Surau.co. Cahaya selalu punya cara unik untuk menipu mata. Salah satu fenomena yang sering membuat orang terheran adalah bulan yang tampak jauh lebih besar ketika berada di dekat horison dibandingkan saat menggantung tinggi di tengah langit malam. Fenomena ini sejak lama menarik perhatian ilmuwan dan pemikir. Ibn al-Haytham, melalui karya agungnya Kitāb al-Manāẓir, menjelaskan secara mendalam bagaimana mata manusia, cahaya, dan atmosfer bekerja sama menciptakan ilusi optik tersebut.
Namun, fenomena atmosfer semacam ini bukan hanya urusan sains. Ia juga membuka ruang perenungan tentang cara manusia melihat dunia. Pertanyaan pun muncul: apakah yang kita lihat selalu sesuai kenyataan? Ataukah justru persepsi kita sering kali dibentuk oleh “medium” yang membatasi pandangan?
Bulan di Horison dan Tipuan Mata
Bayangkan Anda berjalan di sawah pada malam bulan purnama. Bulan yang baru saja terbit tampak begitu besar, seolah menggantung rendah dan mudah dijangkau. Akan tetapi, beberapa jam kemudian, ketika posisinya sudah tinggi di langit, ukurannya terlihat mengecil.
Ibn al-Haytham menegaskan hal ini dengan jelas:
“إِنَّ الْبَصَرَ يَقْدُرُ الْأَشْيَاءَ بِحَسَبِ مَوَاضِعِهَا وَالْمَسَافَاتِ الَّتِي بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ.”
“Penglihatan menilai sesuatu berdasarkan tempatnya dan jarak antara objek dengan mata.”
Dengan kata lain, mata kita tidak sekadar menerima cahaya. Ia juga memberi makna berdasarkan konteks sekitar. Ketika bulan berada di dekat horison, ia tampak lebih besar karena dibandingkan dengan pepohonan, gunung, atau rumah di sekitarnya. Oleh sebab itu, konteks visuallah yang memperbesar persepsi ukuran.
Atmosfer sebagai Medium yang Mengubah Pandangan
Selain faktor psikologis, terdapat pula faktor fisik. Atmosfer bumi bekerja seperti lensa raksasa yang membiaskan cahaya bulan. Saat bulan dekat horison, cahayanya harus melewati lapisan atmosfer yang jauh lebih tebal dibandingkan ketika bulan berada di zenit.
Ibn al-Haytham mencatat bahwa medium bisa mengubah jalannya cahaya:
“الضَّوْءُ إِذَا مَرَّ فِي الْهَوَاءِ الْغَلِيظِ انْكَسَرَ وَتَبَدَّلَتْ صُوَرُ الْمَرْئِيَّاتِ.”
“Cahaya, ketika melewati udara yang lebih tebal, akan dibiaskan dan bentuk objek yang terlihat pun berubah.”
Akibatnya, bulan sering tampak lebih besar, bahkan kadang terlihat sedikit terdistorsi saat terbit atau tenggelam. Dengan kata lain, atmosfer berperan ganda: ia memperbesar sekaligus memberi warna kemerahan pada bulan akibat penyebaran cahaya.
Ilmu dan Kesadaran: Belajar dari Penglihatan
Fenomena atmosfer ini mengingatkan kita bahwa apa yang tampak di mata tidak selalu sejalan dengan realitas. Al-Qur’an pun menegaskan hal ini:
وَفِي ٱلۡأَرۡضِ ءَايَـٰتٞ لِّلۡمُوقِنِينَ ٢٠ وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٢١
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adh-Dhāriyāt: 20–21).
Ayat tersebut menegaskan bahwa fenomena alam tidak berhenti pada hiburan visual, melainkan menjadi tanda untuk membuka mata batin. Sama seperti bulan di horison yang tampak besar padahal ukurannya tetap, demikian pula banyak hal dalam hidup yang terlihat besar atau kecil hanya karena cara pandang kita.
Mengapa Kita Mudah Tertipu oleh Cahaya?
Ibn al-Haytham menekankan peran akal untuk meluruskan apa yang dilihat oleh mata. Ia menulis:
“إِنَّ الْبَصَرَ لَا يُعْطِي الْحُكْمَ صَحِيحًا إِلَّا بِمُعَاوَنَةِ الْعَقْلِ.”
“Penglihatan tidak memberikan penilaian yang benar kecuali dengan bantuan akal.”
Artinya, tanpa akal yang kritis, manusia mudah salah menafsirkan. Fenomena bulan besar di horison mengingatkan bahwa mata bisa menipu, tetapi akal mampu meluruskannya.
Lebih jauh, prinsip ini juga berlaku dalam kehidupan sosial. Kadang sebuah masalah tampak besar hanya karena posisinya dekat dengan kita. Padahal, esensinya sama saja dengan persoalan lain. Ketika akal dan hati digunakan bersama, barulah kita melihat segala sesuatu secara lebih proporsional.
Inspirasi untuk Kehidupan Modern
Fenomena atmosfer yang dijelaskan Ibn al-Haytham tetap relevan hingga era digital. Dalam dunia maya, apa yang terlihat di layar sering kali tampak lebih besar daripada kenyataan. Sebuah berita viral, misalnya, bisa membuat kita merasa dunia runtuh, padahal konteks aslinya tidak sebesar yang ditampilkan.
Sama seperti atmosfer membengkokkan cahaya bulan, media sosial juga kerap membengkokkan realitas. Oleh karena itu, kita perlu kebijaksanaan untuk menyaring informasi, sebagaimana para ilmuwan dahulu menggunakan akal sehat untuk memahami fenomena optik.
Hadis Nabi ﷺ juga memberikan pedoman penting:
“إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhārī-Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran hakiki tidak terletak pada tampilan luar, melainkan pada niat dan substansi di baliknya.
Menutup dengan Cahaya Pengetahuan
Pada akhirnya, fenomena atmosfer yang membuat bulan tampak lebih besar di horison bukan sekadar keindahan alam, melainkan pelajaran mendalam. Ibn al-Haytham dalam Kitāb al-Manāẓir bukan hanya membahas fisika cahaya, tetapi juga memperlihatkan bagaimana mata dan akal saling bekerja.
Dengan demikian, kita belajar bahwa realitas tidak selalu identik dengan yang terlihat. Cahaya, atmosfer, dan pikiran semuanya berperan dalam membentuk pandangan. Maka, sebagaimana cahaya membutuhkan medium untuk sampai ke mata, begitu pula kebenaran memerlukan akal dan hati yang jernih untuk sampai ke jiwa.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
