Dalam sejarah panjang peradaban, riba selalu merusak keadilan ekonomi. Islam hadir dengan ajaran yang jelas: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Kitab Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari menjadi salah satu rujukan penting dalam mazhab Syafi’i yang menyoroti masalah ini secara detail, baik dari segi hukum, praktik, maupun dampaknya terhadap kehidupan umat.
Al-Qur’an menegaskan dengan bahasa yang tegas:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ، فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba, jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 278–279)
Ayat ini menunjukkan betapa seriusnya bahaya riba, hingga Allah sendiri mengumumkan perang kepada para pelakunya.
Definisi Riba dalam Fathul Mu’in
Dalam Fathul Mu’in, para ulama memahami riba sebagai tambahan yang seseorang ambil dari transaksi pinjam-meminjam atau jual beli tanpa pertukaran nilai yang seimbang. Riba tidak hanya berarti bunga pinjaman, tetapi mencakup segala bentuk ketidakadilan dalam pertukaran.
Syekh Zainuddin al-Malibari menegaskan bahwa riba tetap haram dalam semua keadaan, baik jumlahnya sedikit maupun banyak, karena praktik ini bertentangan dengan prinsip ridha dan keadilan dalam muamalah.
Jenis-Jenis Riba
Fathul Mu’in membagi riba menjadi beberapa jenis:
-
Riba Fadhl
Pertukaran barang sejenis yang menghasilkan tambahan, misalnya menukar 1 kg gandum dengan 1,2 kg gandum. -
Riba Nasi’ah
Tambahan yang timbul karena penundaan waktu, seperti meminjam 1 juta rupiah dan mengembalikannya sebesar 1,2 juta setelah sebulan. -
Riba Qardh
Tambahan yang pemberi pinjaman syaratkan dalam akad, contohnya: “Saya pinjamkan uang ini dengan syarat kamu mengembalikan lebih banyak.” -
Riba Jahiliyah
Tambahan yang muncul ketika peminjam gagal membayar utang saat jatuh tempo, lalu bunganya terus berlipat.
Dalil-Dalil Keutamaan Menjauhi Riba
Banyak hadis yang menegaskan keharaman riba. salah satunya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulisnya, dan dua saksinya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa dosa riba menimpa seluruh pihak yang terlibat dalam prosesnya, baik pelaku utama maupun pendukungnya.
Syarat-Syarat Transaksi Bebas Riba
Menurut Fathul Mu’in, orang yang ingin bertransaksi tanpa riba harus mematuhi beberapa syarat:
-
Orang yang menukar barang sejenis harus menyamakan takaran dan kadarnya.
-
Jika barang berbeda jenis, kedua pihak boleh berbeda takaran, tetapi harus menukar secara tunai.
-
Pemberi pinjaman tidak boleh menambahkan syarat keuntungan.
-
Para pihak tidak boleh menunda pembayaran secara sengaja untuk meraih keuntungan sepihak.
Dampak Riba Menurut Fathul Mu’in
Syekh Zainuddin menggambarkan riba sebagai dosa besar yang menghancurkan sendi ekonomi dan moral masyarakat. Dampak riba antara lain:
• Sosial: Riba menciptakan jurang antara orang kaya dan orang miskin.
• Ekonomi: Riba memicu eksploitasi dan ketidakadilan.
• Spiritual: Riba menghapus keberkahan harta dan mengundang murka Allah.
Rasulullah Saw. bersabda:
الرِّبَا ثَلاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu, dan dosa yang paling ringan setara dengan seseorang yang menzinai ibunya.” (HR. Ibnu Majah)
Riba dan Kehidupan Modern
Meskipun Syekh Zainuddin menulis Fathul Mu’in ratusan tahun lalu, pesan-pesannya tetap relevan. Di era modern, praktik riba muncul dalam bentuk bunga pinjaman bank konvensional, kartu kredit, hingga spekulasi finansial.
Para ulama dan ekonom muslim kemudian menghadirkan alternatif keuangan syariah, seperti perbankan syariah, koperasi syariah, dan instrumen investasi berbasis akad halal (mudharabah, musyarakah, murabahah).
Jalan Keluar dari Riba
Fathul Mu’in mengingatkan umat Islam agar mencari nafkah dengan jalan halal. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
-
Mengutamakan transaksi tunai.
-
Memilih lembaga keuangan syariah.
-
Mengembangkan bisnis berbasis bagi hasil.
-
Mengendalikan gaya hidup agar tidak mudah berutang.
Relevansi Fathul Mu’in sebagai Pedoman
Kitab ini tidak hanya menjelaskan hukum, tetapi juga memberi arahan spiritual. Syekh Zainuddin menekankan bahwa menjauhi riba bukan sekadar masalah fiqh, melainkan bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah.
Dengan mempraktikkan prinsip-prinsipnya, umat Islam dapat membangun sistem ekonomi yang adil, berkeadilan, dan penuh keberkahan.
Penutup
Riba merusak keadilan dan mencabut keberkahan. Fathul Mu’in mengajarkan bahwa harta halal lebih utama daripada harta melimpah yang mengandung riba.
Harta halal, meskipun sedikit, melahirkan ketenangan hati. Sebaliknya, harta riba, meskipun melimpah, hanya menjerumuskan jiwa. Tinggalkan riba, karena kejujuran dan ridha Allah membawa keberkahan yang tak terhingga.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
