Kematian selalu menyisakan kesedihan tetapi juga membawa amanah yang harus keluarga tunaikan. Membagi amanah harta peninggalan. Dalam Islam, warisan bukan sekadar persoalan harta, tetapi juga ujian keadilan, kasih sayang, dan ketakwaan.
Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa: 11)
Ayat ini menjadi dasar hukum faraidh (ilmu warisan) dalam Islam. Syekh Zainuddin al-Malibari melalui kitab Fathul Mu’in memberikan penjelasan praktis mengenai warisan agar umat Islam dapat melaksanakannya secara benar dan adil.
Pentingnya Ilmu Warisan dalam Islam
Rasulullah Saw. bersabda:
تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ
“Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena ia adalah setengah dari ilmu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya umat Islam mempelajari ilmu warisan. Dalam kenyataan, sengketa keluarga sering muncul karena anggota keluarga membagi harta tanpa mengikuti syariat. Fathul Mu’in hadir untuk memberi panduan jelas sehingga keluarga dapat menghindari ketidakadilan.
Definisi Warisan dalam Fathul Mu’in
Fathul Mu’in mendefinisikan warisan (mīrāts) sebagai proses pewaris memindahkan hak kepemilikan harta kepada ahli waris yang masih hidup sesuai ketentuan syariat. Harta yang ahli waris terima mencakup segala sesuatu yang bernilai, seperti tanah, rumah, uang, dan barang berharga lainnya.
Namun sebelum keluarga membagikan warisan, mereka harus menyelesaikan tiga kewajiban:
-
Menanggung biaya pengurusan jenazah (kafan, pemakaman, dan sebagainya).
-
Melunasi semua hutang mayit.
-
Melaksanakan wasiat (maksimal sepertiga dari harta).
Setelah keluarga menunaikan tiga kewajiban ini, barulah mereka membagi harta kepada ahli waris.
Rukun dan Syarat Warisan
Syekh Zainuddin dalam Fathul Mu’in menyebut tiga rukun warisan:
-
Muwarris – orang yang meninggal dan meninggalkan harta.
-
Waris – orang yang berhak menerima.
-
Harta Warisan – benda atau nilai yang pewaris tinggalkan.
Syarat sah warisan mencakup:
-
Muwarris wafat secara pasti.
-
Ahli waris hidup ketika muwarris wafat.
-
Tidak ada penghalang warisan seperti perbedaan agama atau tindakan pembunuhan.
Ahli Waris Menurut Fathul Mu’in
Fathul Mu’in mengikuti mazhab Syafi’i dalam menentukan ahli waris. Ulama membaginya menjadi dua kelompok:
-
Dzawil Furudh (ahli waris dengan bagian pasti)
Mereka menerima bagian yang Al-Qur’an tentukan, seperti:
-
Anak perempuan
-
Ibu
-
Ayah
-
Suami atau istri
-
Saudara perempuan kandung atau seayah
-
‘Ashabah (ahli waris sisa)
Mereka memperoleh sisa harta setelah ahli waris dzawil furudh mengambil bagiannya. Contohnya anak laki-laki, saudara laki-laki, atau kerabat dekat lainnya.
Bagian-Bagian Waris dalam Al-Qur’an
Fathul Mu’in menegaskan kembali ketentuan pembagian yang Al-Qur’an tetapkan, di antaranya:
-
Anak laki-laki memperoleh dua kali bagian anak perempuan (QS. An-Nisa: 11).
-
Suami menerima 1/2 harta jika pewaris tidak memiliki anak, atau 1/4 jika pewaris memiliki anak.
-
Istri menerima 1/4 harta jika pewaris tidak memiliki anak, atau 1/8 jika pewaris memiliki anak.
-
Ibu menerima 1/3 harta jika pewaris tidak memiliki anak, atau 1/6 jika pewaris memiliki anak.
-
Ayah menerima 1/6 harta jika pewaris memiliki anak.
Penghalang Warisan (Mawani’ al-Irts)
Dalam Fathul Mu’in, tiga hal dapat menghalangi seseorang menerima warisan:
-
Perbedaan agama – seorang Muslim tidak mewarisi harta non-Muslim, begitu pula sebaliknya.
-
Pembunuhan – orang yang membunuh pewaris kehilangan hak waris.
-
Perbudakan – seorang budak tidak dapat mewarisi karena ia tidak memiliki hak kepemilikan penuh.
Warisan Melalui Wasiat
Fathul Mu’in menekankan pentingnya wasiat untuk mengatur sebagian harta. Namun seseorang hanya boleh membuat wasiat maksimal sepertiga harta. Rasulullah Saw. bersabda:
الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
“Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.” (HR. Bukhari-Muslim)
Artinya, seseorang tidak boleh menetapkan wasiat lebih dari sepertiga harta kecuali ahli waris menyetujuinya.
Filosofi Keadilan dalam Warisan
Warisan dalam Islam tidak hanya berupa perhitungan matematis, tetapi juga mencerminkan keadilan sosial. Fathul Mu’in menjelaskan bahwa pembagian dua banding satu antara laki-laki dan perempuan bukan bentuk diskriminasi, melainkan keseimbangan tanggung jawab.
Laki-laki wajib menanggung nafkah keluarga, sedangkan perempuan memiliki hak penuh atas hartanya. Karena itu, pembagian tersebut logis dan adil.
Warisan sebagai Ujian Keluarga
Sering kali, harta warisan memicu perpecahan keluarga. Padahal, syariat bertujuan menjaga keharmonisan.
Rasulullah Saw. mengingatkan:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ… فَيَقْطَعُهُ الْمِيرَاثُ
“Sungguh, ada seseorang yang beramal dengan amal ahli surga… namun ia terputus darinya karena urusan warisan.” (HR. Ahmad)
Pesan ini menegaskan bahwa kesalahan dalam mengelola warisan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa.
Relevansi Warisan dalam Konteks Modern
Di era modern, banyak kasus warisan yang melibatkan aset digital, saham, atau rekening bank. Prinsip Fathul Mu’in tetap relevan: keluarga harus membagi semua bentuk harta sesuai syariat.
Penggunaan teknologi seperti aplikasi faraidh atau sistem administrasi syariah dapat membantu keluarga membagi warisan secara transparan dan adil.
Etika dalam Membagi Warisan
Selain hukum, Fathul Mu’in menekankan etika pembagian:
-
Menyelesaikan pembagian melalui musyawarah keluarga.
-
Tidak menunda proses agar sengketa tidak muncul.
-
Menjaga kerahasiaan agar iri hati tidak berkembang.
-
Mengutamakan silaturahmi di atas kepentingan harta.
Penutup
Warisan dalam Fathul Mu’in mencerminkan bagaimana Islam mengatur kehidupan secara adil. Warisan bukan sekadar hitungan, tetapi amanah.
Harta yang kita tinggalkan hanyalah titipan. Keadilan dalam membaginya menjadi bukti cinta terakhir kepada keluarga. Jangan biarkan warisan berubah menjadi api perpecahan, tetapi jadikan ia jalan menuju ridha Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
