SURAU.CO – Sering kali dalam perjalanan hidup, kita menemui persimpangan antara menjaga hubungan pertemanan dengan menjaga keselamatan agama. Tidak jarang, demi dianggap akrab, kita menoleransi hal-hal yang sebenarnya berbahaya bagi iman kita. Namun pesan bijak dari para ulama mengingatkan: “Keselamatan agama lebih utama daripada pertemanan.”
Kalimat ini terasa sederhana, tetapi sarat makna. Persahabatan adalah nikmat besar, bahkan Rasulullah ﷺ bersabda bahwa seseorang akan dikumpulkan di akhirat bersama orang yang dicintainya. Namun, ada batas yang tidak boleh dilanggar, agama.
Mengapa Agama Lebih Utama?
- Agama adalah pondasi hidup.
Pertemanan bisa berubah, tetapi agama adalah pegangan yang akan kita bawa sampai mati. Tanpa agama, hidup kehilangan arah, dan pertemanan pun bisa menjerumuskan. -
Teman bisa berganti, iman tidak boleh tergadai.
Seorang teman yang baik akan mendorongmu ke surga, bukan menarikmu ke neraka. Jika sebuah pertemanan justru melemahkan ibadahmu, itu tanda harus ada jarak. -
Keselamatan akhirat yang abadi.
Persahabatan hanya sementara di dunia, tetapi keselamatan agama akan menentukan keselamatan abadi di akhirat.
Sikap yang Bijak
Bila harus menjauh dari teman karena menjaga agama, lakukan dengan cara baik, tanpa menyakiti.
Jelaskan bahwa bukan karena benci, melainkan demi menjaga diri dari hal-hal yang Allah larang.
Jangan lupakan doa, minta agar Allah menjaga iman kita sekaligus memberi hidayah kepada teman-teman yang kita tinggalkan.
Penutup: Belajar Jujur Pada Diri Sendiri
Memang berat bila harus mengorbankan keseruan pertemanan demi agama. Tetapi bukankah lebih berat kehilangan iman karena salah memilih teman?
Maka, mari belajar untuk jujur pada diri: “Aku lebih memilih agamaku, walau harus kehilangan teman, daripada kehilangan agamaku demi mempertahankan teman.”
Semoga Allah menjadikan kita sahabat sejati—yang saling menolong menuju surga, bukan sebaliknya.
Singkong Rebus: Sederhana tapi Sarat Makna
Singkong rebus, hidangan tradisional yang begitu sederhana, sering kali terlupakan di tengah gemerlapnya makanan modern yang serba instan. Namun di balik kelembutan teksturnya dan rasa manis-pahit yang alami, singkong menyimpan sejuta makna kehidupan. Potongan singkong rebus yang terlihat putih dan lembut di piring ini bukan sekadar panganan rakyat, melainkan simbol kesederhanaan, ketabahan, dan kearifan lokal.
Sejak dahulu, singkong menjadi bagian dari keseharian masyarakat Nusantara. Di desa-desa, singkong rebus hadir sebagai teman setia sarapan pagi, pengganti nasi ketika beras sulit didapat, hingga camilan hangat yang disajikan bersama teh atau kopi. Singkong tidak memerlukan bumbu yang rumit untuk disajikan; cukup direbus dengan air, sedikit garam, dan kesabaran. Dari kesederhanaannya, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari sesuatu yang mewah, melainkan dari keikhlasan menikmati apa yang ada.
Lebih dari sekadar makanan, singkong adalah simbol perjuangan. Di masa sulit, singkong menjadi penyelamat bangsa ketika beras langka. Dari akar hingga daunnya, semua bermanfaat. Daunnya bisa dijadikan sayur, batangnya bisa ditanam kembali, dan umbinya menjadi sumber karbohidrat yang menyehatkan.
Rezeki Hadir dalam Bentuk Yang Sederhana
Dalam perspektif spiritual, singkong rebus mengajarkan nilai tawakal. Kita seringkali mendambakan hidangan lezat, tetapi Allah mengingatkan melalui singkong bahwa rezeki bisa hadir dalam bentuk yang sederhana, namun penuh berkah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana’ah dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim).
Singkong rebus mengajarkan kita arti qana’ah—merasa cukup dengan pemberian Allah. Menyantap singkong rebus bisa menjadi renungan bahwa nikmat sejati bukan terletak pada kemewahan, melainkan pada rasa syukur.
Di era modern, para pengusaha mengolah singkong menjadi beragam makanan kreatif seperti keripik, getuk, tape, hingga bahan baku industri pangan. Namun tetap saja, singkong rebus yang hangat punya daya tarik tersendiri. Kesederhanaannya menghadirkan rasa nostalgia, mengingatkan kita pada pelukan ibu, dapur kayu, dan kebersamaan keluarga di kampung halaman.
Mari kita belajar dari singkong rebus: sederhana, bermanfaat, dan penuh makna. Kita sering kali terjebak mengejar sesuatu yang rumit dalam kehidupan, padahal kita menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan yang tulus. (Oleh: Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
