Surau.co. Kitāb al-Manāẓir karya Ibn al-Haytham sering dipandang sebagai tonggak dalam sejarah sains. Sejak paragraf pertama ini, kita perlu menekankan bahwa Kitāb al-Manāẓir bukan hanya buku tentang optika, melainkan juga jembatan yang menghubungkan cahaya dengan jiwa manusia. Melalui teori penglihatannya, Ibn al-Haytham berhasil mengkritik Aristoteles dan Ptolemaios sekaligus memperlihatkan bahwa ilmu tidak sekadar teknis, melainkan juga filosofis.
Di balik eksperimen cahaya, terdapat refleksi spiritual: manusia melihat bukan hanya dengan mata, tetapi juga dengan kesadaran. Perspektif ini menjadikan Kitāb al-Manāẓir relevan hingga kini, di era ketika cahaya buatan layar gawai menjadi bagian sehari-hari.
Cahaya dalam Kehidupan Sehari-hari
Kita mungkin jarang memikirkan bagaimana proses melihat terjadi. Namun, setiap kali menyalakan lampu saat gelap atau membuka tirai di pagi hari, kita sedang mengalami perjumpaan dengan cahaya. Tanpa cahaya, dunia hanyalah ruang kosong yang gelap. Ibn al-Haytham melihat hal ini sebagai titik tolak dalam menjelaskan realitas.
Ia menegaskan:
“إِنَّ الْإِبْصَارَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِالنُّورِ”
“Sesungguhnya penglihatan tidak terwujud kecuali dengan cahaya.”
Kutipan ini terasa sederhana, tetapi jika direnungkan, cahaya adalah syarat eksistensial bagi manusia. Tidak hanya secara fisik, melainkan juga secara batiniah. Bukankah Al-Qur’an menyebut:
“اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ”
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nūr: 35)
Ayat ini memberi makna bahwa cahaya bukan sekadar energi, tetapi juga simbol kehadiran Ilahi dalam kehidupan.
Menolak Teori Emisi dan Merumuskan Perspektif Baru
Sebelum Ibn al-Haytham, Ptolemaios beranggapan bahwa mata memancarkan sinar untuk menangkap objek. Teori ini tampak logis pada zamannya, tetapi meninggalkan pertanyaan besar: jika mata memancarkan sinar, mengapa kita tidak melihat dalam gelap?
Ibn al-Haytham menjawab dengan eksperimen. Ia menggunakan ruangan gelap dengan lubang kecil—yang kemudian dikenal sebagai camera obscura. Dari situ ia membuktikan bahwa cahaya dari objek luar masuk ke mata. Ia menulis:
“إِنَّ أَشْعَةَ الْأَجْسَامِ تَدْخُلُ الْعَيْنَ وَتُدْرِكُهَا النَّفْسُ”
“Sesungguhnya sinar dari benda masuk ke dalam mata dan disadari oleh jiwa.”
Kritik ini bukan hanya bantahan, melainkan juga tawaran paradigma baru: penglihatan adalah interaksi antara dunia luar dan kesadaran batin.
Fisika Cahaya dan Filosofi Jiwa
Di dalam Kitāb al-Manāẓir, Ibn al-Haytham membahas anatomi mata, jalannya cahaya, hingga terbentuknya bayangan di retina. Namun ia tidak berhenti di level fisika. Ia menyadari bahwa mata hanyalah pintu, sedangkan penglihatan sejati terjadi ketika jiwa menafsirkan cahaya itu.
Ia berkata:
“إِنَّ الْعَقْلَ هُوَ الَّذِي يُفَسِّرُ مَا تَقْبَلُهُ الْعَيْنُ”
“Sesungguhnya akal-lah yang menafsirkan apa yang diterima oleh mata.”
Pernyataan ini menunjukkan pandangan filosofis: manusia melihat bukan hanya dengan organ, tetapi juga dengan kesadaran. Inilah titik temu antara optika dan filsafat, antara cahaya fisik dan cahaya jiwa.
Inspirasi Spiritualitas dalam Sains
Menariknya, pemikiran Ibn al-Haytham sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya ilmu. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ”
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibn Mājah)
Hadis ini memberi dasar bahwa ilmu, termasuk penelitian cahaya, adalah bagian dari ibadah. Ibn al-Haytham mencontohkan bagaimana semangat spiritual melahirkan metode ilmiah. Ia tidak puas hanya dengan spekulasi Aristoteles atau Ptolemaios, melainkan melakukan pengujian nyata.
Relevansi di Era Modern
Di zaman modern, cahaya bukan hanya datang dari matahari atau lampu, melainkan juga dari layar ponsel, komputer, dan televisi. Cahaya telah menjadi perpanjangan hidup manusia sehari-hari. Namun, apakah kita hanya “melihat” atau juga “menyadari”?
Refleksi Ibn al-Haytham mengingatkan bahwa penglihatan sejati tidak berhenti pada visual. Ia harus berlanjut pada kesadaran. Jika tidak, cahaya layar justru bisa menutup cahaya batin. Dengan kata lain, warisan Kitāb al-Manāẓir mengajak kita menghubungkan cahaya fisik dengan cahaya jiwa.
Kitāb al-Manāẓir Cahaya sebagai Jalan Ilmu dan Kehidupan
Ibn al-Haytham menunjukkan bahwa cahaya bukan hanya soal optika, tetapi juga jalan menuju kesadaran. Dengan menolak teori lama dan membangun penjelasan baru, ia menghadirkan paradigma ilmiah yang menghubungkan realitas dengan spiritualitas.
Dalam Surah Al-An‘ām (6:122), Allah SWT berfirman:
“أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ”
“Apakah orang yang sebelumnya mati lalu Kami hidupkan, dan Kami berikan cahaya untuk berjalan di tengah manusia…”
Ayat ini mengingatkan bahwa cahaya bukan hanya penerang fisik, melainkan juga jalan hidup. Ibn al-Haytham, dengan Kitāb al-Manāẓir, memperlihatkan bahwa ilmu dapat menjadi cahaya bagi jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
