SURAU.CO. Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) tidak hanya ajang ketangkasan membaca naskah klasik saja. Namun, jika melihat lebih jauh, besar menjadi panggung perubahan memaknai khazanah Kitab Kuning . Dalam ajang tersebut Kitab Kuning tidak hanya terbaca tetapi juga teraktualisasi. Salah satunya adalah etika lingkungan. Dalam tradisi akademik, gagasan terakhir ini seringkali orang istilahkan dengan konsep ri’ayat al-bi’ah. Istilah ini berarti etika lingkungan berakar kuat dalam ajaran Islam. Konsep ini mendorong umat muslim untuk peduli terhadap alam.
Adalah Al-Imam ‘Izzuddin Ibn Abdissalam (577-660H) adalah penggagas etika lingkungan dalm konsep hukum Islam . Beliau menulis risalah kanonik berjudul Ri’ayat al-Bi’ah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Dalam risalahnya ini Imam ‘Izuddin berbicara tentang pelestarian lingkungan atau etika lingkungan dalm hukum Islam.Lalu siapakah sosok Syekh Izzuddin bin Abdissalam yang pendapat-pendapatnya tercatat dalam kitab-kitab klasik (salaf) maupun kontemporer (khalaf).
Sosok ulama ini sangat tersohor dalam mazhab Syafi’i. Keluasan ilmunya membuat banyak ulama mengutipnya. Tak salah kalau kemudian mendapatkan gelar Sulthanul Ulama. Gelar ini merupakan suatu kehormatan oleh Syekh Khairuddin ad-Dimisyqi dalam salah satu kitabnya. Selain itu dalam mazhab Syafi’iyah, Syekh Izzuddin mendapat gelar sebagai ahli fiqih (fuqaha) yang sudah mencapai derajat mujtahid. Selain itu juga seorang mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits).
Sumbangsih Besar
Sumbangsih Syekh ‘Izuddin dalam ilmu pengttahuan sangat besar, khususnya dalam ilmu fiqih. Selain itu juga kesohor sebagai ulama yang dalam banyak bidang ilmu pengetahuan. kitab-kitab yang lahir dari pemikirannya antara lain Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam dan Tafsir al-Kabir li Ibn Abdissalam. Meskipun lahir dari keluarga miskin, semangatnya menuntut ilmu sangat tinggi. Kondisi tidak menjadi halangan. Beliau membuktikan hal ini dan menjadi ulama terkemuka serta teladan bagi umat.
Bernama lengkap Syekh Izzuddin adalah Imam bin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qasim bin Hasan as-Sulami ad-Dimisyqi asy-Syafi’i. Meskipun nama aslinya Abdul Aziz, namun beliau populer dengan julukan Izzuddin atau Al-Izz. Gelar Izzuddin (kehormatan agama) diberikan sesuai adat Damaskus dimana ulama mendapat tambahan gelar pada namanya. Gelar ini lebih melekat pada dirinya yang kemudian orang mengenalnya sebagai Izzuddin bin Abdussalam atau al-Izz bin Abdussalam.
Dalam catatan Syekh Abu Bakar bin Syuhbah mencatat kelahirannya, Syekh Izzuddin bin Abdissalam lahir di Damaskus, Irak pada tahun 577 H. Tahun itu bertepatan dengan 1181 M. Kemudian beliau wafat pada malam Sabtu, 9 Jumadal Ula atau tahun 660 H/1262 M. Adapun maqamnya saat ini berada di pekuburan al-Qarafah al-Kubra, Mesir.
Latar belakang keluarganya sederhana. Mereka adalah orang-orang biasa. Secara ekonomi, keluarga beliau sangat sederhana. Mereka bisa dikatakan tidak punya apa-apa. Hanya sebatas makanan sehari-hari. Beliau lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan, apalagi keturunan raja. Bahkan bukan anak ulama besar. Imam Tajuddin bin Abdul Wahab as-Subki (wafat 771 H) pernah merekam masa kecil Syekh Izzuddin. Ini ada dalam kitab biografinya. Judulnya Thabaqat as-Syafi’iyah Kubra. As-Subki menggambarkan perjuangan Izzuddin bin Abdissalam dalam mencari ilmu.
Perjuangan Menuntut Ilmu dan Kisah Inspiratif
yang menqrik dari kisah beliaua dalah ketekunan dan kegigihannya dalam menuntut ilmu. walau dalam kondisi miskin, tidak menyurutkan beliau untuk terus mencari ilmu pengetahuan. Karena kondisi ekonomi sulit, Izzuddin baru bisa bersekolah saat dewasa. Pada usianya tidak lagi muda semantanya terus membara Setiap hari, ia menginap di emperan Masjid Agung Umayah di Damaskus karena tidak punya bekal cukup.
Al kisah suatu malam, udara sangat dingin. Seperti biasa tidur di emperan masjid. Karena rasa lelah begitu mendera dengan cepat dirinya tertidur. Tengah malam, ia mengalami mimpi basah (ihtilam). Ia segera mandi di kolam masjid. Namun dirinya sempat ragu karena kondisi cuaca Damaskus sangat dingin. Pada saat bersamaan, terbersit pikiran untuk menunda dan mandi besok paginya. Namun denhan cepat memutuskan untuk tetap mandi. Tidak peduli seberapa dingin airnya. Ia pun kembali tidur.
Kejadian mimpi basah terulang hingga tiga kali. Namun dirinya selalu memaksa dirinya mandi. Karena cuaca dingin hal ini membuatnya tidak sadarkan diri karena kedinginan. Kemudian tiba-tiba mendengar suara lirih: “Wahai Ibn Abdussalam, apa yang engkau kehendaki, ilmu atau amal?”
Mendengar pertanyaan tanpa pengucapnya itu, Syekh Izzuddin menjawab spontan. “Tentu saja ilmu. Karena dengannya aku akan bisa beramal.”
Dengan izin Allah , keesokan harinya, Syekh Izzuddin seakan mendapat futuh atau terbuka pemahaman tanpa belajar. Berkat kegigihannya malam itu, Allah memberikan hidayah. Hatinya terasa begitu lapang. Kemudian dirinya mampy menghafal kitab at-Tanbih karya Imam asy-Syairazi dalam waktu singkat.
Kisah berlanjut, beliau kemudian mendatangi ulama-ulama besar di masanya seperti Syekh Syaifuddin al-Amid dan Imam Fakhruddin Ibnu Asakir. Hingga akhirnya menjadi ulama besar di Damaskus.
Semangat dan cita-cita tinggi Syekh al-Izz membuahkan hasil. Dirinya berhasil menunjukkan kepakarannya dalam Fiqih, hadits, ushul fiqih, balaghah, tafsir, dan lain-lain adalah bidangnya. Syekh ‘Izuddin kemudian menjelma menjadi ulama disegani di Damaskus, Mesir, dan negara lainnya. Bahkan beberapa ulama pada masa itu menyebutnya mujtahid.
Ulama Produktif dengan Karya Agung
Syekh Izzuddin dikenal sebagai Sulthanul Ulama. Beliau menguasai ilmu sangat luas. Beliau juga ulama sangat produktif. Untuk membuktikan keluasan ilmunya, ia memiliki banyak karya agung. Ulama pada masanya hingga kini selalu mengkaji karyanya.
Dalam ilmu tafsir, ia memiliki karya monumental. Itu dikenal sebagai Tafsir al-Kabir li Ibn Abdissalam. Dalam ilmu fiqih, ia memiliki banyak karya. Misalnya, al-Ilmam fi Adillatil Ahkam, Qawaidusy Syari’ah al-Fawaid. Yang paling terkenal adalah kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam.
Kitab-kitab lain karyanya termasuk al-Fatawa Syekh al-Izz, al-Ghayah fi Ikhtisharin Nihayah, al-Isyarah ilal Ijaz fi Ba’di Anwa’il Majaz. Ada juga Masailuth Thariqah, al-Farqu Bainal Islam wal Iman, dan Maqashidur Ri’ayah. Masih banyak lagi kitab-kitab lainnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
