Ibadah
Beranda » Berita » Puasa Ramadan: Rukun dan Syarat Sah Puasa dalam Safinatun Najah

Puasa Ramadan: Rukun dan Syarat Sah Puasa dalam Safinatun Najah

: Ilustrasi rukun dan syarat sah puasa Ramadhan menurut Safinatun Najah.
Gambar menampilkan seorang muslim yang duduk dengan tangan terangkat berdoa menjelang sahur, cahaya fajar lembut menyinari wajahnya. Di sisi lain tampak gelas air dan kurma yang belum disentuh, melambangkan menahan diri dari pembatal. Nuansa spiritual digambarkan dengan cahaya hangat yang menyelimuti.

Puasa Ramadan adalah ibadah agung yang menuntun manusia pada derajat takwa. Dalam kitab Safinatun Najah, salah satu matan fikih ringkas yang banyak dipelajari di pesantren, para ulama menjelaskan rukun dan syarat sah puasa yang harus dipahami setiap muslim. Pemahaman ini penting, karena ibadah tidak hanya menuntut semangat menahan lapar dan haus, tetapi juga menuntut kesesuaian dengan aturan syariat.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, Allah mewajibkan puasa kepada kalian sebagaimana Dia mewajibkan puasa kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah menurunkan kewajiban puasa sebagai jalan menuju takwa, bukan sekadar menahan lapar. Maka, mari kita telaah rukun dan syarat sah puasa menurut Safinatun Najah, meliputi niat, menahan diri dari pembatal, dan syarat wajib.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Niat sebagai Fondasi Ibadah

Safinatun Najah menyebutkan niat sebagai salah satu rukun sah puasa. Tanpa niat, seseorang tidak dapat menilai puasanya sebagai ibadah, karena niatlah yang membedakan perbuatan biasa dengan ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Waktu Berniat

Madzhab Syafi’i yang menjadi pijakan Safinatun Najah mewajibkan setiap muslim berniat puasa Ramadan pada malam hari sebelum fajar. Seorang muslim dapat mengucapkan niat dengan lisan atau menghadirkannya dalam hati.

Lafaz niat yang umum dibaca:

Kitab Taisirul Khallaq

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

“Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban Ramadan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

Makna Penting Niat

Niat meneguhkan kesadaran. Dengan niat, seorang muslim tidak sekadar berhenti makan, tetapi memasuki ruang ibadah. Niat pula yang menyalakan kesungguhan spiritual bahwa kita sedang berikhtiar menuju ridha Allah.

Menahan Diri dari Hal yang Membatalkan

Rukun kedua dalam Safinatun Najah menuntut setiap muslim menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Penahanan ini meliputi aspek fisik, mental, dan spiritual. Beberapa hal pokok yang membatalkan puasa antara lain:

Ketika seseorang sengaja melakukan salah satu hal tersebut, ia membatalkan puasanya dan harus mengganti (qadha). Dalam kasus tertentu, ia juga wajib membayar denda (kafarat).

Syarat Wajib Puasa

Selain rukun, Safinatun Najah menjelaskan syarat-syarat wajib puasa yang menentukan siapa saja yang harus menunaikannya.

Islam
Allah hanya mewajibkan puasa kepada orang muslim. Non-muslim tidak menanggung kewajiban ini. Ketika seseorang memeluk Islam, ia mulai menunaikan puasa Ramadan.

Baligh
Anak kecil tidak wajib berpuasa, namun orang tua dianjurkan melatih mereka sejak dini agar terbiasa.

Berakal
Orang gila atau kehilangan akal tidak menanggung kewajiban puasa karena syarat taklif (beban syariat) tidak berlaku baginya.

Mampu (tidak sakit berat atau sangat tua)
Orang yang sakit berat atau sangat tua hingga tidak sanggup berpuasa memperoleh keringanan. Allah berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka ia mengganti pada hari-hari lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Suci dari Haid dan Nifas
Perempuan wajib memastikan dirinya suci dari haid dan nifas sebelum berpuasa. Jika darah haid atau nifas datang, puasanya tidak sah dan ia harus menggantinya setelah suci.

Menghayati Hikmah di Balik Rukun dan Syarat

Dengan memahami rukun dan syarat sah puasa, seorang muslim tidak hanya melaksanakan ibadah dengan benar, tetapi juga memetik hikmahnya. Niat menguatkan kesadaran, menahan diri melatih kendali hawa nafsu, sementara syarat wajib menegaskan siapa yang menanggung tanggung jawab syariat.

Puasa yang dijalankan dengan kesungguhan melahirkan jiwa yang tenang, hati yang lembut, serta kepedulian sosial yang nyata. Puasa bukan hanya menahan diri dari yang membatalkan secara hukum, tetapi juga menahan lisan, telinga, dan hati dari maksiat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan bahwa hakikat puasa adalah pengendalian diri secara total. Bukan hanya perut yang kosong, tetapi hati yang penuh kesadaran.

Penutup

Safinatun Najah mengajarkan bahwa puasa Ramadan tidak hanya berkaitan dengan menahan lapar dan dahaga. Puasa adalah pertemuan antara niat yang tulus, kesungguhan menahan diri dari pembatal, dan pemenuhan syarat sah ibadah.

Ketika seorang muslim memasuki bulan suci dengan niat yang benar, ia sedang membangun jembatan menuju takwa. Ketika ia memenuhi syarat sah puasa, ia memastikan amalnya diterima sebagai persembahan suci.

Mari jadikan puasa sebagai jembatan menuju keikhlasan. Di ujung lapar dan dahaga, Allah menanti dengan limpahan rahmat.

* Gerwin Satria N

Pegiat Literasi Iqra’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement