SURAU.CO – وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ ,وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي, أَرْحَامِهِنَّ, إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
Di sebuah kampung, seorang tukang bangunan yang telah lama bekerja pada sebuah proyek rumah dipanggil oleh pemiliknya. Hubungan mereka yang awalnya harmonis berubah tegang karena kesalahpahaman. Akhirnya, kontrak kerja pun diputus. Tukang itu menerima haknya, tetapi di hatinya tersimpan luka dan dendam. Ia tahu rahasia konstruksi rumah itu, letak pipa yang tersembunyi, sambungan yang rawan bocor, dan fondasi yang memiliki celah. Semua hanya dia yang tahu. Namun, ia memilih diam. Ia meninggalkan rumah itu tanpa sepatah kata pun, membiarkan pemilik dan tukang baru kelak terjerumus dalam kesulitan.
Rahim Ialah Simbol Kehidupan
Beberapa waktu kemudian, benar saja, tukang baru yang melanjutkan pekerjaan kebingungan. Air menggenang, saluran mampet, dan fondasi mulai bermasalah. Pemilik rumah tidak tahu dari mana datangnya kerusakan itu. Semua karena tukang pertama sengaja menyembunyikan apa yang ada dalam “rahimnya” yakni pengetahuan dan pengalaman yang Allah titipkan padanya.
Inilah cerminan nyata dari firman Allah:
> “Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang Allah ciptakan di dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Rahim dalam Al-Qur’an tidak hanya sebatas rahim seorang ibu yang mengandung janin. Ia adalah simbol kehidupan: wadah bagi ide, ilmu, pengalaman, dan amanah. Seorang murid yang belajar dari gurunya, seorang karyawan yang dididik oleh perusahaan, seorang anak yang menyerap nilai dari orang tuanya—semuanya sedang “hamil” oleh sesuatu. Dari kehamilan itu, akan lahir karya, pemikiran, atau tindakan baru.
Namun sering kali, ketika terjadi perpisahan, baik dalam bentuk perceraian rumah tangga, pemutusan kontrak kerja, ataupun berakhirnya kerjasama, manusia tergoda untuk menyembunyikan isi rahimnya. Ia menutup rapat ilmu, ide, atau kebenaran yang seharusnya diteruskan. Semua demi kepentingan pribadi, atau bahkan sekadar untuk melampiaskan sakit hati.
Kehidupan yang Saling Memberi dan Menerima
Padahal, Allah memperingatkan manusia agar tidak menjadikan rahimnya alat balas dendam. Karena setiap orang pada hakikatnya adalah bagian dari lingkaran kehidupan yang saling memberi dan menerima. Seorang pedagang menurunkan ilmunya kepada pemula, seorang dokter membimbing perawat, seorang pemimpin mengarahkan bawahannya. Hari ini kita bisa menjadi “dzakar”, pemberi, besok bisa menjadi “untsā”, penerima. Tanpa pertukaran ini, peradaban akan berhenti.
Itulah mengapa Allah menegaskan:
> “Allah mengetahui apa yang ada di dalam rahim.”
Bukan sekadar rahim biologis seorang ibu, melainkan rahim kehidupan, isi pikiran, niat, rahasia, dan potensi yang kita simpan. Manusia dengan teknologi bisa menebak jenis kelamin bayi, bahkan mendeteksi penyakit sejak dini. Tetapi tidak ada yang bisa menebak isi rahim sosial: rahasia ilmu yang belum terungkap, niat yang tersembunyi, dan arah kehidupan yang akan lahir.
Narasi ini membawa kita pada kesadaran: hidup adalah serangkaian akad, yang bisa terjalin dan bisa pula putus. Setiap putusnya akad adalah bentuk “thalak”. Pemutusan kontrak kerja, pelepasan jabatan, berakhirnya perjanjian antarnegara, semua adalah thalak. Dalam setiap thalak itu, manusia diuji: apakah ia akan jujur dan terbuka, ataukah ia akan menutup rapat rahimnya demi membalas sakit hati?
Menutup Rahim, Menutup Peradaban
Seorang mukmin sejati, meski dizalimi, tidak akan menyembunyikan rahimnya. Ia tahu bahwa menutup rahim berarti menutup jalan peradaban. Ia sadar bahwa kemenangan sejati bukan pada balas dendam, melainkan pada kesetiaan kepada hukum Allah.
Maka, semboyan orang beriman adalah: “Hasbiyallāh wa ni‘ma al-wakīl” – Cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik pelindung.
Dengan semboyan itu, seseorang mampu meninggalkan tempat kerjanya dengan kepala tegak, meski ia diputus kontrak. Ia mampu melepas hubungan dengan lapang dada, meski hatinya tersakiti. Ia mampu membagikan ilmunya kepada penerus, meski ia tak lagi dihargai. Karena ia tahu, kejujuran dan keterbukaan adalah jalan menuju ridha Allah, bukan sekadar jalan mencari simpati manusia.
Akhirnya, hidup adalah rahim. Apa yang kita tampung di dalamnya akan melahirkan generasi baru, ide baru, dan peradaban baru. Dan Allah mengingatkan, jangan pernah menyembunyikan rahimmu. Karena siapa yang jujur dalam rahimnya, dialah yang akan menang—di dunia maupun di akhirat. (Sopian)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
