Surau.co. Metodologi Ibn al-Haytham dalam mencari kebenaran merupakan salah satu warisan intelektual paling berharga dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui Kitāb al-Manāẓir, ia tidak sekadar menyinggung cahaya dan penglihatan, tetapi juga menunjukkan bagaimana manusia seharusnya menempuh jalan ilmu: dengan kesabaran, eksperimen, dan sikap kritis. Hingga kini, pandangan itu tetap relevan, terutama di tengah derasnya informasi modern yang kerap menyesatkan.
Kebenaran Sebagai Jalan Hidup
Setiap orang pasti pernah mengalami kebingungan: percaya begitu saja atau mempertanyakan ulang sebuah informasi. Ibn al-Haytham menawarkan jalan tengah. Ia menasihati agar manusia tidak gegabah menerima, tetapi juga tidak ceroboh menolak. Dalam Kitāb al-Manāẓir ia menulis:
«وَيَجِبُ عَلَى النَّاظِرِ فِي كُتُبِ الْعِلْمِ أَنْ يَجْعَلَ نَفْسَهُ لِعِلْمِهِ خَصْمًا، فَيُحَاسِبَهُ فِي جَمِيعِ مَا يَسْتَخْرِجُهُ»
“Seorang pencari ilmu wajib menempatkan dirinya sebagai lawan bagi ilmunya; ia harus mengoreksi setiap hasil yang ditemuinya.”
Dengan kata lain, ia mengajak kita menimbang ulang setiap pengetahuan. Ketika membaca berita, misalnya, jangan langsung percaya. Pertama, teliti sumbernya. Kedua, timbang dengan akal sehat. Ketiga, buktikan dengan data. Sikap kritis seperti ini bukanlah keraguan destruktif, melainkan jalan menuju keyakinan kokoh.
Eksperimen Sebagai Jembatan Menuju Keyakinan
Dalam dunia modern, eksperimen menjadi ruh sains. Jauh sebelum itu, Ibn al-Haytham sudah menekankan pentingnya verifikasi empiris. Ia menolak logika kosong yang tidak disertai bukti. Ia menulis:
«إِنَّا نَلْتَمِسُ فِي الْأُمُورِ الطَّبِيعِيَّةِ الْبُرْهَانَ مِنَ التَّجْرِبَةِ وَالْعِيَانِ لَا مِنَ الْقَوْلِ وَالظَّنِّ»
“Dalam perkara alamiah, kita mencari kepastian melalui pengalaman dan pengamatan, bukan sekadar ucapan atau dugaan.”
Prinsip ini terasa sangat relevan. Saat media sosial penuh opini, Ibn al-Haytham menegur: kebenaran harus diuji, bukan hanya diulang. Dengan kata lain, data lebih penting daripada sekadar wacana.
Filsafat Sebagai Penuntun Jalan
Meskipun mengutamakan eksperimen, Ibn al-Haytham tetap menghargai filsafat. Menurutnya, filsafat memberi kerangka, sedangkan eksperimen memberikan bukti. Seperti pejalan yang membawa peta sekaligus melangkahkan kaki, ia menyeimbangkan akal dan pengalaman.
Al-Qur’an pun menegaskan hal ini. Allah berfirman:
﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا﴾ (QS. Al-Isrā’: 36)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Ayat ini memperkuat metode Ibn al-Haytham: berpikir kritis bukan hanya kewajiban intelektual, melainkan juga amanah spiritual.
Kerendahan Hati di Tengah Pencarian
Ciri menonjol dari metodologi Ibn al-Haytham ialah kerendahan hati. Ia tidak mengklaim bahwa pengetahuannya sempurna. Sebaliknya, ia mendorong pembaca untuk mengkritisi tulisannya. Dalam Kitāb al-Manāẓir ia berkata:
«إِذَا وَجَدَ الْقَارِئُ فِي كَلَامِنَا خَطَأً، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَّا، وَنَحْنُ نَقْبَلُ التَّصْحِيحَ»
“Jika pembaca menemukan kesalahan dalam tulisan kami, maka ketahuilah itu datang dari kami, dan kami menerima koreksi.”
Sikap rendah hati ini jarang terlihat hari ini. Banyak orang terjebak dalam kesombongan intelektual. Ibn al-Haytham justru menegaskan: kebenaran adalah proses kolektif, bukan milik tunggal seorang individu.
Relevansi Metodologi Ibn al-Haytham Bagi Dunia Modern
Metodologi Ibn al-Haytham sangat relevan bagi masyarakat digital. Kita dibanjiri data, opini, dan klaim setiap hari. Tanpa sikap kritis, kita mudah terjebak dalam kabar bohong.
Lebih jauh, ia mengajarkan keseimbangan. Ilmu bukan hanya soal angka dan rumus, tetapi juga refleksi dan etika. Sains, menurutnya, bukan tujuan akhir. Ia hanyalah jalan untuk memahami ciptaan Allah.
Nabi Muhammad ﷺ menegaskan pentingnya jalan ilmu:
«مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ» (HR. Muslim)
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
Hadis ini menyempurnakan ajaran Ibn al-Haytham: mencari kebenaran lewat ilmu adalah bagian dari ibadah.
Penutup: Kebenaran Sebagai Proses, Bukan Hasil Instan
Metodologi Ibn al-Haytham mengajarkan bahwa ilmu adalah perjalanan, bukan tumpukan fakta. Kebenaran lahir dari filsafat, eksperimen, kerendahan hati, dan spiritualitas.
Di tengah arus informasi yang deras, teladan Ibn al-Haytham tetap hidup. Ia mengajak kita berpikir kritis, membuktikan lewat eksperimen, bersikap rendah hati, dan selalu mengaitkan ilmu dengan nilai ilahiah. Kebenaran, pada akhirnya, bukan hadiah instan, melainkan jalan panjang yang harus ditempuh dengan kesungguhan.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
