Khazanah
Beranda » Berita » Memahami Proses Berpikir: Bagaimana Intelek Aktif Membentuk Pengetahuan

Memahami Proses Berpikir: Bagaimana Intelek Aktif Membentuk Pengetahuan

Ilustrasi proses berpikir manusia dengan cahaya intelek aktif Ibn Sina
Visual filosofis tentang peran cahaya intelek aktif dalam membantu manusia memahami pengetahuan.

Surau.co. Memahami proses berpikir intelek aktif Ibn Sīnā – Memahami proses berpikir adalah salah satu topik terpenting dalam filsafat jiwa. Ibn Sīnā, filsuf dan tabib besar dari dunia Islam klasik, memberikan penjelasan yang mendalam dalam Kitāb al-Nafs. Ia memperkenalkan gagasan tentang al-‘aql al-fa‘‘āl (intelek aktif), yang menurutnya berperan besar dalam membentuk pengetahuan manusia. Teori ini bukan hanya membedakan antara manusia dengan hewan, tetapi juga memberi arah pada bagaimana manusia menggunakan akalnya untuk memahami kebenaran.

Konsep “memahami proses berpikir” dalam pandangan Ibn Sīnā masih relevan hingga hari ini. Ketika kita belajar, membaca, atau merenung, sebenarnya kita sedang menjalankan interaksi antara potensi jiwa dan intelek aktif.

“العقل الفعال هو الذي يفيض الصور على العقول الإنسانية، فينتقل بها من القوة إلى الفعل.”
“Intelek aktif adalah yang memancarkan bentuk-bentuk ke dalam akal manusia, sehingga berpindah dari potensi menjadi aktual.” (Kitāb al-Nafs)

Mengapa Akal Menjadi Anugerah Paling Berharga

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering menghadapi pilihan: apakah harus mengikuti emosi sesaat, atau berpikir jernih sebelum bertindak? Di sinilah peran akal menjadi penentu. Ibn Sīnā menegaskan bahwa akal bukan sekadar alat untuk mengingat fakta, melainkan medium untuk menangkap makna universal.

Fenomena sederhana bisa menjelaskannya: ketika seseorang belajar matematika, ia tidak hanya menghafal angka, tetapi juga memahami pola yang bisa diterapkan dalam berbagai situasi. Hal ini menunjukkan bahwa intelek aktif memampukan manusia untuk melihat kebenaran yang lebih luas.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Qur’an pun berulang kali mendorong manusia menggunakan akalnya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (الروم: 24)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rūm: 24)

Dari Potensi ke Aktual: Perjalanan Pengetahuan

Ibn Sīnā menjelaskan bahwa akal manusia awalnya berada dalam kondisi potensial. Artinya, manusia memiliki kemampuan berpikir, tetapi belum digunakan. Intelek aktif hadir untuk “mengaktualkan” potensi itu, sehingga manusia bisa memahami sesuatu secara utuh.

“العقل بالقوة كصفحة بيضاء، والعقل الفعال يكتب عليها ما به تصير علماً.”
“Akal potensial bagaikan lembaran kosong, dan intelek aktif menuliskan di atasnya hingga menjadi ilmu.” (Kitāb al-Nafs)

Fenomena sehari-hari yang sesuai dengan teori ini adalah pengalaman belajar. Anak kecil lahir tanpa pengetahuan tentang bahasa, tetapi dengan potensi untuk memahaminya. Saat ia mendengar kata-kata, melihat simbol, dan berinteraksi, potensi itu berubah menjadi aktual: ia bisa berbicara dan memahami.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Intelek Aktif Sebagai Cahaya Pengetahuan

Ibn Sīnā menggunakan metafora cahaya untuk menjelaskan peran intelek aktif. Seperti mata yang tidak bisa melihat tanpa cahaya, akal manusia tidak bisa memahami realitas universal tanpa pancaran intelek aktif.

“كما أن البصر لا يبصر إلا بنور، كذلك العقل لا يعقل الكليات إلا بالعقل الفعال.”
“Sebagaimana penglihatan tidak melihat tanpa cahaya, demikian pula akal tidak memahami hal-hal universal tanpa intelek aktif.” (Kitāb al-Nafs)

Bayangkan ketika seseorang membaca buku dalam kegelapan. Tulisan ada, mata ada, tetapi pengetahuan tidak hadir karena cahaya tidak membantu. Begitu juga akal: ia butuh “cahaya intelek aktif” agar pengetahuan bisa tercapai.

Menghubungkan Akal dengan Spiritualitas

Menariknya, Ibn Sīnā tidak hanya membicarakan akal dalam kerangka intelektual, tetapi juga spiritual. Menurutnya, akal yang terhubung dengan intelek aktif akan mampu mencapai kebenaran tertinggi, termasuk kesadaran akan Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, pengalaman ini bisa kita rasakan ketika merenung mendalam. Misalnya, saat melihat bintang di langit malam, akal tidak hanya berhenti pada fakta ilmiah tentang benda langit, tetapi bisa membawa manusia pada kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Hadis Nabi ﷺ juga menekankan pentingnya renungan akal:

تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
“Berpikir sejenak lebih baik daripada shalat malam semalam suntuk.” (HR. al-Bayhaqī)

Relevansi Teori Ibn Sīnā di Era Modern

Di era digital ini, kita sering dibanjiri informasi, tetapi belum tentu sampai pada pengetahuan yang bermakna. Ibn Sīnā memberi pelajaran bahwa berpikir sejati bukan sekadar menumpuk data, melainkan mentransformasikannya menjadi pemahaman yang mengubah hidup.

Refleksi sederhana: saat kita membaca berita, apakah hanya berhenti pada teks, atau kita memikirkan makna yang lebih luas bagi kehidupan dan kemanusiaan? Intelek aktif mengajak manusia untuk melampaui sekadar “mengetahui” menuju “memahami”.

Penutup

Memahami proses berpikir melalui intelek aktif adalah salah satu kontribusi besar Ibn Sīnā dalam psikologi dan filsafat. Teorinya menjelaskan bagaimana manusia beralih dari potensi menuju aktual, dari sekadar mengingat menuju memahami, dan dari sekadar mengetahui menuju kesadaran spiritual. Dengan demikian, pemikiran ini tetap relevan untuk membimbing manusia modern dalam mengolah akalnya agar hidup lebih bermakna.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement