Surau.co. Cahaya selalu menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Sejak pagi hari ketika mata kita pertama kali terbuka hingga malam ketika lampu dinyalakan, cahaya hadir sebagai penghubung antara realitas dan kesadaran kita. Namun, bagaimana cahaya itu sebenarnya bekerja? Pertanyaan ini sudah lama menjadi renungan para ilmuwan, salah satunya Ibn al-Haytham dalam karyanya yang monumental, Kitāb al-Manāẓir.
Dalam kitab itu, ia menyingkap rahasia bagaimana cahaya berinteraksi dengan medium yang berbeda. Air, udara, kaca—semuanya memiliki peran dalam membelokkan sinar sehingga menghasilkan fenomena yang kita lihat setiap hari, mulai dari fatamorgana hingga pelangi. Artikel ini akan mengulas gagasan Ibn al-Haytham dengan bahasa sederhana, menghubungkannya dengan fenomena sehari-hari, serta menyandingkannya dengan refleksi spiritual.
Cahaya yang Membelok dan Kisah Sehari-hari
Coba bayangkan segelas air di atas meja. Jika kita masukkan sendok ke dalamnya, sendok itu tampak bengkok. Kita tahu sendok tidak berubah bentuk, tetapi cahaya yang melewati air telah dibiaskan. Ibn al-Haytham menjelaskan bahwa cahaya tidak selalu berjalan lurus, tetapi mengikuti hukum-hukum alam ketika berpindah dari satu medium ke medium lain.
Ia menulis:
“إِذَا انْتَقَلَ الضَّوْءُ مِنْ جَوْهَرٍ إِلَى جَوْهَرٍ آخَرَ، غَيَّرَ مَسِيرَهُ وَاعْتَرَاهُ الْانْكِسَارُ.”
“Ketika cahaya berpindah dari satu medium ke medium lain, ia mengubah jalannya dan mengalami pembiasan.”
Fenomena ini tidak hanya kita lihat di gelas air, tetapi juga ketika berjalan di bawah terik matahari di jalan beraspal. Fatamorgana yang seolah memperlihatkan genangan air hanyalah permainan cahaya yang dibelokkan oleh perbedaan suhu udara di atas aspal panas.
Pandangan Ibn al-Haytham: Antara Eksperimen dan Filosofi
Salah satu keistimewaan Kitāb al-Manāẓir adalah keberanian Ibn al-Haytham mengedepankan eksperimen. Ia tidak hanya berteori, tetapi juga melakukan pengamatan dengan alat sederhana. Ia menunjukkan bahwa cahaya memiliki sifat dapat dipantulkan, dibiaskan, dan bahkan dapat difokuskan dengan lensa.
Ia menulis:
“إِنَّ مَجْرَى الضَّوْءِ يُدْرَكُ بِالتَّجْرِبَةِ وَالْمُشَاهَدَةِ، لَا بِالظَّنِّ وَالتَّخْمِينِ.”
“Jalan cahaya dapat diketahui dengan eksperimen dan pengamatan, bukan dengan dugaan dan perkiraan semata.”
Kutipan ini terasa sangat relevan dengan cara berpikir ilmiah modern. Di era kita, ketika ilmu pengetahuan berbasis data dan riset, Ibn al-Haytham sudah lebih dahulu menekankan pentingnya pengamatan.
Cahaya sebagai Simbol dalam Kitab Suci
Al-Qur’an sering menggunakan cahaya sebagai simbol pengetahuan dan petunjuk. Allah berfirman:
ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nūr: 35)
Ayat ini bukan hanya berbicara tentang cahaya fisik, tetapi juga cahaya maknawi yang menuntun hati. Sebagaimana cahaya berubah ketika melewati medium berbeda, pengetahuan pun dapat berubah ketika sampai pada manusia dengan latar yang berbeda. Ada yang memahami dengan jernih, ada pula yang terdistorsi oleh prasangka.
Dari Pelangi hingga Lensa Kamera
Kita sering kali terpukau dengan pelangi setelah hujan. Ibn al-Haytham menjelaskan bahwa pelangi muncul karena cahaya matahari dibiaskan dan dipantulkan dalam tetes-tetes air hujan. Setiap tetes air bekerja seperti prisma kecil yang memecah cahaya putih menjadi warna-warni.
Ia menuliskan:
“إِنَّ انْقِسَامَ الضَّوْءِ عِنْدَ الْمِيَاهِ يُظْهِرُ أَلْوَانًا مُتَعَدِّدَةً، وَهُوَ أَصْلُ الْقَوْسِ الْمُشَاهَدِ فِي السَّمَاءِ.”
“Pembiasan cahaya pada air memperlihatkan warna-warna beragam, dan inilah asal dari busur (pelangi) yang tampak di langit.”
Dari uraian itu kita bisa melihat betapa mendalamnya pengamatan Ibn al-Haytham. Kini, prinsip yang sama dipakai dalam teknologi modern, seperti lensa kamera, mikroskop, hingga teleskop. Setiap kali kita memotret atau menonton film, kita sedang menikmati hasil perjalanan panjang ilmu cahaya yang dirintis sejak abad pertengahan.
Refleksi: Cahaya dan Perjalanan Hidup
Cahaya yang membelok ketika berpindah medium dapat menjadi metafora kehidupan. Kadang perjalanan kita lurus, kadang berbelok karena keadaan. Namun seperti cahaya yang tetap menerangi meski berubah arah, hidup pun tetap bermakna meski penuh tikungan.
Hadis Nabi ﷺ pun mengisyaratkan hal ini:
“مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ…”
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus bersamaku seperti hujan yang lebat…” (HR. Bukhārī-Muslim).
Ilmu itu ibarat cahaya atau hujan: ia datang membawa kehidupan. Tugas kita adalah menjaga agar cahaya itu tidak terdistorsi oleh hawa nafsu atau keangkuhan.
Penutup: Mewarisi Cahaya Pengetahuan
Kitāb al-Manāẓir bukan hanya karya sains, melainkan juga warisan peradaban. Melalui pengamatan sederhana, Ibn al-Haytham membuka jalan bagi ilmu optika modern. Ia menunjukkan bahwa cahaya tidak hanya menjadi objek kajian, tetapi juga cermin dari perjalanan manusia mencari kebenaran.
Di tengah derasnya arus teknologi hari ini, kita masih bisa belajar darinya: melihat dunia dengan mata yang jernih, mengamati dengan sabar, dan menafsirkan dengan hati yang lapang. Karena sebagaimana cahaya, ilmu pengetahuan tidak hanya mengungkap fakta, tetapi juga menerangi batin manusia.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
