Surau.co. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar pepatah bahwa tawa bersama teman dapat menyembuhkan luka yang tak terlihat. Abu Zayd al-Balkhī, seorang ilmuwan dan filsuf Muslim dari abad ke-9, sudah lebih dulu menegaskan pentingnya kesehatan jiwa selain kesehatan raga dalam kitabnya Masālih al-Abdan wa al-Anfus. Ia menyampaikan bahwa hati yang tenteram, ditemani sahabat yang tulus, sering kali lebih ampuh daripada obat kimia.
Konsep ini terasa relevan hingga kini. Banyak orang yang mungkin rajin minum vitamin, menjaga pola makan, dan berolahraga, tetapi tetap merasa hampa karena kehilangan kehangatan dalam relasi sosial. Kitab klasik ini memberi pesan sederhana: kesehatan tubuh tak bisa dipisahkan dari kesehatan jiwa, dan salah satu obat jiwa adalah persahabatan yang ikhlas.
Persahabatan Sebagai Penopang Kesehatan Jiwa
Al-Balkhī membedakan dengan jelas kebutuhan jasmani dan rohani. Baginya, manusia bukan hanya tubuh yang bisa lelah, tetapi juga jiwa yang bisa rapuh. Ia menulis:
“النفوس تضعف كما تضعف الأبدان، ولها دواء كما للأبدان دواء.”
“Jiwa dapat melemah sebagaimana tubuh melemah, dan ia memiliki obat sebagaimana tubuh memiliki obat.”
Obat bagi jiwa, menurut al-Balkhī, salah satunya adalah hadirnya teman yang baik. Teman yang mendengar tanpa menghakimi, yang mengingatkan tanpa menyakiti, dan yang hadir tanpa pamrih. Hubungan yang sehat seperti ini dapat mengurangi stres, menenangkan hati, serta menumbuhkan rasa syukur.
Di era modern, banyak penelitian psikologi juga menguatkan hal ini. Dukungan sosial terbukti meningkatkan imun tubuh, mempercepat penyembuhan, bahkan menurunkan risiko depresi. Maka benar adanya jika seorang sahabat bisa lebih ampuh dari sekadar obat.
Dzikir dan Teman Baik: Dua Obat Jiwa
Al-Balkhī menekankan pentingnya kontemplasi, doa, dan dzikir sebagai cara menyembuhkan kegelisahan. Namun ia tidak berhenti di situ. Ia juga menekankan bahwa manusia membutuhkan orang lain dalam perjalanan hidupnya.
“من لم يجد أنيساً صالحاً، كانت عزلته سبباً لمرض نفسه.”
“Barang siapa tidak menemukan teman yang saleh, maka kesendiriannya dapat menjadi sebab sakit jiwanya.”
Kalimat ini memberi peringatan bahwa keterasingan bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Orang yang terus-menerus hidup tanpa interaksi tulus akan lebih rentan pada penyakit mental. Maka, dzikir menghubungkan kita dengan Allah, sementara sahabat menghubungkan kita dengan kehidupan.
Al-Qur’an sendiri menekankan makna sahabat yang baik:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ (الكهف: 28)
“Bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, dengan mengharap ridha-Nya.” (QS. Al-Kahf: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa bersahabat dengan orang saleh bukan hanya memberi ketenangan, tetapi juga menjaga arah spiritual kita.
Sahabat Sebagai Penyeimbang Emosi
Dalam Masālih al-Abdan wa al-Anfus, al-Balkhī menggambarkan jiwa manusia yang kadang terseret oleh kecemasan, kemarahan, atau kesedihan. Menurutnya, kehadiran sahabat sejati dapat membantu menyeimbangkan emosi.
“الصديق المخلص يواسيك في حزنك، ويشاركك في فرحك، وبه تستقيم نفسك.”
“Sahabat yang tulus menghiburmu di saat sedih, berbagi denganmu di saat gembira, dan dengannya jiwamu menjadi stabil.”
Betapa relevan kalimat ini bagi kita hari ini. Saat seseorang menghadapi masalah hidup, sering kali obat terbaik bukan pil penenang, melainkan percakapan jujur dengan seorang sahabat.
Itulah sebabnya Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis ini menekankan bahwa hubungan antar manusia bukan sekadar sosial, melainkan fondasi yang menopang kekuatan jiwa.
Menghidupkan Tradisi Persahabatan di Tengah Kehidupan Modern
Di dunia modern yang serba sibuk, banyak orang merasa kesepian meskipun dikelilingi keramaian. Media sosial memberi kesan ramai, tetapi sering kali tidak menghadirkan kedalaman emosional.
Al-Balkhī menasihati:
“الوحدة الطويلة تقسي القلب وتنهك النفس.”
“Kesendirian yang berkepanjangan dapat mengeraskan hati dan melemahkan jiwa.”
Pesan ini mendorong kita untuk menghidupkan kembali tradisi persahabatan yang tulus. Saling berkunjung, mendengar, berbincang, atau sekadar berbagi canda menjadi terapi yang sederhana namun berharga.
Menghidupkan ikatan sosial bukan berarti menolak kesendirian sepenuhnya. Ada saatnya kita butuh merenung sendiri, namun persahabatan sejati adalah pelengkap yang menjaga keseimbangan hidup.
Penutup: Sahabat Sejati, Obat yang Tidak Dijual
Al-Balkhī mengajarkan bahwa menjaga jiwa sama pentingnya dengan menjaga tubuh. Teman tulus hadir sebagai “obat” yang tidak bisa dibeli di apotek, tetapi bisa ditemukan melalui ketulusan, kasih sayang, dan iman.
Dalam dunia yang penuh tantangan, kita membutuhkan lebih dari sekadar resep dokter. Kita membutuhkan sahabat yang bisa mendengarkan, menemani, dan mendoakan. Sebab, pada akhirnya, teman yang tulus memang lebih ampuh dari obat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
