Khazanah
Beranda » Berita » Jiwa Vegetatif, Jiwa Hewani, dan Jiwa Rasional: Klasifikasi Psikologi Ibn Sīnā

Jiwa Vegetatif, Jiwa Hewani, dan Jiwa Rasional: Klasifikasi Psikologi Ibn Sīnā

Ilustrasi tiga lapisan jiwa Ibn Sina vegetatif hewani rasional
Visual simbolik yang menggambarkan manusia dengan tiga aspek jiwa: vegetatif, hewani, dan rasional, dalam harmoni yang seimbang.

Surau.co. Jiwa vegetatif jiwa hewani jiwa rasional Ibn Sīnā – Ketika manusia berbicara tentang jiwa, bayangan yang muncul sering kali samar: sesuatu yang tak terlihat, tetapi terasa nyata. Ibn Sīnā, filsuf sekaligus tabib besar dari dunia Islam abad pertengahan, berusaha menjawab misteri ini melalui Kitāb al-Nafs—bagian penting dari ensiklopedinya, Kitāb al-Shifāʼ. Dalam karya tersebut, ia membagi jiwa ke dalam tiga kategori: jiwa vegetatif, jiwa hewani, dan jiwa rasional. Pembagian ini tidak berhenti pada teori abstrak; sebaliknya, ia menjadi pijakan untuk menjelaskan bagaimana manusia hidup, bergerak, dan berpikir.

Frasa “jiwa vegetatif, jiwa hewani, dan jiwa rasional” akhirnya berdiri sebagai fondasi penting dalam psikologi klasik Islam. Menurut Ibn Sīnā, siapa pun yang mengabaikan perbedaan ketiganya akan mudah terjebak pada aspek fisik semata, padahal ada kedalaman spiritual yang jauh lebih luas.

“النفس قوى مختلفة، منها ما يشترك فيه النبات والحيوان والإنسان، ومنها ما يختص به الإنسان وحده.”
“Jiwa memiliki berbagai daya: ada yang dimiliki bersama oleh tumbuhan, hewan, dan manusia, dan ada pula yang khusus dimiliki manusia.” (Kitāb al-Nafs)

Jiwa Vegetatif: Energi Kehidupan yang Paling Dasar

Coba kita perhatikan sebuah pohon yang terus tumbuh meski diterpa hujan deras atau panas terik. Fenomena sederhana ini menggambarkan apa yang disebut Ibn Sīnā sebagai an-nafs an-nabātiyyah atau jiwa vegetatif. Jiwa ini mengatur pertumbuhan, nutrisi, dan reproduksi. Tidak hanya tumbuhan yang memilikinya, tetapi juga manusia dan hewan.

Lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, jiwa vegetatif terlihat pada tubuh manusia yang memperbaiki luka, rambut yang terus tumbuh, atau bayi yang berkembang dalam kandungan. Semua proses biologis itu menunjukkan daya hidup yang bekerja secara konsisten.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Qur’an pun menegaskan bahwa kehidupan dasar ini adalah tanda nyata dari kekuasaan Allah:

إِنَّ اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَىٰ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ (الأنعام: 95)
“Sesungguhnya Allah yang membelah butir dan biji, mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.” (QS. Al-An‘ām: 95)

Jiwa Hewani: Sumber Gerak dan Perasaan

Setelah memahami lapisan vegetatif, mari kita beralih ke lapisan berikutnya. Jiwa hewani atau an-nafs al-ḥaywāniyyahtidak hanya mengatur gerak tubuh, tetapi juga perasaan. Hewan dapat melarikan diri dari bahaya karena memiliki indra dan dorongan. Demikian pula manusia, ia merasakan takut, marah, atau senang, lalu bertindak berdasarkan perasaan tersebut.

Ibn Sīnā menulis:

“النفس الحيوانية تتحرك بالشهوة والغضب، وتدرك بالمشاعر الظاهرة والباطنة.”
“Jiwa hewani digerakkan oleh syahwat dan amarah, serta menangkap realitas melalui indra lahir dan batin.” (Kitāb al-Nafs)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Contoh sehari-hari sangat mudah kita temukan. Seseorang yang lapar akan mencari makanan. Seorang ibu yang melihat anaknya jatuh akan berlari spontan untuk menolong. Semua itu memperlihatkan daya jiwa hewani. Namun, Ibn Sīnā juga mengingatkan: bila manusia membiarkan hidupnya dikuasai oleh lapisan ini saja, maka ia akan terjebak dalam pola hidup yang menyerupai hewan—sekadar makan, takut, dan mencari kenyamanan.

Rasulullah ﷺ menegaskan pentingnya pengendalian diri agar jiwa hewani tidak mengambil alih seluruh hidup:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, melainkan orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari & Muslim)

Jiwa Rasional: Ciri Khas Manusia yang Abadi

Setelah menelaah dua lapisan sebelumnya, tibalah kita pada puncak klasifikasi: an-nafs an-nāṭiqah atau jiwa rasional. Lapisan inilah yang menjadi ciri khas manusia. Jiwa rasional memungkinkan kita berpikir abstrak, memahami ilmu, membedakan baik dan buruk, serta merenungkan keberadaan Tuhan.

Ibn Sīnā menjelaskan:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“النفس الناطقة جوهر روحاني تبقى بعد مفارقة الجسد، وتدرك المعقولات إدراكاً لا تدركه الحواس.”
“Jiwa rasional adalah substansi ruhani yang tetap ada setelah berpisah dari tubuh, dan ia memahami hal-hal rasional yang tidak bisa dicapai indra.” (Kitāb al-Nafs)

Fenomena ini bisa kita lihat dalam kehidupan nyata. Seorang ilmuwan yang menemukan teori baru atau seorang penulis yang melahirkan gagasan moral sedang mengaktualisasikan daya jiwa rasional.

Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa kapasitas akal manusia adalah anugerah yang membedakan kita dari makhluk lain:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (الإسراء: 70)
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk lain dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isrā’: 70)

Keseimbangan Jiwa dalam Kehidupan Modern

Kini, mari kita refleksikan. Tantangan manusia modern justru terletak pada ketidakseimbangan. Banyak orang larut dalam jiwa vegetatif: makan berlebihan, mengejar kenikmatan fisik, dan lupa pada dimensi yang lebih dalam. Ada pula yang terseret oleh jiwa hewani: marah tanpa kendali, ambisi tanpa arah, dan nafsu yang tak terbatas. Padahal, jiwa rasional hadir untuk menuntun serta menyeimbangkan keduanya agar hidup manusia berjalan dengan hikmah.

Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana. Saat lapar, tanyakan: apakah makan ini sekadar memenuhi nafsu atau menjaga kesehatan? Ketika marah, renungkan: apakah amarah ini memberi manfaat atau justru merusak hubungan? Dan ketika berpikir, pastikan akal kita diarahkan untuk kebaikan, bukan sekadar keuntungan pribadi.

Penutup

Klasifikasi Ibn Sīnā tentang jiwa vegetatif, jiwa hewani, dan jiwa rasional bukan sekadar teori kuno. Sebaliknya, ia menyuguhkan kerangka psikologi klasik yang masih relevan hingga kini. Pesannya jelas: manusia tidak berhenti pada tubuh biologis, tidak pula cukup dengan emosi, tetapi juga memerlukan akal dan spiritualitas. Dengan menjaga keseimbangan ketiga lapisan jiwa tersebut, manusia dapat menapaki kehidupan yang lebih utuh, bermakna, dan penuh cahaya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement