Dalam hiruk pikuk dunia, manusia sering kehilangan waktu untuk merenung. Kesibukan mengejar dunia kerap menutupi jalan menuju ketenangan hati. Islam menghadirkan i’tikaf dan qiyamul lail sebagai ruang sunyi, tempat seorang hamba kembali menyulam kedekatan dengan Allah.
Syekh Zainuddin al-Malibari menulis Fathul Mu’in sebagai rujukan penting dalam mazhab Syafi’i mengenai tata cara ibadah, termasuk i’tikaf dan qiyamul lail. Kitab ini memadukan panduan fikih yang jelas dengan nilai spiritual yang dalam, sehingga dua ibadah ini tidak sekadar menjadi ritual, melainkan juga perjalanan batin.
Allah berfirman:
وَاعْتَكِفُوا فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri-istri kalian) ketika kalian sedang beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintahkan i’tikaf, khususnya di masjid.
I’tikaf dalam Fathul Mu’in
Definisi dan Hukum I’tikaf
Secara bahasa, i’tikaf berarti menetap. Dalam istilah syariat, i’tikaf berarti seseorang berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Fathul Mu’in, i’tikaf memiliki hukum sunnah muakkadah, terutama di sepuluh hari terakhir Ramadan, karena Rasulullah ﷺ senantiasa melaksanakannya.
Hadis riwayat Bukhari menyebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Rasulullah ﷺ biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.”
Syarat dan Rukun I’tikaf
Menurut Fathul Mu’in, seseorang hanya dapat melaksanakan i’tikaf jika memenuhi syarat berikut:
-
Ia beragama Islam dan berakal.
-
Ia suci dari hadas besar.
-
Ia melakukannya di masjid.
-
Ia meniatkan i’tikaf.
Rukun i’tikaf meliputi:
-
Niat i’tikaf.
-
Berdiam di masjid dalam waktu tertentu.
Tata Cara I’tikaf
Orang yang beri’tikaf tidak hanya duduk di masjid, tetapi juga mengisi waktunya dengan amal-amal saleh seperti:
-
Membaca Al-Qur’an.
-
Menunaikan shalat sunnah.
-
Berdzikir dan berdoa.
-
Menuntut ilmu.
Fathul Mu’in menekankan agar pelaku i’tikaf menjaga adab: tidak berbicara sia-sia, menundukkan pandangan, dan memperbanyak amal yang mendekatkan diri kepada Allah.
Qiyamul Lail dalam Fathul Mu’in
Definisi dan Keutamaan
Qiyamul lail berarti “berdiri di malam hari” untuk shalat. Fathul Mu’in menyamakan qiyamul lail dengan shalat tahajjud dan shalat sunnah malam lainnya.
Allah berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajjud sebagai ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 79)
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Waktu dan Jumlah Rakaat
Menurut Fathul Mu’in, umat Islam dapat menunaikan qiyamul lail sejak setelah Isya hingga sebelum Subuh. Waktu terbaik jatuh pada sepertiga malam terakhir. Mereka bisa menunaikannya minimal dua rakaat tanpa batas maksimal, namun Rasulullah ﷺ menganjurkan 11 atau 13 rakaat yang ditutup dengan witir.
Tata Cara Pelaksanaan
-
Niat shalat sunnah malam.
-
Membaca al-Fatihah dan surat; disunnahkan memilih surat yang panjang untuk menambah kekhusyukan.
-
Memperbanyak doa di setiap sujud.
-
Menutup rangkaian shalat dengan witir.
Hubungan I’tikaf dan Qiyamul Lail
I’tikaf dan qiyamul lail bagaikan dua sisi dari satu permata. Orang yang beri’tikaf berdiam di masjid, memutus sejenak urusan dunia, dan mengisinya dengan qiyamul lail sebagai bentuk pengabdian.
Pada sepuluh malam terakhir Ramadan, Rasulullah ﷺ meningkatkan ibadahnya dengan beri’tikaf dan memperbanyak shalat malam demi mencari Lailatul Qadar.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)
Dimensi Spiritual I’tikaf dan Qiyamul Lail
-
Ruang Sunyi untuk Muhasabah
I’tikaf memberi ruang bagi setiap muslim untuk refleksi diri. Kesunyian masjid membantu hati lebih mudah mengingat Allah, menyadari kelemahan, dan bertekad memperbaiki diri. -
Kedekatan Malam dengan Allah
Qiyamul lail menghadirkan momen hening yang paling pribadi antara hamba dan Rabbnya. Saat dunia terlelap, seorang muslim berdiri, berdoa, dan menangis, seakan berbicara langsung dengan Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ
“Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya terjadi ketika ia sujud.” (HR. Muslim)
-
Melatih Konsistensi Ibadah
Kedua ibadah ini melatih disiplin dan keistiqamahan. Orang yang beri’tikaf belajar memutus distraksi dunia, sedangkan qiyamul lail melatihnya melawan rasa malas untuk bangun di malam hari.
Relevansi di Era Modern
Di zaman modern, manusia semakin sibuk dan kerap kehilangan kendali atas waktu. I’tikaf dan qiyamul lail hadir sebagai terapi spiritual yang mengembalikan keseimbangan batin.
Umat Islam yang beri’tikaf di masjid dapat membersihkan jiwa dari racun rohani, sedangkan qiyamul lail menguatkan hati agar tidak terjerumus dalam kelalaian. Kedua ibadah ini menjadi oase di tengah kegersangan spiritual dunia modern.
Penutup
Fathul Mu’in mengajarkan bahwa i’tikaf dan qiyamul lail bukan hanya ritual, tetapi jalan menuju cahaya Ilahi. Di masjid yang sunyi, seorang hamba menemukan dirinya kembali. Di malam yang hening, ia berdiri dengan doa dan sujud yang mengalir.
“Malam bukan hanya kegelapan. Malam adalah cahaya yang tersembunyi dalam doa-doa sunyi, dalam sujud yang basah, dalam i’tikaf yang setia. Siapa pun yang mencarinya akan menemukan Allah dalam keheningan.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
