Surau.co. Sejak dahulu, manusia selalu bertanya: apakah jiwa hanya bagian dari tubuh, ataukah sesuatu yang lebih tinggi? Pertanyaan ini tidak hanya muncul di ruang diskusi filsafat, tetapi juga hadir dalam kehidupan sehari-hari. Ketika tubuh lelah, kita masih bisa berharap; ketika fisik sakit, kita masih mampu berdoa. Hal sederhana ini membuat kita sadar bahwa ada sesuatu dalam diri manusia yang melampaui tubuh. Ibn Sīnā, seorang filsuf besar Islam abad ke-11, menegaskan hal ini secara rinci dalam Kitāb al-Nafs.
Dalam karyanya, ia menjelaskan bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan sekadar fungsi tubuh. Dengan kata lain, al-nafs tidak bisa direduksi hanya menjadi darah, otak, atau organ-organ tubuh. Konsep ini bukan sekadar teori abstrak, melainkan dasar untuk memahami hakikat manusia.
Jiwa Sebagai Kesempurnaan Pertama
Ibn Sīnā mendefinisikan jiwa dengan tegas:
“النفس كمال أول لجسم طبيعي آلي بالقوة للحياة”
“Jiwa adalah kesempurnaan pertama bagi tubuh alami yang secara potensial memiliki kehidupan.”
Bagi Ibn Sīnā, tubuh hanyalah wadah. Jiwa-lah yang memberikan kehidupan, kesadaran, dan arah. Sama seperti lampu dan listrik: lampu bisa berbentuk indah, tetapi tanpa aliran listrik, ia tidak akan pernah menyala.
Dalam fenomena sehari-hari, kita sering melihat seseorang yang tubuhnya sehat tetapi merasa kosong, seolah hidup tanpa arah. Di situlah peran jiwa terasa nyata—sebagai pemberi makna.
Keterhubungan, Bukan Kesamaan
Walaupun jiwa berbeda dari tubuh, Ibn Sīnā tidak memutuskan hubungan keduanya. Jiwa menggunakan tubuh untuk menjalankan fungsinya. Ia menulis:
“النفس تفعل أفعالها بالبدن ولكنها ليست البدن”
“Jiwa melaksanakan tindakannya melalui tubuh, tetapi ia bukanlah tubuh itu sendiri.”
Kalimat ini sangat relevan. Bayangkan ketika seseorang berlari: otot, paru-paru, dan jantung bekerja keras. Namun tanpa motivasi batin, gerakan itu tidak akan terjadi. Tubuh adalah instrumen, jiwa adalah pemainnya.
Dalam kehidupan modern, kita bisa melihatnya dalam olahraga atau seni. Tubuh yang terlatih bisa menghasilkan gerakan indah, tetapi tanpa jiwa yang memberi rasa dan makna, hasilnya hambar.
Jiwa Rasional dan Kemampuan Berpikir
Ibn Sīnā membagi jiwa menjadi tiga lapisan: jiwa vegetatif (pertumbuhan dan nutrisi), jiwa hewani (indra dan gerak), dan jiwa rasional (akal). Yang terakhir inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Ia menegaskan:
“العقل من جوهر النفس، وبه يتميز الإنسان عن سائر الحيوان”
“Akal adalah bagian dari substansi jiwa, dan dengannya manusia berbeda dari seluruh hewan.”
Dengan akal, manusia bisa menafsirkan pengalaman, menciptakan ilmu, bahkan membayangkan masa depan. Bukankah ini yang membuat kita bisa membangun peradaban? Tubuh kita terbatas, tetapi akal memungkinkan manusia mengatasi keterbatasan itu.
Jiwa dan Keabadian: Harapan yang Melampaui Tubuh
Salah satu argumen penting Ibn Sīnā adalah bahwa jiwa rasional tidak bergantung pada tubuh untuk eksistensinya. Karena itu, al-nafs memiliki kemungkinan untuk bertahan setelah kematian.
Ia menulis:
“النفس الناطقة باقية بعد مفارقة البدن لأنها غير جسمانية”
“Jiwa rasional tetap ada setelah berpisah dari tubuh, sebab ia bukan bersifat jasmani.”
Pandangan ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa manusia tidak berhenti eksis saat tubuhnya mati. Al-Qur’an mengingatkan:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾ (آل عمران: 169)
“Janganlah engkau mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.”
Ayat ini menegaskan bahwa ada realitas kehidupan jiwa setelah kematian fisik. Ibn Sīnā mengaitkan filsafat dengan wahyu, menghadirkan harapan bahwa manusia memiliki dimensi abadi.
Pelajaran untuk Kehidupan Sehari-hari
Mengapa penting memahami perbedaan al-nafs dan tubuh? Karena sering kali manusia terjebak dalam rutinitas fisik, lupa memberi makan jiwanya. Kita menjaga pola makan untuk tubuh, tetapi lalai memberi nutrisi berupa ilmu, ibadah, dan refleksi bagi al-nafs.
Ketika seseorang merasa hampa meski hidup serba cukup, itulah tanda jiwa sedang menuntut perhatian. Ibn Sīnā mengajarkan bahwa kesehatan sejati adalah keseimbangan antara tubuh dan al-nafs. Dalam konteks modern, ini berarti kita perlu mengatur waktu untuk istirahat, merenung, dan mendekatkan diri pada nilai-nilai spiritual.
Refleksi: Jiwa sebagai Penopang Keberadaan Manusia
Ibn Sīnā menutup banyak argumennya dengan menekankan bahwa al-nafs adalah inti eksistensi manusia. Ia menulis:
“الإنسان بإنسانيته إنما هو بالنفس لا بالبدن”
“Kemanusiaan seseorang terletak pada jiwanya, bukan pada tubuhnya.”
Kalimat ini mengingatkan kita bahwa nilai manusia tidak hanya diukur dari kekuatan fisik, kekayaan, atau penampilan, tetapi dari kualitas jiwa yang ia miliki.
Penutup
Kitāb al-Nafs karya Ibn Sīnā menghadirkan gagasan mendalam tentang perbedaan antara dan tubuh. Al-nafs bukanlah bagian tubuh, melainkan substansi yang memberi kehidupan, kesadaran, dan tujuan. Ia berhubungan dengan tubuh, tetapi tidak identik dengannya. Bahkan, jiwa rasional mampu melampaui batas tubuh, memberikan harapan tentang keabadian.
Dalam dunia modern yang sering menekankan materialitas, pemikiran Ibn Sīnā mengingatkan kita untuk kembali pada inti: merawat jiwa, agar tubuh dan kehidupan kita mendapatkan makna yang sejati.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
