Khazanah
Beranda » Berita » Samurah ibn Jundab : Sahabat yang Sejak Kecil Ingin Berjihad

Samurah ibn Jundab : Sahabat yang Sejak Kecil Ingin Berjihad

Samurah ibn Jundab : Sahabat yang Sejak Kecil Ingin Berjihad
Ilustrasi pasukan muslim yang bersiap menuju medan perang.

SURAU.CO-Samurah ibn Jundab adalah sahabat Nabi putra Jundab ibn Hilal ibn Harij al-Fazzari. Ia tinggal di Bashrah bersama ayahnya. Namun, malang tak dapat  ia tolak, ayahnya meninggal dunia saat ia masih kecil. Tinggal ibunya seorang yang merawat, menjaga, dan membekalinya dengan dasar-dasar keislaman. Ibunya memang terkenal sebagai wanita yang salehah dan bertakwa. Setiap saat ia terus mendidik putranya serta menanamkan nilai jihad dan cinta kepada Allah.

Ibn al-Atsir menerangkan bahwa Samurah memiliki beberapa nama panggilan, antara lain Abu Said, Abu Abdurrahman, Abu Abdullah, dan Abu Sulaiman.

Setelah ayahnya meninggal, Samurah bersama ibunya pindah ke Madinah, dan kemudian  ibunya menikah dengan Muray ibn Sinan ibn Tsa‘labah al-Anshari. Sejak saat itu, Samurah hidup bersama ayah tirinya hingga dewasa.

Sejak kecil ingin menjadi mujahid

Samurah sering melihat kaum muslim pergi berperang bersama Rasulullah saw. Ia juga kerap mendengar cerita mereka bertempur di medan perang melawan kaum musyrik dan kaum kafir. Pengalaman itu mematrikan cita-cita dan harapan bahwa kelak ia pun akan seperti mereka, menjadi pejuang di jalan Allah.

Setiap kali kaum muslim pergi berperang, baik perang besar yang dipimpin langsung oleh Rasulullah ataupun perang-perang kecil, ia selalu menantikan kabar mereka. Ia ikut senang ketika pasukan muslim pulang membawa kemenangan dan berduka jika mereka kalah. Ia sungguh berharap bisa segera ikut berperang bersama Rasulullah saw. Karena itulah ia ikut menyelinap dalam barisan kaum muslim yang hendak berperang di Uhud. Seperti biasa, sebelum berangkat berperang Rasulullah saw. memeriksa barisan pasukannya dan mengeluarkan anak-anak dan remaja yang dianggap belum cukup usia untuk berperang. Saat itu ada beberapa remaja yang dikeluarkan dari barisan dan diminta pulang untuk menjaga keluarga mereka, termasuk di antaranya Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar, Usaid ibn Zuhair, al-Barra ibn Azib, dan Arabah ibn Aus.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Syammah, seorang penyair Anshar, menuturkan, “Aku melihat Arabah al-Ausi bersemangat untuk ikut berperang, tetapi terhalang usia. Kekecewaan tampak di raut mukanya saat ia dikeluarkan dari barisan.” Abu Said al-Khudri juga dikeluarkan dari barisan oleh Rasulullah saw. Seorang remaja lain, Rafi’ ibn Khudaij, bersiasat agar dibolehkan ikut serta. Ia mengenakan kaus kaki yang tebal sehingga tubuhnya terlihat sejajar dengan pasukan muslim lain. Ketika Rasulullah saw. melihatnya, Rafi’ dibolehkan ikut serta dalam pasukan. Beliau mengagumi kegigihan dan semangatnya untuk berjihad.

Sedih karena tak bisa ikut berjihad

Imam al-Thabari meriwayatkan dari al-Harits dari Ibn Sa‘d dari Muhammad ibn Umar bahwa ibunda Samurah ibn Jundab adalah istri Muray ibn Sinan ibn Tsa’labah yang tak lain merupakan paman Abu Said al-Khudri. Jadi, Samurah adalah anak tiri Muray ibn Sinan. Ketika Rasulullah saw. hendak berangkat menuju medan Uhud, beliau menyeru kaum muslim untuk siap-siap berperang. Beliau memulangkan anak-anak dan remaja yang Rasulullah anggap belum cukup usia. Beliau memulangkan Samurah ibn Jundab, tetapi membolehkan Rafi’ ibn Khudaij. Samurah mengadukan hal itu kepada ayah tirinya, Muray ibn Sinan, “Ayah, Rasulullah saw. membolehkan Rafi’ ibn Khudaij, tetapi memulangkanku, padahal aku pernah mengalahkan Rafi’ ibn Khudaij dalam perkelahian.” Maka, Muray ibn Sinan menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau menolak putraku dan menerima Rafi’ ibn Khudaij, padahal putraku dapat mengalahkannya.”

Mendengar penuturan Muray ibn Sinan, Nabi saw. bersabda kepada Rafi’ dan Samurah, “Bertarunglah kalian!” Mereka pun bergulat dan berkelahi layaknya laki-laki dewasa. Benar saja, Samurah dapat mengalahkan Rafi’ sehingga Rasulullah saw. memperbolehkan Samurah ikut serta dalam barisan kaum muslim.

Berangkat jihad bersama Rasulullah

Sungguh hebat para sahabat Nabi Muhammad. Keinginan mereka untuk berjuang menegakkan agama Allah melebihi segala keinginan lain meskipun usia mereka masih terbilang muda. Dalam setiap peperangan, tak sedikit pun terlintas di benak mereka hasrat meraih kesenangan dunia. Pikiran mereka dipenuhi keinginan mulia, yakni memerangi kaum musyrik dan menegakkan Islam. Mereka juga mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan pada diri dan keluarga mereka sendiri. Semangat dan hasrat berjihad tidak hanya dimiliki para lelaki dewasa, tetapi juga oleh anak-anak dan para remaja. Contoh jelasnya adalah Samurah ibn Jundab dan Rafi’ ibn Khudaij. Meskipun pada awalnya dikeluarkan dari barisan, namun dengan segala cara mereka berupaya agar dapat ikut serta berjuang membela agama Allah.

Samurah senang bukan kepalang saat ia diterima oleh Rasulullah saw. untuk ikut berjuang. Ia sadar, medan perang bukanlah medan permainan, melainkan medan yang sarat bahaya dan kematian terus mengintainya kapan saja.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq pernah berkata, “Cintailah kematian, niscaya kau akan mendapat kehidupan.”

Ucapan sahabat yang mulia itu menggambarkan kesungguhan hati para sahabat Nabi saw. untuk membela Allah serta Rasul-Nya. Bagi mereka, kematian merupakan jalan utama untuk meraih kehidupan yang mulia. Ketika berperang, hanya tersisa dua pilihan bagi mereka, yaitu menang atau gugur sebagai syahid.

Ikut dalam baiat Ridwan

Samurah ikut dalam beberapa peperangan bersama Rasulullah. Imam al-Hafiz al-Dzahabi mengatakan, “Samurah ibn Jundab termasuk di antara kaum muslim yang mengikuti Baiat Ridwan. Saat itu ada 1.400 orang yang berbaiat kepada Rasulullah, dan Samurah salah satunya. Atas peristiwa itulah Allah menurunkan firman-Nya:

“Sungguh Allah telah rida terhadap orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.”

Membenci kaum Khawarij

Samurah ibn Jundab sangat membenci kaum Khawarij (pendukung Ali, tetapi kemudian berbalik memeranginya). Samurah bersikap sangat keras kepada mereka. Setiap kali menjumpai orang Khawarij, pasti Samurah menyerang atau bahkan membunuhnya. Ia pernah berkata, “Mereka mendapat kematian yang paling buruk di bawah langit ini. Mereka mengafirkan kaum muslim dan menumpahkan darah.” Akibatnya, mereka juga sangat membenci Samurah dan melakukan berbagai upaya untuk membunuhnya. Namun, upaya mereka tak pernah berhasil. Samurah selalu lolos dari sergapan dan serangan kaum Khawarij.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ziyad sendiri pernah meminta bantuannya untuk menjadi wakilnya di Kuffah selama enam bulan dan di Bashrah juga selama enam bulan. Jika Ziyad pergi ke Bashrah, Samurah ia tugaskan mewakilinya di Kuffah, dan begitu pun sebaliknya.

Ibn al-Atsir mengutip riwayat dari Abdullah ibn Buraidah bahwa Samurah ibn Jundab berkata, “Pada masa Rasulullah saw. aku adalah seorang pemuda dan aku mengingat beberapa hadis dari beliau. Tidak ada yang menahanku berbicara karena saat itu masih banyak sahabat yang usianya lebih tua dariku. Bersama Rasulullah saw. aku pernah menyalati jenazah seorang wanita yang meninggal setelah melahirkan, dan kemudian beliau menyalatinya.”

Ibn Sirin dan al-Hasan serta para pemuka Bashrah lain sangat memuji dan menghormatinya. Ibn Sirin mengatakan, “Surat yang dikirimkan Samurah kepada putranya mengandung banyak ilmu dan kebijakan.”

Pribadi yang rendah hati

Meskipun terkenal sebagai sahabat yang berilmu luas, Samurah tak pernah bersikap sombong dan tinggi hati. Ia selalu menjaga sopan santun dan budi pekerti yang luhur. Ia juga sangat tawaduk kepada siapa pun. Ia menanamkan keutamaan akhlak dan dasar-dasar Islam kepada anak-anaknya. Ketika mendengar bahwa salah seorang anaknya sering makan di malam hari sehingga terserang sakit perut, ia berkata, “Jika ia mati, aku tak mau menyalatinya.” Ungkapan yang sangat tegas itu benar-benar menjadi cambuk dan nasihat yang berharga bahwa kita tak boleh menjadikan dunia dan segala kenikmatannya sebagai tujuan hidup.

Setiap kali memasuki medan perang, Samurah berperang gagah berani seakan-akan telah menyerahkan jiwanya kepada kematian. Namun, setelah beberapa peperangan, kesyahidan yang ia harapkan tak juga datang. Kematian tak bisa ia rencanakan dan angankan. Samurah menginginkan kematian dalam medan perang, tetapi akhirnya kematian menjemputnya saat ia berada di rumah. Ia terserang alergi dingin sehingga ia sering menjerang air kemudian ia duduk dekat wadah air panas itu agar merasa hangat. Namun, penyakitnya semakin parah sehingga tidak lama kemudian ia wafat.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement