Khazanah
Beranda » Berita » Jalan Panjang Menuntut Ilmu, Kewajiban dalam Islam

Jalan Panjang Menuntut Ilmu, Kewajiban dalam Islam

Jalan Panjang Menuntut Ilmu
Ilustrasi jalan panjang menuntut ilmu sebagai kewajiban dalam Islam. Foto: Perplexity

SURAU.CO. Di era digital seperti sekarang, informasi mengalir deras tanpa batas. Dari ujung jari, kita bisa mengakses ribuan bahkan jutaan pengetahuan dalam hitungan detik. Namun, di tengah banjir informasi ini, kita justru sering kehilangan arah. Kita menjadi bingung mana ilmu yang benar-benar membawa manfaat, dan mana sekadar wacana kosong yang menyesatkan.

Islam sejak awal telah menegaskan bahwa menuntut ilmu bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ilmu dalam pandangan Islam bukan hanya alat untuk bertahan hidup, tetapi cahaya yang membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat.

Ilmu sebagai Nafas Kehidupan

Islam memandang ilmu sebagai fondasi utama kehidupan manusia. Tanpa ilmu, manusia tidak mampu menjalankan amanahnya sebagai khalifah di bumi, tidak sanggup mengelola alam, apalagi menata kehidupan sesuai tuntunan Allah. Setiap aktivitas, baik yang bersifat duniawi seperti mencari nafkah, maupun yang bersifat ukhrawi seperti beribadah, selalu membutuhkan ilmu. Bahkan perkara sederhana, seperti makan, minum, atau berinteraksi dengan sesama, tidak bisa lepas dari pengetahuan. Karena itu, Islam menempatkan ilmu sejajar dengan kebutuhan primer manusia. Ilmu bagaikan udara bagi akal dan cahaya bagi hati.

Al-Qur’an secara tegas mengangkat derajat ilmu. Allah berfirman: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1–5)

Ayat pertama yang turun kepada Nabi ﷺ ini menegaskan bahwa wahyu Islam dimulai dengan seruan membaca, belajar, dan menulis. Pesan ini menunjukkan bahwa ilmu adalah pintu utama untuk mengenal Allah sekaligus memahami kehidupan.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Bahkan Allah menegaskan bahwa kedudukan orang berilmu berbeda dari orang yang jahil. Dalam firman-Nya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa iman dan ilmu adalah dua hal yang saling melengkapi. Keimanan tanpa ilmu akan mudah goyah, sedangkan ilmu tanpa iman akan kehilangan arah.

Para ulama klasik pun menekankan bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan informasi, tetapi energi yang mengubah manusia menjadi pribadi yang berakhlak. Belajar adalah proses aktif yang melahirkan perubahan sikap dan perilaku. Dengan kata lain, ilmu harus diinternalisasi hingga membentuk akhlak mulia, bukan sekadar menjadi hafalan. Karena itulah Rasulullah ﷺ mewajibkan umatnya menuntut ilmu. Sebab tanpa ilmu, manusia akan kehilangan arah, terombang-ambing dalam kebodohan, dan gagal mencapai kebahagiaan dunia maupun keselamatan akhirat.

Hadis tentang Kewajiban Menuntut Ilmu

Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini singkat, tetapi maknanya dalam. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun muslim yang boleh berpaling dari kewajiban ini. Ilmu bukan monopoli ulama, guru, atau cendekiawan saja, melainkan tanggung jawab setiap individu. Baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, semua punya kewajiban yang sama.

Hadis lain memberikan gambaran indah tentang keutamaan ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang menempuh jalan menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga. Para malaikat merendahkan sayapnya sebagai bentuk penghormatan, bahkan ikan-ikan di laut memohonkan ampun bagi para penuntut ilmu. Bayangkan, betapa mulianya kedudukan seorang penuntut ilmu hingga seluruh alam semesta ikut mendoakan keberkahan bagi mereka.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Lebih jauh, Rasulullah ﷺ juga menjelaskan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak meninggalkan dinar atau dirham, melainkan ilmu. Maka siapa yang meraih ilmu, ia sesungguhnya telah mendapatkan warisan paling berharga yang bisa mengantarkannya pada kemuliaan dunia dan akhirat.

Ilmu sebagai Warisan Peradaban

Ilmu dalam Islam bukan sekadar alat rasional, tetapi juga jalan spiritual. Dengan ilmu, manusia mampu mengenal dirinya, memahami Tuhannya, dan memperbaiki akhlaknya. Hamka dalam pandangannya membagi pendidikan menjadi dua yaitu jasmani dan rohani. Pendidikan jasmani menguatkan fisik dan akal, sedangkan pendidikan rohani membentuk kesempurnaan batin melalui nilai agama. Dua aspek ini harus berjalan seimbang agar manusia tumbuh menjadi pribadi yang utuh.

Ketika ilmu dipelajari dengan benar, ia menjadi titik awal tumbuhnya kesadaran dalam bersikap. Orang berilmu tidak hanya cerdas dalam berpikir, tetapi juga bijak dalam bertindak. Ia tidak sombong dengan pengetahuan yang dimiliki, justru semakin rendah hati karena menyadari luasnya samudera ilmu Allah yang tak terbatas.

Sejarah membuktikan, peradaban Islam mencapai puncak kejayaan justru karena perhatian besar terhadap ilmu. Dari Baghdad hingga Andalusia, umat Islam mendirikan madrasah, perpustakaan, dan pusat riset yang melahirkan ilmuwan besar. Mereka bukan hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga matematika, kedokteran, astronomi, filsafat, dan seni. Semua itu lahir dari keyakinan bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah.

Namun, warisan besar ini tidak lahir secara instan. Para ulama menempuh perjalanan panjang, merantau ribuan kilometer demi menimba ilmu. Tradisi rihlah ilmiah ini menjadi bukti bahwa ilmu memang layak diperjuangkan dengan kesungguhan dan pengorbanan.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Etika dalam Menuntut Ilmu

Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu, tetapi juga menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu. Sebab, ilmu tanpa etika hanya akan melahirkan kesombongan, sementara ilmu yang disertai adab akan menghadirkan keberkahan. Imam Al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim menyusun pedoman praktis bagi para penuntut ilmu, yang hingga kini tetap relevan. Ia menegaskan bahwa seorang penuntut ilmu harus menata niat sejak awal. Belajar bukan untuk mengejar pujian, harta, atau status sosial, melainkan semata-mata demi meraih ridha Allah.

Selain itu, seorang penuntut ilmu wajib memilih ilmu yang bermanfaat. Prioritas utama adalah ilmu agama yang menuntun manusia mengenal Allah dan memperbaiki akhlak, lalu disusul dengan ilmu duniawi yang mendukung kemaslahatan hidup bersama. Setelah itu, adab berikutnya adalah menghormati guru. Sehebat apa pun kecerdasan seseorang, ia tidak akan memperoleh keberkahan ilmu jika meremehkan gurunya, karena penghormatan kepada guru sejatinya adalah penghormatan kepada ilmu itu sendiri.

Menuntut ilmu juga menuntut kesungguhan dan kesabaran. Tidak ada jalan pintas untuk menjadi berilmu. Proses panjang, ketekunan, dan ujian harus dijalani. Di samping itu, seorang penuntut ilmu harus bertawakal kepada Allah. Usaha tanpa doa akan terasa hampa, sementara doa tanpa usaha adalah kesia-siaan. Tawakal mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar manusia dan kebergantungan penuh kepada Allah.

Etika berikutnya adalah memanfaatkan waktu. Masa muda adalah periode emas yang tidak boleh diabaikan. Usia muda ibarat tanah subur yang mudah ditanami benih ilmu, sementara usia tua adalah masa panen dari benih yang telah ditanam. Karena itu, seorang penuntut ilmu harus cerdas menggunakan waktunya, bukan menyia-nyiakan kesempatan dengan hal yang tidak bermanfaat.

Imam al-Ghazali menambahkan bahwa seorang penuntut ilmu harus mensucikan diri dari akhlak tercela, tidak sombong dengan ilmunya, serta fokus pada tujuan utama yakni mengenal Allah dan memperbaiki akhlak. Dengan demikian, ilmu tidak berhenti di kepala, melainkan bersemayam di hati, memancarkan akhlak mulia, dan membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia sekaligus keselamatan akhirat.

Menuntut Ilmu di Era Modern

Hari ini, menuntut ilmu mungkin tidak lagi menuntut perjalanan jauh sebagaimana para ulama terdahulu. Teknologi membuka akses belajar dari mana saja. Namun, tantangannya justru lebih besar, kita harus mampu memilah mana ilmu yang bermanfaat dan mana yang menyesatkan.

Di era disrupsi ini, menuntut ilmu berarti bukan hanya menguasai pengetahuan teknis, tetapi juga membangun akhlak, etika, dan kebijaksanaan. Tanpa itu, ilmu hanya melahirkan manusia cerdas tetapi kehilangan arah. Seorang ilmuwan bisa menciptakan teknologi canggih, tetapi tanpa etika ia bisa menjadi alat perusak bagi kemanusiaan.

Menuntut ilmu dalam Islam bukan sekadar aktivitas akademik, melainkan ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Ia adalah kewajiban yang melekat pada setiap muslim, tanpa terkecuali. Lebih dari itu, ilmu menjadi jalan untuk meraih kebahagiaan dunia sekaligus keselamatan akhirat.

Di tengah derasnya arus informasi hari ini, kita perlu kembali menata niat, menjaga etika, dan memfokuskan diri pada ilmu yang bermanfaat. Sebab, hanya dengan ilmu yang benar, hidup kita akan penuh cahaya, dan langkah kita akan selalu terarah menuju ridha Allah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement