiasaan sederhana ini bukan hanya menenangkan hati, tetapi juga mengarahkan jiwa untuk menerima mimpi yang lebih jernih.
Refleksi: Tidur sebagai Jalan Kontemplasi
Dari uraian Ibn Sīnā, kita belajar bahwa tidur bukan sekadar pelepas lelah, melainkan pintu menuju kedalaman diri. Mimpi bukan sekadar ilusi, tetapi bisa menjadi isyarat batin atau bahkan pesan Tuhan. Perspektif ini memberi ruang bagi manusia modern untuk kembali menghargai tidur dan mimpi, bukan hanya sebagai fenomena biologis, melainkan juga spiritual.
Dalam konteks kehidupan kita, menjaga kualitas tidur berarti menjaga keseimbangan jiwa dan raga. Merenungi mimpi berarti menyelami bahasa simbolik dari hati yang terdalam.
Kesimpulan
Ibn Sīnā lewat Kitāb al-Nafs menegaskan bahwa tidur dan mimpi adalah cermin perjalanan jiwa manusia. Mimpi bisa lahir dari imajinasi, tetapi bisa juga menjadi kilasan kebenaran yang mendalam. Dengan demikian, tidur adalah laboratorium jiwa, dan mimpi adalah catatan yang ditulis dengan bahasa simbolik.
Bagi kita, memahami pandangan Ibn Sīnā mengajarkan keseimbangan: menghargai sains yang menjelaskan mekanisme tidur, sekaligus membuka ruang bagi keimanan yang memandang mimpi sebagai salah satu jalan komunikasi Tuhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
