Kalam
Beranda » Berita » Hidup Tanpa Topeng: Menyelami Pepatah Becik Ketitik, Olo Ketoro

Hidup Tanpa Topeng: Menyelami Pepatah Becik Ketitik, Olo Ketoro

SURAU.CO. Di tengah pesatnya perkembangan zaman digital, pepatah Jawa “Becik Ketitik, Olo Ketoro” semakin menunjukkan relevansinya. Kita hidup dalam era ketika orang begitu mudah membangun pencitraan, bahkan sering mengaburkan jati diri mereka sendiri. Namun, di balik hiruk-pikuk pencitraan itu, pepatah ini hadir dan menegaskan arti kejujuran.

Pepatah tersebut menekankan bahwa kebaikan pada akhirnya menampakkan dirinya dengan jelas, sedangkan keburukan cepat atau lambat membuka kedoknya sendiri. Dengan demikian, falsafah Jawa ini tidak hanya mewariskan budaya, tetapi juga menghadirkan cermin kejujuran yang terus membimbing laku hidup manusia. Karena itulah, meski zaman terus bergerak maju, nilai luhur dalam pepatah ini tetap hidup, tetap relevan, dan tetap menyinari jalan kehidupan.

Mengurai Makna: Definisi dan Filosofi Dasar

Secara harfiah, pepatah Jawa “Becik Ketitik, Olo Ketoro” menyimpan makna yang dalam. Kata “Becik” berarti baik, “Ketitik” berarti terbukti atau ketahuan, “Olo” berarti buruk, dan “Ketoro” berarti terlihat. Dengan susunan sederhana itu, pepatah ini menyampaikan pesan yang sangat tegas: sekecil apa pun perbuatan, baik atau buruk, pada akhirnya orang akan mengetahuinya.

Lebih jauh, pesan filosofisnya tampil begitu lugas. Manusia tidak mungkin menipu kehidupan, karena waktu selalu menjadi saksi yang sabar. Setiap perbuatan yang kita lakukan meninggalkan jejak, baik yang terlihat jelas maupun yang tersembunyi. Jejak itu tidak mudah hilang; ia melekat dalam diri, dalam ingatan orang lain, bahkan dalam perjalanan hidup kita sendiri. Pada akhirnya, setiap tindakan akan bertumbuh dan menampakkan buahnya masing-masing—kebaikan menghadirkan kebaikan, keburukan menimbulkan keburukan.

Argumen Moral: Kejujuran dan Konsistensi sebagai Pilar

Pepatah ini menekankan pentingnya kejujuran dan konsistensi. Kejujuran menuntut keselarasan antara ucapan, niat, dan perbuatan. Tanpa kejujuran, manusia hanya menjadi aktor dalam panggung kepalsuan. Konsistensi menjadi ukuran penting dalam laku hidup. Citra yang dibangun tanpa laku nyata akan hancur. Waktu akan membuktikan segalanya.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Argumentasi moral ini sangat penting. Banyak orang tergoda untuk memoles diri mereka di media sosial. Kebaikan tidak hanya tentang bagaimana kita terlihat. Kebaikan adalah tentang bagaimana kita menjalaninya dalam kehidupan.

Sejalan dengan Al-Quran

Nilai Becik Ketitik Olo Ketoro ini ternyata sejalan dengan ajaran Islam. Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap amal manusia, baik kecil maupun besar, tidak pernah luput dari catatan. Bahkan, sekecil zarrah (atom) pun akan tampak jelas pada hari perhitungan kelak. Allah berfirman dalam QS. Az-Zalzalah [99]: 7–8:

فمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (٧) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨)

“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).”

Ayat ini menguatkan makna pepatah Jawa tersebut. Kebaikan tidak pernah sia-sia, dan keburukan tidak akan selamanya tertutup. Keduanya akan hadir di hadapan kita, cepat atau lambat, baik di dunia maupun di akhirat.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Relevansi di Era Modern: Bukti Nyata di Sekitar Kita

Fenomena hari ini menegaskan relevansi pepatah Jawa “Becik Ketitik, Olo Ketoro.” Koruptor akhirnya tersungkur meski lama menutup jejak, dan figur publik yang tampak saleh runtuh karena perilaku amoral. Sebaliknya, orang yang berbuat baik dengan tulus justru menuai penghargaan tanpa perlu pencitraan.

Media sosial kian mempercepat terungkapnya kebenaran. Kebohongan yang seseorang simpan rapat bisa bocor dalam hitungan detik. Karena itu, pepatah ini mengingatkan kita untuk berhenti mengejar citra semu dan mulai membangun laku hidup yang benar. Akhirnya, “Becik Ketitik, Olo Ketoro” bukan sekadar pepatah, melainkan hukum kehidupan: kebaikan akan bersinar, keburukan pasti tersingkap.

Pelajaran Berharga: Ajaran yang Bisa Dipetik

Dari pepatah ini, ada beberapa ajaran penting yang layak kita renungkan.
Teliti dalam Menilai: Jangan mudah percaya pada penampilan. Kebenaran dan keburukan akan teruji oleh waktu.

  • Berbuat Baik dengan Niat Tulus: Kebaikan tidak perlu dipamerkan. Ketulusan akan terlihat dari buahnya.
  • Kebohongan Tidak Akan Bertahan Lama: Sehebat apapun ditutupi, keburukan akan tetap terbongkar.
  • Reputasi Lahir dari Konsistensi: Orang yang berbohong akan sulit dipercaya. Reputasi baik lahir dari laku baik yang terus dijaga.

Refleksi Diri: Renungan yang Mendalam

Pepatah Jawa ini adalah ajakan untuk kembali pada kesadaran batin. Hidup bukan soal apa yang dilihat orang lain. Hidup adalah tentang apa yang kita tanam di hati. Keikhlasan tidak membutuhkan panggung. Kebaikan akan menemukan jalannya sendiri. Keburukan, sekuat apapun ditutupi, akan muncul.

“Becik Ketitik, Olo Ketoro” adalah cermin. Cermin ini membantu kita agar tidak terjebak pada kepura-puraan. Pepatah ini mengajarkan keberanian untuk jujur. Kita harus jujur pada diri sendiri. Kita harus yakin bahwa kebenaran tidak akan pernah padam.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Warisan Luhur untuk Generasi Masa Kini

Filosofi “Becik Ketitik, Olo Ketoro” menjadi warisan Jawa yang tetap hidup di tengah modernitas. Pepatah ini menegaskan bahwa kejujuran lebih berharga daripada citra, dan konsistensi lebih bermakna daripada kepura-puraan. Setiap perbuatan akan diuji: kebaikan akan bersinar, keburukan akan tersingkap. Karena itu, tugas kita ialah menjaga hati, menata niat, dan menapaki hidup dengan tulus.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement