SURAU.CO. Pernahkah kita bertanya, mengapa peradaban Islam pernah begitu gemilang hingga dunia tak henti menyebut nama-nama seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, atau Al-Biruni? Rahasianya sederhana, karena umat Islam dulu memegang ilmu sebagai pelita hidup. Mereka membaca alam, menggali hikmah wahyu, dan meneliti diri manusia tanpa lelah. Dari semangat itulah lahir sains, filsafat, dan kebijaksanaan yang tidak hanya menyejahterakan dunia, tetapi juga mengokohkan iman.
Ilmu menjadi cahaya yang membedakan antara gelap dan terang, antara peradaban yang maju dan umat yang terpuruk. Ketika cahaya ilmu menyala, Islam berdiri sebagai mercusuar dunia. Namun ketika cahaya itu meredup, umat terjebak dalam bayang-bayang kemunduran. Karena itu, menghidupkan kembali tradisi ilmu bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar umat Islam kembali menemukan jati dirinya sebagai khalifah di bumi.
Mengapa Ilmu Jadi Kunci Utama?
Dalam sejarah Islam, ilmu bukan sekadar pelengkap hidup, melainkan jantung peradaban. Sejak awal penciptaan manusia, Allah menegaskan posisi ilmu sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Nabi Adam alaihis-salam diberi kemampuan mengenali dan menamai segala sesuatu (asmâa kullahâ), sehingga malaikat pun diperintahkan bersujud kepadanya. Inilah simbol betapa ilmu menjadi syarat utama manusia untuk menjalankan peran sebagai khalifah di muka bumi.
Al-Qur’an juga berulang kali menekankan keutamaan ilmu. Kata ‘ilm dan turunannya muncul ratusan kali dalam Al-Qur’an menandakan betapa pentingnya pengetahuan dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan, Allah menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang-orang beriman yang berilmu.
Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah : 11).
Maka tidak heran jika sejak dulu, peradaban Islam mampu melahirkan ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Biruni, hingga Ibnu Khaldun. Namun, seiring waktu, kerancuan dalam memahami ilmu menjadi penyebab kemunduran dunia Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut kondisi ini sebagai corruption of knowledge, yaitu ketika ilmu kehilangan orientasi dan tidak lagi dipandu oleh nilai ilahiah.
Akibatnya, umat Islam tertinggal dalam bidang politik, ekonomi, sosial, hingga budaya. Di sinilah pentingnya kembali menggali makna dan hakikat ilmu menurut Islam. Bukan sekadar untuk nostalgia masa lalu, tapi agar kita bisa merumuskan strategi kebangkitan peradaban hari ini.
Ilmu Lebih dari Sekadar Pengetahuan
Secara bahasa, kata ‘ilm berarti tanda, petunjuk, atau sesuatu yang membuat kita mengenali sesuatu dengan jelas. Maka ilmu selalu terkait dengan kejelasan, bukan keraguan. Dalam pandangan para ulama klasik, mendefinisikan ilmu tidak semudah mendefinisikan “kursi” atau “meja”. Ilmu punya dimensi yang luas, bahkan tak terbatas.
Al-Baqillani, seorang ulama abad pertengahan, mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Definisi ini menegaskan bahwa ilmu berbeda dengan opini (ra’y). Dimana opini sering kali subjektif, sementara ilmu menuntut objektivitas.
Abu Bakr bin Furak memberi makna yang lebih praktis. Menurutnya, ilmu adalah sesuatu yang membuat pemiliknya mampu bertindak dengan benar. Artinya, ilmu sejati bukan sekadar mengisi kepala, tetapi membimbing tindakan. Senada dengan itu, al-Amidi menyebut ilmu sebagai sifat yang membuat jiwa bisa membedakan realitas dengan jelas, sehingga menenangkan pemiliknya.
Di era modern, al-Attas menekankan bahwa ilmu selalu bersumber dari Allah. Ia bisa hadir sebagai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung dari Allah, tanpa usaha manusia, seperti yang dikisahkan dalam Q.S. al-Kahfi : 65. Atau dapat juga berupa ilmu kasbi yang merupakan hasil usaha manusia melalui pengamatan, akal, dan pembelajaran.
Meski ada keduanya, Al-Qur’an lebih banyak menekankan pentingnya ilmu kasbi. Ini merupakan pesan tersirat bahwa Islam mengajak umatnya aktif mencari pengetahuan, bukan pasif menunggu ilham.
Ilmu dalam Islam vs. Ilmu dalam Barat
Menariknya, pemikiran Islam klasik tentang ilmu hampir mirip dengan konsep sains dalam tradisi Barat. Pada abad ke-19, sains didefinisikan sebagai any organized knowledge atau pengetahuan yang terstruktur. Namun kemudian, sains Barat menyempitkan definisi itu, sehingga yang dapat dianggap ilmiah hanya pengetahuan yang bisa diobservasi atau diamati secara fisik. Maka, filsafat, teologi, dan hal-hal metafisika tidak termasuk kategori ilmu.
Berbeda dengan itu, Islam menolak membatasi ilmu hanya pada yang fisikal atau hal-hal yang kasat mata. Dalam epistemologi Islam, ilmu mencakup tiga ranah. Pertama, ilmu empiris yang merupakan hasil pengamatan indrawi. Pengamatan empiris melahirkan sains alam. Kedua, olah nalar atau ilmu rasional yang mendasari pemikiran logis, seperti filsafat. Dan ketiga, ilmu wahyu atau intuisi yang menjadi fondasi ilmu-ilmu agama, hasil dari teks suci atau ilham ruhani.
Ketiganya berdiri dalam kesatuan yang harmonis, bukan saling menegasikan, tetapi saling melengkapi. Sains tidak berhak menyingkirkan agama, filsafat tidak boleh meremehkan wahyu, dan agama pun tidak boleh menutup pintu bagi temuan rasional maupun empiris. Semua ranah ini merupakan satu kesatuan utuh, karena hakikat ilmu dalam Islam bersumber dari Allah sebagai asal segala kebenaran.
Tiga Sumber Ilmu dalam Islam
Dalam perspektif Islam, ilmu bersumber dari tiga ayat Allah. Masing-masingnya harus memberikan penerangan akan ilmu bagi mereka yang berfikir.
1. Ayat Qauliyyah (Wahyu Allah)
Ayat qauliyyah adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai firman Allah, kedudukannya paling tinggi. Namun, bagaimana kita memandang Al-Qur’an sebagai sumber ilmu sering jadi perdebatan. Ada yang meyakini Al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu, bahkan detail ilmiah modern. Ada pula yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, bukan ensiklopedia sains.
Quraish Shihab memberi pandangan moderat ,bahwa Al-Qur’an memang bukan buku fisika atau biologi, tetapi ia tidak pernah menghalangi kemajuan ilmu. Justru semangat ayat-ayatnya mendorong manusia untuk meneliti, bereksperimen, dan menggali lebih dalam rahasia ciptaan Allah. Maka, hubungan Al-Qur’an dan ilmu harus dilihat dalam bingkai dorongan spiritual, bukan sekadar isi tekstual.
2. Ayat Kauniyyah (Alam Semesta)
Alam adalah laboratorium raksasa yang Allah siapkan bagi manusia. Fenomena siang-malam, gunung, laut, bintang, bahkan diri kita sendiri, semua adalah tanda-tanda kebesaran-Nya. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan kita untuk memperhatikan ciptaan-Nya.
Allah berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran : 190-191)
Kemudian dalam surat lain, Allah berfirman, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Langit, bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Q.S. al-Ghasyiyah :17-20).
Dari sinilah lahir sains modern, berupa fisika, biologi, astronomi, kimia, dan sebagainya. Menyelidiki hukum alam sejatinya adalah bentuk ibadah, sebab semakin dalam kita meneliti, semakin jelas kita melihat jejak Sang Pencipta.
3. Ayat Insâniyyah (Diri Manusia)
Manusia sendiri adalah sumber ilmu. Psikologi, sejarah, sosiologi, hukum, politik, semua lahir dari kajian tentang manusia. Dalam tasawuf, manusia bahkan disebut sebagai mikrokosmos, cermin dari seluruh alam semesta.
Ibnu Arabi menekankan konsep insan kamil (manusia paripurna) sebagai tujuan akhir penciptaan. Jalaluddin Rumi menganalogikan manusia sebagai buah pohon, lahir terakhir, tetapi menjadi tujuan utama. Dengan potensi akal, hati, dan ruh, manusia bisa menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus hamba yang tunduk kepada-Nya.
Ilmu sebagai Jalan Cahaya
Jika semua konsep ini begitu indah, mengapa umat Islam justru tertinggal? Salah satu jawabannya adalah fragmentasi ilmu. Kita sering terjebak pada dikotomi, ilmu agama vs. ilmu dunia. Akibatnya, lahir generasi yang hanya kuat di satu sisi. Padahal, tradisi keilmuan Islam klasik selalu menyatukan keduanya.
Contoh nyata bisa kita lihat pada tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, yang sekaligus ulama, dokter, dan filsuf. Atau Al-Biruni yang ahli dalam astronomi sekaligus mendalami fikih. Mereka tidak melihat sekat antara ilmu dunia dan akhirat. Semua ilmu, pada akhirnya, bermuara pada pengenalan kepada Allah.
Di era modern, integrasi ini sangat mendesak. Bayangkan jika para ilmuwan Muslim hari ini menggali teknologi berbasis nilai Qur’ani, atau para ahli agama serius mempelajari sains untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Umat Islam bisa kembali menjadi mercusuar peradaban, seperti di masa keemasan Baghdad, Kairo, atau Andalusia.
Ilmu dalam Islam bukan sekadar alat mencari nafkah atau mengejar status sosial. Ia adalah jalan cahaya menuju Allah, pembeda antara kebenaran dan kebatilan, serta pilar kebangkitan peradaban.
Dengan memahami bahwa ilmu bersumber dari wahyu, alam, dan manusia, kita akan melihat kehidupan ini lebih utuh. Tidak ada lagi dikotomi, tidak ada lagi keraguan, sebab semua ilmu sejatinya adalah tanda-tanda dari Sang Maha Mengetahui.
Tugas kita hari ini bukan hanya menghafal teori, tetapi menghidupkan kembali tradisi ilmiah Islam yang integratif, objektif, dan berorientasi pada kebenaran hakiki. Seperti pesan Nabi ﷺ: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
Maka, mari kita jadikan ilmu sebagai bekal perjalanan, cahaya penuntun, dan senjata peradaban. Karena dengan ilmu, kita tidak hanya bisa memahami dunia, tapi juga mengenal Sang Pencipta dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
