Khazanah
Beranda » Berita » Kecemasan dan Stres: Gelombang yang Bisa Ditenangkan

Kecemasan dan Stres: Gelombang yang Bisa Ditenangkan

Ilustrasi menenangkan kecemasan dan stres di tepi laut
Ilustrasi manusia yang berusaha menemukan ketenangan di tengah gelombang kehidupan, melambangkan keseimbangan antara tubuh dan jiwa.

Surau.co. Kecemasan dan stres sering hadir dalam kehidupan manusia modern. Sejak bangun pagi hingga malam menjelang tidur, gelombang pikiran datang silih berganti: tentang pekerjaan, keluarga, keuangan, hingga masa depan. Fenomena ini tidak hanya dialami orang kota dengan ritme hidup cepat, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang tinggal di desa. Menariknya, Abu Zayd al-Balkhi—seorang ulama sekaligus ilmuwan Muslim abad ke-9—dalam karyanya Masālih al-Abdan wa al-Anfus, sudah menekankan bahwa kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan raga. Pemikiran beliau terasa semakin relevan dengan kondisi kita hari ini.

Menghubungkan Pikiran dan Tubuh

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang dengan tubuh sehat tetapi wajahnya muram, tidur tidak nyenyak, atau mudah marah. Sebaliknya, ada pula orang yang tubuhnya sakit namun tetap ceria dan tabah. Al-Balkhi menyadari keterkaitan erat antara tubuh dan jiwa. Ia menulis:

“وَصِحَّةُ الْأَبْدَانِ لَا تَسْتَقِيمُ مَعَ سُقْمِ النُّفُوسِ، كَمَا أَنَّ صِحَّةَ النُّفُوسِ تَضْطَرِبُ بِسُقْمِ الْأَبْدَانِ.”
“Kesehatan tubuh tidak akan sempurna tanpa kesehatan jiwa, sebagaimana kesehatan jiwa akan terganggu karena sakitnya tubuh.”

Pesan ini memberi pelajaran sederhana: menjaga pikiran berarti juga menjaga tubuh. Selain itu, banyak riset modern menunjukkan bahwa stres kronis dapat memicu penyakit jantung, tekanan darah tinggi, hingga gangguan pencernaan. Dengan kata lain, apa yang ditulis al-Balkhi lebih dari seribu tahun lalu ternyata sejalan dengan temuan medis mutakhir.

Kecemasan Sehari-hari: Gelombang yang Bisa Ditenangkan

Siapa yang tidak pernah merasa cemas? Seorang ayah bisa khawatir tidak mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Seorang mahasiswa sering gelisah menghadapi ujian. Bahkan pedagang di pasar pun mungkin dilanda takut ketika dagangannya tidak laku. Al-Balkhi menyebut kecemasan sebagai sesuatu yang wajar, tetapi harus dikelola agar tidak melumpuhkan. Ia menulis:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“إِنَّ الْهُمُومَ إِذَا اسْتَوْلَتْ عَلَى الْقَلْبِ أَضْعَفَتِ الْعَقْلَ، وَإِذَا ضَعُفَ الْعَقْلُ سَاءَ التَّدْبِيرُ.”
“Ketika kecemasan menguasai hati, ia melemahkan akal; ketika akal melemah, pengelolaan hidup pun menjadi buruk.”

Dengan demikian, kita belajar bahwa kecemasan menyerupai gelombang pikiran. Jika dibiarkan menguasai, ia akan menyeret kita ke pusaran yang lebih dalam. Namun, bila dikenali dan ditenangkan, ia justru bisa menjadi energi positif untuk lebih berhati-hati dan terencana.

Menyikapi Stres dengan Kesabaran

Dalam ajaran Islam, kesabaran menjadi kunci utama menghadapi berbagai ujian. Al-Qur’an menegaskan:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (QS. Al-Baqarah: 155–156)
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.”

Ayat ini bukan hanya seruan teologis, melainkan juga pedoman psikologis. Dengan keyakinan bahwa semua kembali kepada Allah, hati menjadi lebih tenang. Selaras dengan itu, al-Balkhi menekankan latihan pikiran dengan cara mengarahkan fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, bukan pada yang berada di luar kendali.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“مِنْ حِكْمَةِ الْعَاقِلِ أَنْ يَشْغَلَ نَفْسَهُ بِمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ، وَيَدَعَ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ فَيَسْلَمَ قَلْبُهُ.”
“Kebijaksanaan orang berakal adalah menyibukkan dirinya dengan hal yang ia mampu kendalikan, dan meninggalkan yang di luar kendalinya, maka hatinya menjadi selamat.”

Praktik Tenang dalam Kehidupan Modern

Pertanyaannya, bagaimana menerapkan nasihat klasik ini di era sekarang? Ada beberapa cara sederhana yang bisa kita lakukan:

  1. Mengatur pernapasan. Saat gelisah, tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan. Dengan cara ini, saraf menjadi lebih tenang.

  2. Menyusun prioritas. Tidak semua masalah harus selesai sekaligus. Oleh karena itu, fokuslah pada yang paling mendesak.

  3. Menjaga ibadah. Shalat lima waktu bukan hanya kewajiban, melainkan juga jeda batin untuk menenangkan hati.

    Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

  4. Bersosialisasi. Jangan memendam perasaan sendiri. Bicara dengan keluarga atau sahabat akan meringankan beban.

Sejalan dengan itu, al-Balkhi menulis:

“إِنَّ النَّفْسَ إِذَا حُمِلَتْ فَوْقَ طَاقَتِهَا اضْطَرَبَتْ، وَإِذَا أُرِيحَتْ اعْتَدَلَتْ.”
“Sesungguhnya jiwa bila dipaksa melebihi kemampuannya akan kacau, dan bila diberi istirahat, ia akan seimbang kembali.”

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa istirahat bukan tanda kemalasan, melainkan kebutuhan mendasar. Faktanya, banyak orang jatuh sakit bukan karena bekerja terlalu keras, tetapi karena lupa berhenti sejenak.

Refleksi: Menemukan Ketenangan dalam Gelombang

Hidup tidak akan pernah lepas dari kecemasan dan stres. Seperti gelombang di laut, keduanya datang silih berganti. Akan tetapi, al-Balkhi mengajarkan agar kita belajar berenang, bukan sekadar pasrah tenggelam. Gelombang bisa ditenangkan melalui pikiran jernih, doa, dan tindakan yang proporsional.

Ketika manusia mampu menyeimbangkan raga dan jiwa, ia tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga matang secara batin. Dengan begitu, kecemasan berubah dari musuh menjadi guru yang mengajarkan kewaspadaan sekaligus kesabaran.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungaung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement