Bulan Ramadhan selalu hadir sebagai momen istimewa dalam kehidupan umat Islam. Bulan ini tidak hanya menjadi waktu penuh ibadah, tetapi juga berperan sebagai madrasah rohani yang mendidik jiwa. Di antara ibadah utama, Allah mewajibkan puasa Ramadhan. Dalam Safinatun Najah, kitab fikih ringkas yang banyak santri dan jamaah majelis taklim pelajari, para ulama menjelaskan puasa Ramadhan secara jelas, mulai dari kewajiban, hukum, hingga hikmahnya.
Artikel ini mengulas secara mendalam puasa Ramadhan dalam Safinatun Najah, dengan fokus pada tiga hal pokok: kewajiban puasa, hukum puasa, dan hikmah puasa. Dengan memahami ketiganya, kita dapat menunaikan ibadah dengan lebih khusyuk dan merasakan kedalaman maknanya.
Dalil Kewajiban Puasa Ramadhan
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, Allah mewajibkan kalian berpuasa sebagaimana Dia mewajibkan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menjadi landasan utama kewajiban puasa Ramadhan. Dalam Safinatun Najah, para ulama menegaskan puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak boleh seorang muslim tinggalkan. Siapa pun yang meninggalkan puasa tanpa alasan syar’i telah melakukan dosa besar.
Kewajiban Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat berikut:
-
Islam – Allah tidak mewajibkan puasa kepada non-muslim.
-
Baligh – Anak-anak belum terkena kewajiban, meskipun orang tua dianjurkan melatih mereka.
-
Berakal – Orang gila tidak wajib berpuasa.
-
Mampu – Mereka yang sakit berat atau terlalu tua mendapat keringanan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Allah membangun Islam di atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa umat Islam harus menjadikan puasa Ramadhan sebagai pilar utama keimanan. Tanpa puasa, bangunan keimanan seseorang menjadi pincang.
Hukum Puasa Ramadhan
Menurut Safinatun Najah, Allah menetapkan puasa Ramadhan sebagai fardhu ‘ain, yaitu kewajiban individu yang harus setiap muslim laksanakan sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
Namun, syariat Islam penuh kelembutan dan keringanan. Allah memberi dispensasi kepada beberapa golongan untuk tidak berpuasa, seperti:
-
Orang sakit yang berpuasa dapat memperparah sakitnya.
-
Musafir (orang yang sedang bepergian jauh).
-
Perempuan haid dan nifas.
-
Orang tua renta yang tidak lagi kuat berpuasa.
Allah ﷻ menegaskan:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dengan ketentuan ini, Allah menyeimbangkan kewajiban dan kemudahan sehingga hukum puasa Ramadhan menjadi bukti kasih sayang-Nya kepada hamba.
Hikmah Puasa Ramadhan
Melatih Taqwa
Puasa melatih diri untuk bertaqwa. Umat Islam menahan diri dari makan dan minum pada siang hari agar jiwa tunduk kepada Allah. Inilah makna firman Allah “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ” (agar kalian bertakwa).
Menahan Hawa Nafsu
Puasa tidak hanya menahan lapar, tetapi juga mengekang syahwat. Rasulullah ﷺ bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Puasa menjadi perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, orang yang berpuasa menggunakan puasa sebagai benteng dari maksiat dan godaan.
Menumbuhkan Empati Sosial
Orang yang berpuasa merasakan lapar sehingga lebih mudah merasakan penderitaan fakir miskin. Karena itu, Allah mewajibkan zakat fitrah di penghujung Ramadhan untuk menyempurnakan ibadah sekaligus membantu sesama.
Menyehatkan Tubuh
Puasa juga menyehatkan tubuh. Saat berpuasa, tubuh melakukan detoksifikasi, mengatur metabolisme, dan menyeimbangkan fungsi organ. Dengan kata lain, puasa menyehatkan jasmani sekaligus rohani.
Puasa dalam Safinatun Najah: Ibadah yang Menyelamatkan
Kitab Safinatun Najah menyebut puasa sebagai salah satu ibadah pokok yang menyelamatkan manusia di akhirat. Bahkan, para ulama menempatkan puasa pada kedudukan istimewa dibanding ibadah lain.
Hadits qudsi meriwayatkan:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah menerima puasa secara langsung sebagai ibadah murni antara hamba dan-Nya tanpa riya’ atau campur tangan manusia lain.
Safinatun Najah dan Pendidikan Ibadah
Kitab Safinatun Najah tidak hanya menjelaskan hukum-hukum fikih secara teknis, tetapi juga mengarahkan pembaca untuk memahami makna spiritual di balik ibadah. Dalam bab puasa, para ulama menekankan pentingnya niat, kesungguhan, dan pemahaman akan hikmah. Dengan cara ini, Safinatun Najah menempatkan puasa sebagai sarana penyucian hati dan peningkatan derajat takwa, bukan sekadar kewajiban ritual.
Penutup
Puasa Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan perjalanan jiwa menuju Allah. Dalam kitab Safinatun Najah, para ulama menegaskan puasa sebagai kewajiban, menetapkannya dengan ketegasan, dan menjelaskan keringanan penuh kasih. Hikmahnya menembus batas dunia: mendidik hati, membersihkan jiwa, dan mempererat tali persaudaraan.
Semoga kita menjadi hamba yang tidak hanya menunaikan puasa, tetapi juga merasakan hikmahnya hingga Ramadhan benar-benar menjadi madrasah ketakwaan yang mengubah hidup.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqra’ University
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
