Khazanah
Beranda » Berita » Amarah Adalah Api, Jiwa Adalah Air

Amarah Adalah Api, Jiwa Adalah Air

Mengendalikan amarah dengan kesabaran seperti air memadamkan api.
Ilustrasi realis tentang manusia yang mengendalikan amarahnya dengan kekuatan jiwa yang tenang.

Surau.co. Amarah adalah api yang menyala dalam dada, menghanguskan kejernihan pikiran dan ketenangan hati. Namun, sebagaimana diajarkan dalam Masālih al-Abdan wa al-Anfus, jiwa memiliki daya untuk menjadi air: menenangkan, memadamkan, dan membawa kesegaran kembali. Dalam kitab berharga itu, Abu Zayd al-Balkhi menggambarkan bagaimana kesehatan fisik dan kesehatan jiwa harus berjalan beriringan. Tanpa keseimbangan keduanya, manusia akan terjebak dalam pusaran api emosi yang membakar sekaligus mengikis.

Amarah dalam Kehidupan Sehari-Hari

Kita semua mengenal rasa marah. Misalnya, saat macet di jalan, ketika ucapan orang lain melukai hati, atau ketika ekspektasi tidak sesuai kenyataan. Amarah datang tanpa diundang, seperti bara yang tiba-tiba tersulut angin. Akan tetapi, sebagaimana air bisa mengubah bara menjadi abu yang tenang, demikian pula jiwa yang jernih mampu mengendalikan amarah.

Lebih lanjut, al-Balkhi mengingatkan bahwa amarah bukan sekadar gejolak emosi, melainkan juga ancaman bagi kesehatan tubuh. Ia menulis:

“الغَضَبُ نَارٌ تُؤْذِي الْبَدَنَ وَتُعْمِي الْعَقْلَ”
“Amarah adalah api yang merusak tubuh dan membutakan akal.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa marah tidak hanya urusan hati, tetapi juga memengaruhi kondisi fisik. Tubuh gemetar, jantung berdebar, dan pikiran kabur.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Jiwa Sebagai Air yang Menenangkan

Jika amarah menyerupai api, maka jiwa menyerupai air. Jiwa yang terlatih dengan kesabaran, zikrullah, dan kesadaran diri dapat mengalirkan ketenangan. Dalam kitabnya, al-Balkhi menulis:

“النَّفْسُ إِذَا رُوِّضَتْ بِالصَّبْرِ، أَصْبَحَتْ مِثْلَ الْمَاءِ يُطْفِئُ النَّارَ”
“Jiwa yang dilatih dengan sabar, ia menjadi seperti air yang memadamkan api.”

Metafora ini begitu indah. Sabar bukan hanya menahan diri secara pasif, melainkan kekuatan aktif yang mampu mengubah potensi kehancuran menjadi ketenangan yang menyehatkan.

Kesehatan Tubuh dan Jiwa yang Saling Terhubung

Al-Balkhi, sebagai salah satu cendekiawan Muslim awal, menegaskan keterhubungan erat antara tubuh dan jiwa. Menurutnya, penyakit hati—seperti amarah, kesedihan, atau ketakutan—bisa melemahkan tubuh. Sebaliknya, tubuh yang sakit juga mudah mengganggu kejernihan jiwa.

Al-Qur’an sendiri menekankan pentingnya mengendalikan amarah:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (QS. Āli ʿImrān: 134)
“Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain; Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa menahan amarah bukan kelemahan, melainkan jalan menuju cinta Allah.

Menemukan Jalan Keluar dari Api Amarah

Dalam kehidupan modern, kita kerap terjebak dalam tekanan: pekerjaan, media sosial, atau konflik keluarga. Amarah bisa muncul kapan saja. Namun, Masālih al-Abdan wa al-Anfus mengajarkan kita untuk mengelola emosi, bukan sekadar menekannya secara buta.

Al-Balkhi menulis:

“مَنْ عَلَّمَ نَفْسَهُ الْحِلْمَ، نَجَا مِنْ مَضَرَّاتِ الْغَضَبِ”
“Siapa yang melatih dirinya dengan kelembutan, ia akan selamat dari bahaya amarah.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Karena itu, latihan jiwa menjadi kunci. Praktiknya bisa berupa zikir, tafakur, atau sekadar mengambil jeda untuk menarik napas dalam. Dengan begitu, air jiwa mampu menenangkan api amarah.

Hikmah Mengubah Api Menjadi Cahaya

Meskipun berbahaya, amarah tidak selalu membawa keburukan. Api bisa membakar, tetapi api juga bisa memberi cahaya. Kuncinya terletak pada kendali diri. Al-Balkhi menekankan bahwa amarah harus diarahkan, bukan dilepaskan tanpa kendali.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:

“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ” (HR. Bukhari & Muslim)
“Bukanlah orang kuat itu yang pandai bergulat, melainkan orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”

Dengan kata lain, kekuatan sejati lahir bukan dari ledakan emosi, tetapi dari kelembutan yang mampu mengubah api menjadi cahaya.

Refleksi untuk Kehidupan Kita

Melalui Masālih al-Abdan wa al-Anfus, kita belajar bahwa amarah merupakan bagian alami dari diri manusia. Namun, kita bisa menjinakkannya dengan latihan jiwa, kesabaran, dan kesadaran. Jika api amarah dipadamkan oleh air jiwa, tubuh tetap sehat, pikiran jernih, dan hati tenang.

Sebagaimana al-Balkhi menulis:

“مَنْ أَطْفَأَ نَارَ الْغَضَبِ بِمَاءِ الصَّبْرِ، عَاشَ فِي نُورِ السَّكِينَةِ”
“Siapa yang memadamkan api amarah dengan air kesabaran, ia akan hidup dalam cahaya ketenangan.”

Pesan ini tidak berhenti pada ranah teori. Ia menuntut praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, setiap kali kita tergoda oleh api amarah, mari hadirkan air jiwa agar hidup tetap seimbang, sehat, dan bercahaya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement