SURAU.CO – Fatimah binti al-Hasan bin Ali al-Baghdadi al-‘Attar, yang lebih dikenal dengan nama Bintul Aqra’, hidup pada abad kelima hijriah (sekitar abad ke-11 Masehi) dan meninggalkan jejak luar biasa dalam dunia kaligrafi, sastra, hingga periwayatan hadits.
Ia lahir dan besar di Bagdad, pusat intelektual dunia Islam pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu , Bagdad menjadi magnet bagi para ulama, sastrawan, dan cendekiawan dari berbagai penjuru. Dalam atmosfer intelektual yang begitu kaya, Fatimah tumbuh sebagai perempuan terpelajar dan multitalenta.
Tidak mengherankan bila para ulama besar kemudian mencatat kiprah Fatimah dalam karya mereka. Misalnya, Ibnul Jauzi menuliskannya dalam al-Muntazham fi Tarikhil Muluk wal Umam, Yaqut al-Hamawi mencatatnya dalam Mu’jamul Udaba’, Ibnul Atsir menyinggungnya dalam al-Kamil fit Tarikh, dan adz-Dzahabi menyebutnya dalam Siyar A’lamin Nubala. Dengan demikian, banyak tokoh yang mengakui reputasinya.
Keahlian dalam Kaligrafi
Fatimah binti al-Aqra’ menorehkan keindahan tulisan yang memikat banyak orang. Ia menguasai gaya tulisan indah dan rapi dengan mengikuti tradisi Ibnu al-Bawwab (w. 413 H), seorang kaligrafer Arab yang mengembangkan gaya naskhi. Oleh karena itu, para pejabat kekhalifahan mengandalkan goresan tangannya yang mengutamakan estetika sekaligus akurasi.
Lebih jauh lagi, ia menulis berbagai dokumen penting istana. Bahkan, ia pernah menulis surat perjanjian damai antara Abbasiyah dan penguasa Romawi. Hal ini menunjukkan bahwa keahliannya tidak sebatas seni, tetapi juga mencakup tanggung jawab politik dan diplomatik. Tulisan tangannya menjadi simbol keindahan sekaligus legitimasi resmi kekhalifahan.
Sekretaris Istana dan Penulis Surat Resmi
Kepiawaian Fatimah binti al-Aqra’ akhirnya mengantarkan dirinya menduduki jabatan terhormat sebagai Sekretaris Istana Abbasiyah. Pada saat banyak orang membatasi peran perempuan hanya di ruang domestik, ia justru membuktikan kemampuannya mengemban tugas publik dengan penuh tanggung jawab. Ia menulis dokumen-dokumen penting yang menjadi saksi sejarah politik.
Lebih lanjut, Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jamul Udaba’ menyebut salah satu surat indah karya Fatimah. Surat dokumen resmi berupa karya sastra penuh estetika. Di dalamnya, Fatimah menyusun kalimat dengan pujian, doa, dan bahasa yang anggun. Ia menata huruf-huruf secara rapi dan lentur, sehingga menghasilkan karya yang memadukan fungsi administrasi dan seni.
Relasi dengan Fakhr al-Kufah
Dalam surat tersebut, Fatimah menyebut nama Sayyid Fakhr al-Kufah Abul Husain , seorang menteri Dinasti Buwaihi yang dikenal sebagai pecinta sastra. Fakhr al-Kufah bahkan menulis biografi para penyair. Kedekatan Fatimah dengan tokoh ini menunjukkan bahwa ia berada dalam lingkaran intelektual elit yang menaruh perhatian pada seni dan sastra.
Apalagi ketika Fakhr al-Kufah wafat, Khalifah Abbasiyah Al-Qaim bi Amrillah menandatangani dokumen penghormatan yang ditulis langsung oleh Fatimah. Peristiwa tersebut semakin menunjukkan posisi perempuan berpengaruh di istana.
Periwayat Hadits
Fatimah tidak hanya berkiprah dalam bidang seni dan sastra, tetapi juga dalam ilmu agama. Ia meriwayatkan hadits dari beberapa guru besar dan besar dan menjadi sumber riwayat bagi sejumlah ulama. Di antara mereka, terdapat Abul Qasim as-Samarqandi, Qadhi al-Maristan, Abdul Wahhab al-Anmati, dan Abu Sa’d al-Baghdadi.
Ia meriwayatkan salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Siapa saja yang bersumpah dengan suatu sumpah, kemudian melihat sesuatu yang lebih baik darinya, maka hendaklah ia melakukan yang lebih baik dan membayar kafarat atas sumpahnya.”
Dengan demikian, jelas bahwa Fatimah tidak hanya berkontribusi dalam urusan duniawi, tetapi juga berperan dalam transmisi ilmu-ilmu agama.
Fatimah binti al-Aqra’ wafat pada hari Rabu, 21 Muharram 480 H (1087 M). Ia dimakamkan di Bab Abraz (Beybers), Bagdad. Meski ia telah tiada , warisannya tetap abadi dalam sejarah Islam, terutama di bidang sastra Arab, seni kaligrafi, dan periwayatan hadis. Meski tidak banyak karya fisik yang bertahan, jejaknya tetap abadi dalam sastra para ulama.
Masyarakat Irak mengenang Fatimah sebagai kebanggaan perempuan yang mampu menembus batas sosial dengan pena dan kecerdasannya. Oleh karena itu, namanya terus disebut dalam karya-karya klasik sebagai bukti bahwa perempuan juga memiliki tempat terhormat dalam sejarah intelektual Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
